Kisah Asli KKN di Desa Penari Versi Widya, Lebih Horor dari Nur
Kisah asli KKN di Desa Penari masih terus diburu warganet. Film ini sukses menarik perhatian penonton sejak dirilis pada 30 April 2022 lalu.
Diketahui, film KKN di Desa Penari ini diadaptasi dari kisah nyata tentang beberapa mahasiswa yang mengalami peristiwa menyeramkan saat menjalani Kuliah Kerja Nyata (KKN) di desa terpencil.
Kisah di balik kesuksesan KKN di Desa Penari berawal dari kehebohan utas dari salah satu pengguna Twitter bernama SimpleMan yang sempat viral tahun 2019 silam.
Menurut SimpleMan, kisah horor tersebut merupakan kisah nyata yang terjadi di sebuah desa terpencil di daerah Jawa Timur.
Dikutip dari akun Twitter @SimpleM81378523, kisahnya diceritakan dari 2 sudut pandang berbeda, versi Widya dan versi Nur. “KKN di Desa Penari- Horror Story,” demikian judul yang ditulis akun tersebut untuk mengawali cerita.
Akun tersebut juga menjelaskan bahwa cerita tersebut diangkat agar orang-orang bisa mengambil pelajaran dari kisah tersebut. Oleh karena itu, identitas dari cerita asli seperti nama kampus, peserta KKN, desa, kota, fakultas dirahasikan dan disebut sebagai Desa Penari.
Tokoh-tokoh dalam cerita tersebut adalah Widya, Nur, Bima, Ayu, Wahyu, dan Anton. Mereka sudah diperingatkan untuk tidak melewati batas gerbang terlarang. Tetapi, beberapa dari mereka melanggar peringatan tersebut hingga sejumlah pengalaman janggal dan mengerikan menghantui mereka.
Berikut kisah asli KKN di Desa Penari Versi widya!
Pada tahun 2009 akhir, semua anak angkatan 2005/06 sudah hampir merampungkan persyaratan untuk mengikuti KKN yang di lakukan dibeberapa desa sebagai syarat lanjutan untuk tugas skripsi. dari semua wajah antusias itu di kampus, terlihat satu orang tampak menyendiri.
Widya, begitu anak-anak lain memanggilnya ia tampak begitu gugup, menyepi, menyendiri, sampai panggilan telepon itu membuyarkan lamunanya. “aku wes oleh nggon KKN ‘e” (aku sudah dapat tempat untuk KKN) kata di ujung telpon. wajah muram itu, berubah menjadi senyuman penuh harap.
“nang ndi?” (dimana?) “nang kota B, gok deso kabupaten K***li** , akeh proker, tak jamin, nggone cocok gawe KKN” (di kota B, disebuah desa di kabupaten K*******, banyak proker untuk di kerjakan, tempatnya cocok untuk KKN kita) saat itu juga, Widya segera mengajukan prop KKN.
Semua persyaratan sudah terpenuhi, kecuali kelengkapan anggota dalam setiap kelompok minimal harus melibatkan 2 fakultas berbeda pun dengan anggota minimal 6 orang. “tenang” kata Ayu, perempuan yang tempo hari memberi kabar tempat KKN yang ia observasi bersama abangnya.
Benar saja, tidak beberapa lama, muncul Bima dengan Nur, ia menyampaikan, kelengkapan anggota 6 orang yang melibatkan 2 fakultas sudah di setujui. “sopo sing gabung Nur?” (siapa yang sudah gabung Nur?) tanya Ayu, “temenku. kating, 2 angkatan di atas kita, satunya lagi, temanya”.
Lega sudah. batin Widya. surat keputusan KKN sudah disetujui semuanya, terdiri dari 2 fakultas dengan proker kelompok dan individu, untuk pengabdian di masyarakat yang akan di adakan kurang lebih sekitar 6 minggu. hanya tinggal menunggu, pembekalan sebelum keberangkatan.
