Cerita Asli KKN di Desa Penari versi Nur dan Widya dari Thread Twitter
“ngapunten mbah, kulo mboten ngopi” (mohon maaf kek, saya tidak minum kopi) “wes ta lah, di ombe sek, gak oleh nolak paringane tuan rumah nang kene yo. gak apik” (sudahlah, di minum dulu, gak baik nolak pemberian tuan rumah disini. tidak bagus pokoknya) “nggih pak” ucap Nur.
ketika Nur menyesap kopinya, aneh, kopi itu terasa seperti aroma melati, rasanya manis, dan ia tidak menemukan ampas, padahal dari luar, kopi itu terlihat seperti kopi hitam yang sekali lihat, bisa di rasakan rasanya akan sepahit apa. si kakek bertanya. “yo opo rasane?”.
“Enak mbah” si mbah mengangguk puas, kemudian bertanya kembali. “sak iki ceritakno, onok opo, cah ayu mrene?” (sekarang, kamu boleh cerita, kenapa kamu kesini anak cantik?) “kulo bade tandet ten pak Prabu mbah” (saya mau tanya sama pak Prabu kek) “takon perkoro” (tanya soal).
“kulo di ketok’e memedi sing gedeh mbah, kulo wedi mbah, nganggo salah ten mriki, ngapunten nek kulo enten salah nang njenengan warga mriki” (saya di ikuti oleh sosok besar kek, saya takut. apa saya sudah melakukan kesalahan, sehingga saya dikejar, apa ada yang saya perbuat dan membuat tidak nyaman warga sini, saya minta maaf sebesar-besarnya) saat itulah, pak Prabu bicara “ndok, guk salahmu kok, sing ngetutke awakmu, iku ngunu, gak nyaman, mbek sing mok gowo” (nak, ini bukan salahmu, alasan kenapa kamu diikuti, karena kamu bawa sesuatu dari luar).
“maksude yok nopo pak, kulo mboten ngetos maksud njenengan” (maksudnya bagaimana pak, saya tidak mengerti maksud anda) si kakek, kemudian melanjutkan. “awakmu ndok, iku ngunu, onok sing njogo, yo. sopo?? mbah dok, nah, iku sing gak di terimo nang kene. ngerti ndok”
(kamu itu nak, ada yang menjaga, siapa ya? nenek-nenek, nah, itu yang tida diterima disini. paham nak) “kulo, njogo? ngapunten, kulo mboten paham” (saya, menjaga. mohon maaf, saya belum mengerti) “wes, ngene ae, mene bengi, mampir rene maneh yo, tak duduno sesuatu”
(sudah begini saja, besok malam, kamu kesini, saya tunjukkan sesuatu sama kamu) meski tidak mengerti maksud ucapan pak Prabu dan lelaki renta itu, Nur akhirnya kembali ke penginapanya. dengan membawa nama lelaki renta itu, yang menyebut dirinya dengan nama “Mbah Buyut”
yang pertama Nur lihat saat ia menginjak penginapan adalah, Widya. ia seperti sudah menunggunya, dan benar saja, Widya mengajukan pertanyaan aneh-, seperti darimana, kenapa tidak minta di temenin, namun, Nur tidak ingin menceritakanya, ia takut bila Widya dan yang lain terlibat.
Nur langsung pergi ke kamar, beristirahat, meski pikiranya masih menerawang jauh, ia tidak tahu harus melakukan apa selain menyimpanya sendiri. berharap mendapatkan ketenangan dalam tidurnya, Nur malah mendapat mimpi, tak terlupakan, sepeti sebuah pesan untuknya.
di mimpi itu, Nur melihat sebuah tempat, banyak pepohonan yang tumbuh, salah satu yang tidak akan pernah Nur lupakan adalah pohon Jati kroyo atau lebih dikenal dengan nama jati belanda yang tumbuh di sepanjang mata memandang, bukan hanya itu, ada rimbun tumbuh tanaman beluntas.
aroma dedaunan beluntas yang wangu, membuat Nur mengingat kembali saat ia masih tinggan di pesantren, namun, Nur sadar, bahwa ia saat ini, berdiri di tengah hutan belantara, sendirian, dengan kegelapan malam yang menyiutkan nyalinya. Nur, mulai berjalan, menyusuri tanah lapang.
sejauh mata memandang, Nur hanya melihat pepohonan yang besar diselimuti kabut keputihan, tepat ketika Nur tengah berjalan, ia mendengar riuh sorai dari kejauhan, dari suara itu, terdengar ramai orang, entah ada apa, sehingga keramaian itu, membuat Nur penasaran, ia pun mendekati.
semakin mendekati sumber suara, Nur merasa janggal, entah apakah dari balik pepohonan atau semak belukar, ada yang tengah mengasinya, Nur hanya mengucap kalimat yang bisa menguatkan batinya, bahwa ia, disini, bukan berniat menganggu.
“mbah, ngapunten, cucu’ne numpang lewat, mboten gada niat nganggu. ngapunten nggih mbah” (mbah, mohon maaf, cucu’mu hanya ingin lewat, tidak ada keinginan mengganggu, mohon maaf ya mbah) kalimat itu, terus Nur, ucapkan. dan, sampailah, ia, di keramaian itu.
banyak sekali orang, mulai dari yang tua, hingga yang muda, dari anak-anak sampai remaja, mereka semua berkumpul menjadi satu, didepan sebuah sanggar besar, ada alunan musik gamelan, yang mengalun merdu, tepat, ditengah sanggar, ada sosok penari yang sangat cantik.
Nur, tidak pernah tahu, ada tempat seperti ini di desa ini, sebelumnya, ia memang tidak mengikuti pak Prabu saat mengajak semua rombongan temanya berkeliling kampung, maka, saat itu, Nur hanya berpikir, di tempat inilah, warga kampung mengadakan hajatan.
Nur masih belum menyadari, kenapa dan bagaimana ia bisa sampai disana, yang ia tahu, ia tersesat sampai akhirnya berakhir ditempat ini ketika, Nur tengah asyik menikmati pertunjukkan itu, tiba-tiba, terdengar sayup seseorang berteriak, anehnya, hanya Nur yang merasa mendengarnya.
teriakanya pilu, meminta tolong, Nur pun meninggalkan keramaian itu, matanya awas, mencari sumber suara yang meminta tolong itu, naas, ketika Nur tengah berjalan, ia terpelosok jatuh dari sebuah bukit yang tidak terlalu tinggi, mencoba bangkit, Nur melihat kakinya mati rasa.
saat itulah, Nur melihatnya. seekor ular tengah menatapnya, ia mendesis, membuat Nur hanya bisa terpaku melihatnya. sisiknya hijau zambrud, meski ukuranya tidak terlalu besar, ular itu cukup membuat Nur ketakutan, dengan tenaga yang tersisa, Nur merangkak menjauhinya.
masalahnya, adalah, setelah itu, muncul orang yang Nur kenal, sosok yang berjalan mendekati Nur, Widya, Widya memeluk ular itu, seperti peliharaanya, membiarkan ular itu, melilit lenganya, seakan-akan ular itu adalah temanya. melihat itu, Nur tidak tahu harus bicara apa.