Di tengah sorotan lampu pabrik yang mulai redup, ribuan karyawan Sritex berkumpul untuk terakhir kalinya. Dalam suasana haru, mereka menyanyikan lagu perpisahan, mengenang tahun-tahun kerja keras dan kebersamaan yang tak tergantikan.

Perpisahan yang Penuh Emosi

Langit Sukoharjo tampak cerah sore itu, tetapi hati ribuan karyawan PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) justru mendung. Mereka berdiri bersama di halaman pabrik, mengenakan seragam kebanggaan yang dalam hitungan hari tak lagi mereka kenakan. Suasana yang biasanya diwarnai suara mesin jahit dan aktivitas produksi kini berubah menjadi momen haru.

Di tengah kerumunan, Direktur Utama Sritex, Iwan Kurniawan Lukminto, berdiri di panggung sederhana. Ia menatap karyawan yang telah bekerja bersama selama bertahun-tahun, banyak di antaranya telah mengabdi puluhan tahun. Dengan suara bergetar, ia menyampaikan pidato perpisahan.

“Kekeluargaan ini harus terus kita jaga. Para kurator selalu membicarakan aset. Namun mereka lupa, aset yang paling berharga adalah kita semuanya ini,” ucapnya. Kata-kata itu memicu gelombang emosi di antara para pekerja, beberapa mulai menyeka air mata.

Ketika lagu “Kenangan Terindah” dari Samsons mulai mengalun, suasana semakin larut dalam kesedihan. Ribuan suara bergabung dalam nyanyian, banyak di antaranya terbata-bata karena menahan tangis. Seorang karyawan perempuan yang telah bekerja lebih dari 20 tahun tampak berpelukan dengan rekannya, berusaha menguatkan satu sama lain.

Kebanggaan yang Kini Tinggal Kenangan

Sritex bukan sekadar perusahaan bagi mereka. Bagi sebagian besar karyawan, tempat ini adalah rumah kedua, tempat mereka membangun mimpi dan menyekolahkan anak-anak mereka. Perusahaan tekstil ini pernah menjadi salah satu yang terbesar di Asia Tenggara, dikenal sebagai produsen seragam militer untuk lebih dari 35 negara.

Namun, kejayaan itu mulai pudar sejak 2021, ketika perusahaan mulai mengalami krisis finansial. Beban utang yang terus menumpuk, ditambah tekanan ekonomi global, akhirnya membuat Sritex tak lagi mampu bertahan. Pada awal 2025, Mahkamah Agung menetapkan Sritex dan tiga entitas afiliasinya dalam keadaan pailit. Dengan utang mencapai Rp24,3 triliun, tak ada lagi pilihan selain menutup operasional pabrik.

Keputusan itu berdampak besar bagi para karyawan. Sebanyak 10.965 pekerja harus menghadapi kenyataan pahit: kehilangan pekerjaan yang selama ini menjadi sandaran hidup mereka.

Di Antara Isak Tangis, Ada Ketidakpastian

Perpisahan ini tak hanya dipenuhi kesedihan, tetapi juga kegelisahan. Beberapa karyawan menyampaikan keluhan mereka terkait gaji yang belum terbayarkan. Mereka berharap manajemen dapat segera menyelesaikan kewajiban tersebut sebagai bentuk penghormatan atas dedikasi yang telah mereka berikan selama ini.

Salah seorang karyawan yang telah bekerja selama 15 tahun mengatakan, “Kami tidak hanya kehilangan pekerjaan, tapi juga masih menunggu hak kami yang belum diberikan. Kami berharap ini segera diselesaikan,” ujarnya mengutip Video Kompas.

Meski begitu, momen perpisahan ini tetap menjadi ajang untuk saling menguatkan. Tidak sedikit yang berusaha tegar, saling berbagi cerita tentang masa-masa mereka bekerja bersama. Ada yang mengenang pertama kali mereka bergabung, ada pula yang bercerita tentang masa-masa kejayaan Sritex, saat pabrik ini menjadi kebanggaan Sukoharjo.

Melangkah ke Depan dengan Kenangan yang Tak Terhapuskan

Kini, ribuan pekerja Sritex menghadapi babak baru dalam hidup mereka. Beberapa telah berencana mencari pekerjaan di tempat lain, sementara yang lain berharap ada investor yang bisa menghidupkan kembali pabrik ini.

Dalam perpisahan ini, satu hal yang pasti: Sritex mungkin akan tutup, tetapi kebersamaan dan semangat yang telah terjalin di antara para karyawan akan tetap hidup. Seperti lirik lagu yang mereka nyanyikan bersama:

“Kau memberikan, kau relakan, hatimu untukku…”

Kenangan itu akan selalu tersimpan di hati mereka, sebagai bagian dari perjalanan hidup yang tak akan pernah terlupakan. (Rfi)