Jauh hari sebelum malam pembekalan, Widya berpamitan kepada orangtuanya tentang progress KKN yang wajib ia tempuh, keika orangtua Widya bertanya kemana Projek KKN mereka, terlihat wajah tidak suka dari raut ibunya.
“gak onok nggon liyo, lapo kudu gok Kota B,” (apa gak ada tempat lain, kenapa harus kota B) wajah ibunya menegang. “nggok kunu nggone Alas tok, ra umum di nggoni gawe menungso” (disana tempatnya bukanya hutan semua, tidak bagus ditinggali oleh manusia) namun setelah Widya menejelaskan, bahwa sebelumnya sudah dilakukan observasi, wajah ibunya melunak.
“Perasaane ibuk gak enak, opo gak isok di undur setahun maneh” (perasaan ibu gak enak, apa tidak bisa di undur satu tahun lagi) Widya enggan melakukanya, maka, meski berat, kedua orangtuanya pun terpaksa menyetujuinya.
Hari pembekalan sebelum keberangkatan. Widya, Ayu, Bima dan Nur, matanya melihat ke sekeliling, khawatir, 2 orang yang seharusnya ikut pembekalan belum juga terlihat batang hidungnya, sampai, menjelang siang, 2 orang muncul, menyapa dan memperkenalkan dirinya di depan mereka.
Wahyu dan Anton. setelah basa basi, bertanya seputar rencana KKN dari A sampai Z selesai, mereka akhirnya berangkat. “Numpak opo dik kene??” (naik apa kita nanti?) kata Wahyu. “Elf mas” jawab Nur. “sampe deso’ne numpak Elf dik?” (sampai desanya naik mobil Elf dik?)
“mboten mas. berhenti di jalur Alas D engken enten sing jemput” (tidak mas, nanti berhenti di jalur hutan D, nanti ada yang jemput) sahut Nur. mendengar itu, Widya bertanya ke Ayu. “Yu, Deso’ne ra isok di liwati Mobil ta?” (Yu, apa desanya gak bisa di masuki mobil”
Ayu hanya menggelengkan kepala. “ra isok, tapi cedek kok tekan dalan gede, 45 menit palingan” (gak bisa, tapi dekat kok dari jalan besar, 45 menit kemungkinan) disinilah. cerita ini di mulai.
sesuai apa yang Nur katakan. Mobil berhenti di jalur masuk hutan D, menempuh perjalanan 4 sampai 5 jam dari kota S, tanpa terasa hari sudah mulai petang, di tambah area dekat dengan hutan, membuat pandangan mata terbatas, belum sampai disana, gerimis mulai turun. lengkap sudah.
setelah menunggu hampir setengah jam, terlihat dari jauh, cahaya mendekat, Nur dan Ayu langsung mengatakan bahwa mereka yang akan mengantar. rupanya, yang mengantar adalah 6 lelaki paruh baya, dengan motor butut. “cuk. sepedaan tah” kata Wahyu, spontan, saat itu ada yang aneh.
Entah disengaja atau tidak, ucapan yang di anggap biasa di kota S, di tanggapi lain oleh lelaki-lelaki itu, wajahnya tampak tidak suka, dan sinis tajam melihat wahyu. hanya saja, yang memperhatikan semua sedetail itu, hanya Widya seorang. apapun itu, semoga bukan hal yang buruk.
Ditengah gerimis, jalanan berlumpur, pohon di samping kanan kiri, mereka tempuh dengan suara motor yang seperti sudah mau ngadat saja, ditambah medan tanah naik turun, membuat Widya berpikir kembali sudah hampir satu jam lebih, tapi motor masih berjalan lebih jauh ke dalam hutan.
Khawatir bahwa yang di maksud Ayu, setengah jam lewat 15 menit adalah setengah hari, Widya mulai berharap semua ini cepat selesai. di tengah perjalanan, tidak satupun dari pengendara motor itu yang mengajaknya bicara, aneh. apa semua warga disana pendiam semua.
