“aku bakal tanggung jawab Nur, muleh tekan kene, Ayu bakal tak rabi Nur” (aku akan tanggung jawab, Ayu akan saya nikahi habis pulang darisini) “goblok ya wong loro iki, dipikir masalah iki mek masalah mu tok tah, gak mikir aku, gak mikir Widya, gak mikir liane, gak mikir jeneng kampusmu, gak mikir keluargamu, gak mikir agamamu, nek ngomong mu mek ngunu, penak yo, kari rabi tok, gak iling opo iku karma yo” (goblok ya kalian, di kira ini masalah sepele, gak mikir aku, gak mikir Widya, gak mikir yang lain, gak mikir nama kampusmu, gak mikir-mikir.

Keluargamu, kalau memang cuma masalah pernikahan ya enak ya, tapi kalian lupa dengan yang namanya karma tabur tuai) Ayu yang mendengar itu perlahan sesenggukan, Nur tahu, ia menangis, namun Bima, ia seperti menyembunyikan sesuatu. ada yang belum ia jelaskan sama sekali.

Anton tiba-tiba muncul sembari mengatakan, “cah loro iku wes teko, mboh tekan ndi, mosok moleh sampe bengi ngene” (itu loh, dua temanmu sudah datang, entah darimana, masa pulang sampai larut begini) “Widya karo wahyu ton?” (Widya sama wahyu ya ton) Anton mengangguk. “iyo”

Nur melihat Widya, wajahnya tampak letih, sperti barusaja mengalami kejadian tidak mengenakan, semua orang sudah menunggu kedatangan dua anak ini, yg berjanji akan membelikan keperluan titipan mereka, namun, dari belakang, Wahyu tampak sangat bersemangat seakan ia membawa sesuatu.

Entah karena suasana hati semua orang buruk di ruangan itu, Bima mencoba mencairkan suasana, “loh, kok kaku ngene seh” (kok jadi canggung gini sih) Bima mendekati Widya, “awakmu pasti pegel kan,” “istirahat sek Wid” (kamu pasti kecapekan kan, yao istirahat dulu Wid) kata Bima.

Namun, Nur dan ayu, memandang sengit perlakuan Bima, sehingga Widya merasa ada yang salah dengan mereka semua.

Namun, Wahyu yang sedari tadi menggendong isi tasnya, langsung mengambil alih perhatian mereka, dengan nafas menggebu-nggebu, ia bercerita pengalamanya yang baru saja di tolong warga desa tetangga karena motornya mogok, namun, anehnya, semua orang memandang Wahyu dengan sinis.

Bima yang pertama menanggapi ucapan Wahyu. “Deso tetangga opo? gak onok maneh deso nang kene?” (desa tetangga apa, gak ada lagi desa disini) kata Bima mengingatkan. “halah, ngapusi, eroh teko ndi awakmu?!” (halah, bohong kamu, tahu darimana?) sanggah Wahyu saat itu.

“aku wes sering nang kota, mbantu warga deso dodolan hasil alam, dadi gor titik aku paham wilayah iki” (aku sudah sering ke kota, bantu warga jual bahan alam disini, jadi ya tau sedikitnya daerah ini) “ngapusi koen halah tot” (bohong kamu dasar, sial).

Nur yang sedari tadi mendengar, membantu Bima, “bener mas wahyu, gak onok deso maneh nang kene,” (bener mas Wahyu, gak ada lagi desa disini.) alih-alih setelah mendengar itu, Wahyu semakin tidak terima,ia kemudian memanggil Widya, “Wid duduhno opo sing di kek’i-

-ambek warga sing nang tasmu” (Wid tunjukan oleh-oleh yang di kasih tadi sama warga di dalam tasmu) dengan enggan Widya membuka isi tasnya, Wahyu yang sudah tidak sabar segera merebutnya, meraihnya dengan tanganya, namun, ekspresinya berubah manakala ia mengeluarkan barang itu.

Widya yang melihat benda itu sama kagetnya dengan wahyu, namun Nur yang melihatnya tampak bingung, pun dengan semua orang saat itu, benda seperti apa yang di bungkus dengan pelepah daun pisang seperti itu. Nur sempat melihat Wahyu dan Widya bertukar pandang, ia tahu ada yg salah.

Saat Wahyu membukanya, kaget, yang ada di dalamnya rupanya adalah kepala monyet terpenggal dengan darah yang masih segar. seketika, reaksi semua orang membalikkan wajahnya, termasuk Nur yang segera mengambil kain untuk menutupinya, baunya amis dan membuat seisi ruangan mual.

Wahyu tampak shock, Widya apalagi, Ayu segera membopongnya masuk ke dalam kamar, sementara Bima dan Anton, segera membereskan semua itu. Wahyu, ia muntah sejadi-jadinya, semalaman, semua orang termenung dengan berbagai kejadian ganjil, termasuk Nur, dimana Widya mencuri pandang

Malam setelah Widya dan Ayu melepas penat, Nur terbangun, ia tiba-tiba teringat dengan ucapan Bima dan Ayu yang tanpa sengaja ia curi dengar. dengan cekatan dan mengambil resiko, Nur mengambil isi tas Ayu, membawanya menuju ke pawon (dapur) sendirian. ia merasa, benda itu disana.

Nur membongkar semua benda-benda itu, namun, tidak ada yang aneh, toh dia sudah mengeluarkan isi tasnya, sebelum, Nur sadar, masih ada resleting tas yang belum ia buka, tepat ketika Nur membukanya, ia bisa mencium aroma wewangian di dalamnya. sebuah selendang hijau milik penari.

Tiba-tiba, tangan Nur seperti gemetar hebat, nafasnya menjadi sangat berat, tempat ia berada seakan-akan menjadi sangat dingin dan, tabuhan kendang di ikuti alunan gamelan berkumandang, Nur tahu, si penari ada disini, apa yang Ayu sebenarnya lakukan apa yang Bima sembunyikan?

Tepat saat itu juga, Nur melihat dengan mata kepala sendiri, Widya melangkah masuk ke pawon (dapur) matanya tajam menatap Nur, kaget setengah mati, Nur bertanya pada Widya. “nyapo Wid awakmu nang kene?” (ngapain kamu wid, ada disini?) namun Widya hanya berujar “ojok di terusno”

(jangan diteruskan) Widya duduk di depan Nur, cara Widya berbicara sangat berbeda, mulai dari suara sampai logat cara menyampaikan pesanya, itu khas jawa sekali yang sampai Nur tidak begitu mengerti. yang Nur tangkap hanya kalimat “salah” “nyawa” “tumbal” itu pun tidak jelas.

Selain itu, setiap dia melihat Nur, ia seperti memberikan ekspresi sungkan, sepeti anak muda yang memberi hormat kepada orang tua. kalimat terakhir yang Widya ucapkan sebelum kembali ke kamarnya adalah, “kamu bisa pulang dengan selamat, saya yang jamin” tapi dengan logat jawa.