Konflik penguasaan lahan kembali mencuat di kawasan Bukit Laranggarui, Kelurahan Talise, Kecamatan Mantikulore. Aksi penyegelan kantor Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) Talise oleh masyarakat penggarap pada Senin (28/4) menjadi puncak ketegangan yang dipicu oleh tudingan penjualan sepihak lahan eks HGB oleh oknum LPM ke perusahaan tambang PT Citra Palu Mineral (CPM).

Namun, tuduhan itu langsung dibantah Ketua LPM Talise, Ikhlas. Ia menyebut bahwa segala tudingan terhadap dirinya dan lembaga adalah fitnah dan tidak berdasar.

“Kami sudah laporkan ini ke aparat penegak hukum, termasuk dugaan pencemaran nama baik secara pribadi dan lembaga, serta pengrusakan,” ujarnya seperti dikutip dari radarsulteng.net.

Ikhlas juga membantah klaim bahwa masa berlaku Hak Guna Bangunan (HGB) PT Sinar Putra Murni (SPM) dan PT Sinar Waluyo telah berakhir. Meski tidak menjelaskan rinci, ia menyebut HGB sudah diperpanjang dan akan disampaikan pada waktunya. Menariknya, Ikhlas mengakui dirinya pernah menjadi kuasa hukum PT SPM.

“Sehingga ketemu antara PT CPM dan SPM, dan sudah diselesaikan,” ucapnya, tanpa menyebut bentuk atau isi kesepakatan.

Ketika didesak soal bukti transaksi jual-beli lahan antara PT SPM dan PT CPM, ia tidak memberi kejelasan.

“Saya tahu lah, karena saya lawyernya,” jawabnya singkat saat dikonfirmasi.

Sementara itu, GM Eksternal Affairs and Security PT CPM, Amran Amir, juga membantah adanya transaksi pembelian lahan oleh pihaknya dari pengurus LPM Talise. Ia bahkan mengaku tidak mengetahui lokasi pasti yang disengketakan di Bukit Laranggarui.

“Tidak ada pengurus LPM Talise yang menjual lahan ke CPM. Saya tidak paham yang mana lahan dimaksud. Alasannya apa masyarakat melarang aktivitas kami?” tanyanya balik.

Amran juga tidak memberikan informasi tentang adanya pembelian lahan dari PT SPM.

“Dia punya bukti transaksi jual beli ya?” pungkasnya, seolah meragukan klaim yang beredar.

Aksi masyarakat sebelumnya dipicu oleh pembongkaran paksa lahan garapan mereka oleh pihak perusahaan, yang berdalih lahan tersebut telah dijual oleh pengurus LPM.

Masyarakat menilai pengambilalihan itu tidak sah karena masa HGB PT SPM disebut telah berakhir pada 2019. Kini, mereka menuntut kejelasan status hukum lahan sekaligus pertanggungjawaban atas aktivitas perusahaan di atas lahan yang mereka klaim masih digarap secara aktif. ***