Malam semakin gelap, dan hutan semakin sunyi sepi, namun, kata orang, dimana sunyi dan sepi di temui, disana, rahasia di jaga rapat-rapat. kini, rasa menyesal sempat terpikir di pikiran Widya, apakah ia siap, menghabiskan 6 minggu ke depan, di sebuah Desa, jauh di dalam hutan.
Ketika suara motor memecah suara rintik gerimis, dari jauh, sayup-sayup, terdengar sebuah suara. suara familiar, dengan tabuhan kendang dan gong, di ikuti suara kenong, kompyang, mebaur menjadi alunan suara gamelan. apa ada yang sedang mengadakan hajatan di dekat sini.
Dan ketika sayup-sayup suara itu perlahan menghilang, terlihat gapura kayu, menyambut mereka. sampailah mereka di Desa W****, tempat mereka akan mengabdikan diri selama 6 minggu ke depan.
“Monggo” (permisi) kata lelaki itu, sebelum meninggalkan Widya dengan motornya. “mrene rek” teriak Ayu, di sampingnya berdiri seorang pria, wajahnya tenang, dengan kumis tebal, mengenakan kemeja batik khas ketimuran, ia berdiri seolah sudah menunggu sedari tadi.
“Kenalno, niki pak Prabu. kepala Desanya. koncone mas’ku. pak Prabu, niki rencang kulo yang dari Kota S, mau melaksanakan kegiatan KKN di kampung panjenengan” (Kenalkan, ini pak Prabu, kepala Desa teman kakakku, pak Prabu, ini teman saya yang dari kota, yang rencananya mau KKN”
Pak Prabu memperkenalkan diri, bercerita tentang sejarah desanya, di tengah ia bercerita, Widya pun bertanya kenapa desanya harus sepelosok ini, dengan tawa sumringah, pak Prabu menjawab. “pelosok yok nopo toh mbak, Jarak ke dalan gede cuma setengah jam kok” (pelosok bagaimana maksudnya mbak, bukanya jarak ke jalan besar hanya 30 menit) tatapan bingung Widya, disambut tatapan bertanya oleh semua temanya, seolah pertanyaanya kok membingungkan.
“Mbak’e paling pegel, wes, tak anter nang ndi sedoyo bakal tinggal” (mbaknya mungkin capek, jadi, mari, tak antar ke tempat dimana nanti kalian tinggal) di tengah kebingungan itu, Ayu menegur Widya. “maksudmu opo to Wid, takon koyok ngunu? garai sungkan ae” (maksudnya bagaimana tah Wid, kok kamu tanya seperti itu, buat saya sungkan saja kamu) di situ, Widya menyadari, ada yang salah.
Tempat menginap untuk laki-laki adalah rumah gubuk yang dulunya seringkali dipakai untuk posyandu, tapi sudah di rubah sedemikian rupa, meski beralaskan tanah, tapi di dalamnya sudah ada bayang (Ranjang tidur) beralasakan tikar. sedangkan untuk perempuan, menginap di salah satu rumah warga. di dalam kamar, Widya pun bertanya, maksud ucapanya kepada pak Prabu, karena sepanjang perjalanan, bila di rasakan oleh Widya sendiri, itu lebih dari satu jam, Ayu membantah bahwa lama perjalanan tidak sampai selama itu, anehnya, Nur memilih tidak ikut berdebad.
Nur, lebih memilih untuk diam.
“Ngene, awakmu krungu ora, nang dalan alas mau, onok suara gamelan?” (gini, kamu dengar apa tidak , di jalan tadi, ada suara orang memainkan gamelan?) “yo paling onok hajatan lah, opo maneh” (ya palingan ada warga yang mengadakan hajatan, apalagi) berbeda dengan Ayu,-
Nur, menatap Widya dengan ngeri. sembari berbicara lirih, Nur yang seharusnya paling ceria di antara mereka berkata.
