Actus Reus vs Mens Rea: Kuasa Hukum Kritik Pendekatan Kejari Palu dalam Kasus Ang Andreas
Kuasa hukum Jafri Yauri, Dr. Muslimin Budiman, SH, MH, mengkritik pendekatan hukum yang digunakan oleh Kejaksaan Negeri (Kejari) Palu dalam kasus dugaan tindak pidana yang menjerat Ang Andreas.
Ia menilai, Kejari Palu terlalu fokus pada aspek mens rea (niat jahat) tanpa mempertimbangkan actus reus (perbuatan nyata) yang telah terjadi, sehingga menghambat proses hukum yang seharusnya berjalan lebih cepat.
“Dalam perkara ini, perbuatan pidana sudah terlaksana. Barang bukti seperti seng dan balok yang digunakan tersangka untuk menopang coran di atas rumah korban telah ditemukan. Selain itu, terdapat keterangan saksi, ahli pidana, ahli konstruksi, serta bukti foto dan video yang menunjukkan adanya tindakan pidana,” ujar Muslimin Budiman, Jumat (7/3/2025).
Lebih lanjut, ia mempertanyakan pendekatan hukum yang digunakan oleh Kejari Palu dalam menilai unsur pidana dalam kasus ini. Jika hanya unsur mens rea yang dijadikan tolok ukur, maka banyak pelaku kejahatan berpotensi bebas hanya dengan dalih tidak memiliki niat jahat.
“Mens rea hanyalah sikap batin yang tidak bisa dipidana jika tidak ada tindakan nyata. Namun dalam kasus ini, perbuatan sudah terjadi, sehingga unsur actus reus harus menjadi dasar utama dalam menegakkan hukum,” tegasnya.
Baginya, Muslimin, persoalan ini bukan sekadar soal administrasi hukum, tetapi juga tentang bagaimana sistem hukum memberikan kepastian bagi korban yang merasa dirugikan. Jika perkara ini tidak kunjung diproses, maka hal ini bisa menjadi preseden buruk dalam penegakan hukum di Indonesia.
Polemik semakin menarik dalam konteks Pasal 17 ayat (1) UU 1/2023 tentang KUHP baru, yang akan berlaku mulai 2026. Pasal ini menyebutkan, bahwa percobaan tindak pidana tetap bisa diproses hukum jika terdapat permulaan pelaksanaan, meskipun hasil akhirnya tidak tercapai.
“Jika kita mengacu pada KUHP baru, maka tindakan yang telah dilakukan oleh tersangka sudah cukup untuk dianggap sebagai tindak pidana, tanpa harus mempertanyakan sejauh mana niatnya,” pungkasnya.
Sebelumnya, Kasi Intel Kejari Palu, Yudi Trisnaamijaya menilai alat bukti yang diajukan belum cukup untuk membuktikan unsur kekerasan secara bersama-sama sesuai Pasal 170 KUHP.
“Memang ada alat bukti, seperti keterangan saksi, dokumen, dan pendapat ahli. Namun, yang menjadi pertimbangan adalah apakah bukti tersebut cukup untuk membuktikan adanya tindak pidana, khususnya terkait niat (mens rea) dan perbuatan melawan hukum,” kata Yudi Trisnaamijaya pada Rabu (5/3/2025).
Kasus ini bermula dari laporan Jafri Yauri pada 2 Februari 2023 dengan Nomor LP-B/137/II/2023/SPKT/POLRESTA PALU/POLDA SULTENG. Dalam laporan tersebut, Ang Andreas ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan tindak pidana pengrusakan secara bersama-sama, sebagaimana diatur dalam Pasal 170 ayat (1) Jo. Pasal 406 KUHP. (Rfi)