Nama Ang Andreas mencuat dalam dua kasus hukum yang berbeda. Dari kasus dugaan pengrusakan rumah hingga penyerobotan lahan, kedua perkara ini seolah jalan di tempat, menimbulkan tanda tanya besar mengenai transparansi dan independensi aparat penegak hukum.

Kuasa hukum korban dari kedua kasus, DR. Muslimin Budiman, SH., MH., menilai, bahwa ada upaya sistematis yang menguntungkan tersangka baik di tingkat kejaksaan maupun kepolisian.

“Ada banyak kejanggalan dalam kedua kasus ini. Bukti hilang, berkas perkara berulang kali dikembalikan, dan bahkan tersangka yang seharusnya dalam masa penangguhan masih bisa bepergian ke luar negeri,” ujar Muslimin, Kamis (27/2/2025).

Dugaan Pengrusakan Rumah yang Tak Kunjung P-21

Kasus ini bermula dari laporan Jafri Yauri pada 2 Februari 2023 dengan Nomor LP-B/137/II/2023/SPKT/POLRESTA PALU/POLDA SULTENG. Dalam laporan tersebut, Ang Andreas ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan tindak pidana pengrusakan secara bersama-sama, sebagaimana diatur dalam Pasal 170 ayat (1) Jo. Pasal 406 KUHP.

Namun, meskipun sudah ditahan pada 24 Juli 2023, hanya dalam dua hari ia mendapatkan penangguhan penahanan. Yang lebih mencurigakan, selama masa penangguhan, Ang Andreas sering bepergian ke luar kota, bahkan ke luar negeri, meskipun seharusnya pergerakannya dibatasi sesuai Pasal 31 KUHAP.

Selain itu, penyidik Polresta Palu telah mengirimkan berkas perkara ke Kejaksaan Negeri Palu sejak 13 Desember 2023, tetapi hingga kini belum masuk tahap P-21. Berkas perkara telah dikembalikan sebanyak empat kali, dengan alasan yang menurut kuasa hukum tidak masuk akal.

Kronologi Pengembalian Berkas oleh Jaksa Peneliti:

  1. 13 Desember 2023 → Dikembalikan (P-19) pada 27 Desember 2023
  2. 21 Agustus 2024 → Dikembalikan (P-19) pada 29 Agustus 2024
  3. 7 November 2024 → Dikembalikan (P-19) pada 20 November 2024
  4. 18 Desember 2024 → Dikembalikan (P-19) pada 24 Desember 2024

Muslimin menegaskan bahwa semua petunjuk jaksa telah dipenuhi, termasuk pemeriksaan ahli dan pengukuran ulang lahan, namun berkas terus dikembalikan. Bahkan, dalam petunjuk terakhir, jaksa meminta agar salah satu pasal yang menjerat tersangka dihilangkan, yang dinilai sangat janggal.

“Kami curiga ada upaya menghambat kasus ini. Semua petunjuk jaksa sudah dipenuhi, tapi selalu ada alasan untuk mengembalikan berkas. Apakah jaksa punya hak untuk membela tersangka? Seharusnya mereka bekerja untuk menegakkan hukum, bukan meringankan tersangka,” tegasnya.

Selain itu, Muslimin mempertanyakan sikap Kejaksaan Tinggi yang menggelar ekspose perkara tanpa menghadirkan penyidik dari Polresta Palu, yang menimbulkan dugaan adanya intervensi dalam proses hukum.

“Jika memang ada yang salah dalam penyelidikan, seharusnya penyidik dipanggil untuk menjelaskan, bukan malah menggelar ekspose sepihak,” tambahnya.

Muslimin mendesak agar Kejaksaan Negeri Palu segera melimpahkan perkara ini ke pengadilan agar tersangka bisa mempertanggungjawabkan perbuatannya secara hukum.

Penyerobotan Lahan yang Mandek Meski Menang Praperadilan

Kasus kedua melibatkan laporan Edi Hasan terhadap Ang Andreas dan Ang Franky atas dugaan penyerobotan lahan di Jalan Cut Nyak Dien, Besusu Barat, Kota Palu. Laporan ini dibuat sejak 22 Oktober 2022, dengan Nomor LPB/1162/X/2022/SPKT/POLRESTA PALU/POLDA SULTENG.

Terlapor diduga membangun ruko lima lantai yang saat penggalian pondasinya melampaui batas tanah, menyebabkan kerusakan pada bangunan milik kliennya.

Penyelidikan sempat dilakukan dengan mengundang Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Palu untuk mengembalikan batas lahan. Hasil pengukuran pada 13 Juni 2023 menunjukkan bahwa terlapor telah menguasai lahan sekitar 1 meter di luar batas sertifikat, namun kasus ini tetap menggantung.

Yang lebih mengejutkan, saat kliennya mengecek perkembangan kasus pada September–Oktober 2023, bukti surat berupa foto lokasi belakang ruko kliennya hilang dari berkas perkara di Polresta Palu.

“Bagaimana mungkin bukti yang telah kami serahkan bisa hilang di tangan penyidik? Ini menunjukkan ada kejanggalan serius dalam proses hukum,” ujar Muslimin.

Lebih lanjut, saat dilakukan pengukuran tanah pada 28 Juni 2024, ditemukan fakta bahwa anak terlapor, Ang Andreas, memiliki dokumen hasil pengukuran tanah yang seharusnya hanya diberikan kepada kepolisian.

“Kami cek ke BPN, dan mereka menegaskan bahwa dokumen itu seharusnya hanya diberikan kepada penyidik. Bagaimana bisa dokumen negara jatuh ke tangan pihak yang dilaporkan?” tambahnya.

Karena merasa tidak mendapatkan keadilan, Edi Hasan mengajukan praperadilan, yang akhirnya dikabulkan oleh Pengadilan Negeri Palu dengan Register Perkara No. 1/Pid.Pra/2025/PN Pal.

Putusan Praperadilan:

  1. Menyatakan penghentian penyidikan oleh Polresta Palu tidak sah dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
  2. Memerintahkan Polresta Palu untuk melanjutkan penyidikan atas laporan polisi yang telah diajukan Edi Hasan.

Namun, hingga kini, penyidik belum juga menindaklanjuti putusan pengadilan, membuat Muslimin geram.

“Putusan praperadilan ini bukan sekadar keputusan administratif, tetapi perintah hukum yang harus dijalankan. Jika penyidik tetap mengabaikannya, kami akan mengambil langkah hukum lebih lanjut,” tegasnya.

Ada Apa dengan Proses Hukum terhadap Ang Andreas?

Dua kasus berbeda:

  1. Berkas perkara selalu dihambat oleh jaksa dengan alasan yang tidak jelas.
  2. Penangguhan penahanan yang longgar hingga tersangka bisa bepergian ke luar negeri.
  3. Bukti yang hilang dari kepolisian.
  4. Dokumen negara yang bocor ke tangan terlapor.
  5. Putusan pengadilan yang tak dijalankan oleh penyidik.

Dengan semakin besarnya tekanan publik, kini semua mata tertuju pada bagaimana Polresta Palu dan Kejaksaan Negeri Palu akan merespons desakan ini.

Akankah kasus ini terus diperlambat, atau akhirnya akan dibawa ke pengadilan untuk memberikan keadilan bagi para korban? Publik menanti jawabannya. (Tim)