“Mbak, ra onok Deso maneh nang kene, gak mungkin nek onok hajatan, nek jare wong biyen, krungu gamelan nang nggon kene, iku pertanda elek”
(Mbak, tidak mungkin ada desa lain disini, tidak mungkin ada acara di dekat sini, kalau kata orang jaman dulu, kalau dengar suara gamelan, itu pertanda buruk).
Mendengar itu, Ayu tersulut dan langsung menuding Nur sudah ngomong yang tidak-tidak.
“Nur, ra usah ngomong aneh-aneh kui, awakmu yo melok observasi nang kene ambek aku, mosok gorong sedino wes ngomong ra masuk akal ngunu” (Nur, jangan ngomong sembarangan kamu bukanya kamu ikut observasi di kampung ini sama aku, belum sehari kamu sudah ngomong ha; yang gak masuk akal begini) Ayu pergi, meninggalkan Widya dengan Nur. saat itu, Nur mengatakanya. “Mbak, aku yo krungu suara gamelan iku” (Mbak, aku juga dengar suara gamelan itu) katanya.
“Masalahe mbak, aku yo ndelok onok penari’ne nang dalan mau” (masalahnya, aku juga lihat ada yang menari di jalan tadi) “Astaghfirullah” kata Widya tidak percaya. Nur menatap nanar Widya, air matanya sudah seperti memaksa keluar, Widya hanya memeluk dan mencoba menenangkanya.
Benar kata ibunya tempo hari. “Banyu semilir mlayu nang etan,” (air selalu mengalir ke arah timur) yang memiliki makna, bahwa timur adalah tempat dimana semua di kumpulkan menjadi satu, antara yang buruk dan yang paling buruk, dan kini, Widya harus tinggal di hutan paling timur.
Cerita tentang Nur dan Widya tentang suara gamelan di sepanjang perjalanan tadi, masih awalnya saja, ibarat sebuah kopi masih sampai di rasa yang paling manis, belum sampai di rasa yang paling pahit.
Widya memang percaya terhadap hal-hal yang ghaib, itu ada di dalam ajaran agamanya, namun baru kali ini ia merasakan langsung pengalaman itu, meski hanya sekedar suara, berbeda dengan Nur, temanya, ia mengaku melihat yang tidak seharusnya ia lihat. mungkin Nur lebih sensitif.
Memang, sejak awal, Nur yang paling berbeda di antara yang lain, hanya dia seorang yang mengenakan jilbab, dibandingkan dengan Ayu dan dirinya sendiri, Nur yang paling religius, karena setahu Widya sendiri, Nur jebolan pondok pesantren ternama di kota “J”.
Terlepas dari itu semua, pengalaman KKN ini, tidak akan pernah di lupakan oleh semua rombongan ini.
“Nur,” kata Widya masih menenangkan “Nur bisa ndak, cerita ini ojok sampe nyebar yo gok arek2, kan gak enak, nek sampe kerungu ambi warga deso, opo maneh kita disini iku tamu, insyaallah, kabeh lancar, nggih” (Nur, bisa gak cerita ini jangan sampai menyebar ke teman-teman).
(kan jadi gak enak, kalau sampai warga desa dengar, apalagi kita disini itu sebagai tamu, insyaallah, semua akan baik-baik saja. ya) Nur mengangguk, meski enggan menjawab kalimat Widya, dan malam itu, tanpa terasa di lewati begitu saja.
Keesokan harinya, rombongan sudah berkumpul, sesuai janji pak Prabu, hari ini, akan keliling desa, melihat semua proker yang sudah di ajukan oleh Ayu tempo hari, sekaligus, meminta saran untuk Proker individu yang harus di kerjakan oleh satu anak sendiri-sendiri.
“Ngene iki, walaupun saya tinggal nang kene, aku yo pernah kuliah loh dek, sarjana lagi” kata pak Prabu, bahasanya medok, campur-campur antara bahasa jawa dan bahasa indonesia, mendengar itu, Wahyu menimpali. “iku lo, rungokno bapak’e, walaupun wong deso, gak lali kuliah”