karena setelah itu, Nur tersentak dari tidurnya setelah mendengar suara bising dari luar rumah. meski masih dalam keadaan shock, Nur segera berlari menuju suara bising itu, rupanya, di luar rumah, ramai orang tengah berkumpul. Nur melihat, Wahyu, Ayu, ibu pemilik rumah, Widya.

entah apa yang mereka lakukan, Nur belum mengerti sama sekali. yang ia dengar hanya ucapan ibu pemilk rumah. “Wes, wes, ayo ndok, melbu ndok, wes bengi” (sudah, sudah, ayo masuk, sudah malam) namun, ketika mata Nur dan Widya bertemu, ada tatapan kebingungan disana.

Wahyu kembali ke posyandu tempat ia menginap, sementara si ibu pemilik rumah, menggandeng Widya masuk ke rumah, hanya tinggal Ayu dan Nur yang ada di luar rumah. “onok opo toh yu, kok rame men?” (ada apa sih yu, kok berisik sekali?).

“Wahyu. jarene ndelok Widya nari nang kene. mboh lapo, aku yo kaget pas ndelok, gak onok Widya nang kamar” (Wahyu, bilang, melihat Widya sedang menari disini, entahlah kok bisa, aku juga kaget waktu melihat Widya tidak ada didalam kamar).

Nur yang mendengar itu, hanya diam, sembari memikirkan mimpinya. Widya, hanya itu yang terbesit dalam pikiranya Nur. ia tahu, ada yang janggal dari dirinya, Widya dan tempat ini.

keesokan hari. sesuai janji yang Nur buat, ia bertemu dengan mbah Buyut dengan pak Prabu, kali ini, Nur di ijinkan masuk ke dalam rumahnya. yang mbah Buyut pertama ucapkan adalah “ndok, mambengi ngimpi opo?” (nak, semalam kamu mimpi apa?).

Nur pun menceritakan semuanya, termasuk insiden saat ia melihat Widya yang di pergoki Wahyu tengah menari di malam buta. mbah buyut hanya mengangguk, tidak berbicara apapun, ia hanya berujar, bahwa, yang ingin di ketahui Nur, adalah sosok hitam yang mengikutinya.

Malam itu juga, pak Prabu, mbah Buyut, dan Nur pergi ke sebuah batu, tempat pertama kali Nur melihat sosok hitam itu. disana, pak Prabu, menggorok seekor ayam, dimana darahnya di tab di sebuah wadah, sebelum menyiramkanya di batu itu.

“ndok, awakmu percoyo, nek gok alas iki, onok deso maneh, sing jenenge Deso Brosoto” (nak, kamu percaya, di hutan ini, ada desa lain yang namanya desa halus) Nur mengangguk, ia percaya. Mbah Buyut tersenyum, “sing bakal mok delok iki, siji tekan atusan ewu wargane deso iku”.

(yang akan kamu lihat sebentar lagi, itu satu dari ratusan ribu penghuni dari desa tersebut) Nur terdiam mendengarnya, dan benar saja, ia bisa meihat makhluk hitam itu, tengah menjilati batu yang baru di guyur darah ayam kampung itu.

Makhluk itu, hanya menjilati darah itu, kemudian, pak Prabu mengatakanya. “awakmu sadar utowo gak, asline, awakmu gowo barang alus sing di anggap tamu nang deso iki, coro alus’e ngunu yo ndok” (kamu sadar atau tidak, sebenarnya, membawa tamu ke desa ini, cara gampangnya gitu).

“tamu sing mok gowo, iku ngunu seneng ngejak geger ambeh warga deso iki” (tamu yang kamu bawa itu, suka sekali membuat masalah di desa ini) “masalahe, sing mok gowo iku wes di kunci nang njero Sukmo’mu, nek di jopok, awakmu isok mati” (masalahnya, barang itu sudah terikat di sukma kamu, bila di ambil, bisa mati) “aku wes ngerembukno karo mbah Buyut, nek barangmu gak usah di jopok, tapi, di culno, selama awakmu masih onok nang kene, barangmu kepisah ambek awakmu” (aku sudah berunding sama mbah Buyut, bila apa yang ada dalam diri kamu, gak usah diambil, tapi di lepaskan saja, selama kamu masih disini, dia tidak akan pergi jauh) “barang nopo to mbah?” (barang seperti apa?) Mbah Buyut mendekati Nur, sebelum, menarik ubun-ubunya, kemudian melemparkanya ke batu itu.

setelah itu, Nur, tidak bisa melihat makhluk hitam itu lagi. “wes mari ndok, sak iki, awakmu isok fokus garap tugasmu, gak bakal onok sing nganggu maneh” (sudah selesai nak, sekarang, kamu bisa fokus garap tugasmu, gak akan ada yang ganggu kamu lagi).

Siang itu, Nur dan Anton, tengah mengerjakan proker mereka bersama warga desa, ketika hari sudah siang, ia tanpa sengaja melihat Widya dan wahyu, serta pak Prabu dan Ayu tengah mengendarai motor, mereka pergi meninggalkan desa, entah kemana.

“Nur, kancamu iku loh kok aneh seh” (Nur, temanmu itu kok aneh sih) tiba-tiba, Anton mengatakan itu “aneh? sopo?” (aneh, siapa?) “sopo maneh, kancamu, Bima” (siapa lagi, temanmu, si Bima) “aneh yo opo?” (aneh bagaimana?).

“aku gelek ndelok cah kui ngomong dewe, ngguya-ngguyu dewe nang kamar, trus, sepurane yo Nur, aku tau ndelok arek’ Onani” (aku sering melihat anak itu bicara sendiri, tersenyam-senyum di kamar, bahkan, aku pernah melihatnya, mohon maaf ya Nur, anak itu Onani dalam kamar).

Nur yang mendengar itu tidak bereaksi apapun, hanya berucap”halah, gak mungkin lah” seakan apa yang dikatakan Anton hanya gurauan. “temen? sumpah!!” (serius? beneran!!) “ambek, ojok ngomong sopo-sopo yo, temen yo, tak kandani?” (sama, tapi janji jangan bilang siapa-siapa ya).

“kancamu kui, gelek gowoh muleh sesajen, trus, di deleh nang nisor bayang’e,” (temanmu itu, sering membawa pulang sesajen, trus dia menaruh benda itu di bawah ranjang) Nur masih mencoba menahan diri, ia masih tidak bereaksi mendengar Bima di tuduh seperti itu oleh Anton.

namun, seketika emosi Nur tak terbendung saat Anton mengatakan itu. “trus, nang ndukur Sesajen iku, onok fotone kancamu, Widya, opo, Bima kate melet Widya yo” (trus, di atas sesajen itu, aku menemukan foto temanmu, Widya, apa, Bima mau pelet si Widya ya).

“awakmu gor di jogo yo lambene, ojok maen fitnah yo” (kamu itu, tolong di jaga mulutnya, jangan maen fitnah seperti ini) “nek awakmu gak percoyo, ayok tak jak nang kamare, ben awakmu ndelok, nek aku gak mbujuk” (kamu kalau gak percaya ayo sini ikut, tak tunjukkan kalau aku tidak pernah berbohong) mendengar Anton menantang seperti itu, saat itu juga, Nur mengikuti Anton yang tengah berjalan menuju tempat mereka menginap.