Kabar duka menyelimuti dunia perfilman Indonesia. Aktor kawakan Ray Sahetapy meninggal dunia. Kepastian kepergiannya disampaikan langsung oleh putranya, Surya Sahetapy, melalui unggahan Instagram Story pada Selasa malam, 1 April 2025.

Dalam unggahan tersebut, Surya membagikan foto Ray bersama mendiang putri sulungnya, Gizca Puteri Agustina Sahetapy, sembari menulis, “Innalillahi wa innailaihi raji’un.”

“Semoga bisa berkumpul kembali dengan Gizca di surga,” tulis Surya, menutup pesannya dengan doa yang penuh ketulusan.

Ray Sahetapy lahir di Donggala, Sulawesi Tengah, 1 Januari 1957, adalah figur sentral di dunia seni peran Indonesia. Ia dibesarkan di Panti Asuhan Yatim Warga Indonesia, Surabaya. Dari masa kecil yang tidak mudah, Ray menjelma menjadi aktor besar yang dihormati. Keinginannya menjadi aktor ia wujudkan dengan masuk Institut Kesenian Jakarta pada 1977, di mana ia satu angkatan dengan Deddy Mizwar dan Didik Nini Thowok.

Ray menikah dengan penyanyi dan aktris Dewi Yull pada 1981. Dari pernikahan tersebut, mereka dikaruniai empat anak: Gizca (1982–2010), Rama Putra (1992), Surya (1994), dan Muhammad Raya Sahetapy (2000). Ray memutuskan menjadi mualaf pada 1992.

Di layar lebar, Ray dikenal karena peran-perannya yang intens, penuh lapisan emosi dan kekuatan karakter. Ia tampil gemilang dalam film Ponirah Terpidana, Secangkir Kopi Pahit, Tatkala Mimpi Berakhir, Opera Jakarta, hingga Jangan Bilang Siapa-Siapa. Tujuh kali dinominasikan di ajang Festival Film Indonesia, enam di antaranya sebagai Aktor Terbaik, meski belum pernah menang. Ia memegang rekor sebagai aktor dengan nominasi terbanyak tanpa membawa pulang Piala Citra.

Meski sempat meredupnya industri film nasional, Ray tetap menjaga nyala seninya. Ia membangun sanggar teater di pinggiran kota, menciptakan ruang bagi seniman muda, dan tetap hadir dengan pemikiran-pemikiran kritis tentang kebudayaan. Ia juga pernah memimpin organisasi Perhimpunan Seniman Nusantara dan menjadi bagian dari Kongres PARFI.

Kini, aktor yang selalu menghadirkan kekuatan dalam keheningan itu telah pergi. Tetapi warisan perannya tetap hidup. Ia mungkin telah menutup naskah hidupnya, namun dialog-dialognya akan terus dikenang.

Selamat jalan, Ray. Semoga damai di panggung abadi. (Rfi/WKPD)