Sekolah Bawah Tanah Bantu Anak-anak di Ghouta Timur
GHOUTA, Infopena.com – Alaa al-Khamooneh, seorang guru matematika di Douma, kota terbesar di Ghouta Timur, dipaksa untuk mengambil profesinya untuk mengajar di bawah tanah pada bulan lalu untuk menghindari bom dan serangan udara.
Sebagian besar penduduk telah tinggal di ruang bawah tanah atau tempat penampungan sementara, untuk menghindari pemboman dari pesawat tempur, yang hingga saat ini telah mengklaim setidaknya 1.644 warga sipil.
“Para guru telah mencoba untuk melanjutkan proses pendidikan pertama dan terutama untuk mengalihkan perhatian anak-anak dari realitas di sekitar mereka,” kata Khamoomeh, seperti dilansir dari Al Jazeera.
“Itu adalah cara kami untuk mengubah apa kehidupan sehari-hari mereka, yang seperti biasanya hanya menghitung ledakan sampai menangis terus-menerus dalam ketakutan.”
Khamooneh menjelaskan, banyak siswa menderita mimpi buruk, gejala gangguan stres dan trauma, yang pada akhirnya merugikan pada kehidupan mereka jika tidak ditangani.
“Kami mencoba mengatasi masalah ini dengan sedikit sumber daya yang kami miliki, seperti sesi psiko-sosial dan jika kami mempunyai waktu banyak, kami juga mengajarkan mereka untuk melukis,” katanya.
Sekolah Bawah Tanah
Sekolah dasar adalah proyek yang diselenggarakan bulan lalu oleh para guru di Douma, karena terlalu berisiko untuk melanjutkan pelajaran di gedung sekolah.
Ini telah terjadi sejak 2014, di mana sekolah menjadi sasaran pasukan pemerintah Suriah, kata Adnan Alwan, seorang guru pelajaran sosial.
Dari 31 sekolah di Douma, enam di antaranya hancur total selama konflik delapan tahun Suriah, dan 15 lainnya mengalami kerusakan parsial, kata Adnan.
“Sebelumnya, kami menggunakan ruang-ruang belakang di bangunan acak untuk menghindari jatuhnya korban,” kata wanita berumur 32 tahun itu.
Proyek ini menjalankan sekitar 48 sekolah dasar di Douma, dengan julmlah 3.500 siswa, dengan jumlah guru sebanyak 96, dan sebagian besar guru lainnya merupakan dari orang tua mereka sendiri.
“Ini semua pekerjaan sukarela yang dilakukan oleh para guru di Douma untuk membantu dan mendukung anak-anak,” kata Alwan.
“Kami harus mengambil inisiatif untuk membantu anak-anak mengatasi kehidupan baru mereka di bawah tanah.”
Namun kondisi sekolah dasar ini jauh dari ideal atau aman. Alwan menggambarkan, seklolah ini menyerupai penjara.
“Bahkan kami lebih sering mengajar di ruang-ruang berbau busuk yang tidak memiliki banyak reruntuhan,” katanya. Ruang-ruang ini tidak memiliki kursi dan meja, dan anak-anak duduk di atas selimut atau karpet tipis.
Sementara papan tulis tersedia, listrik disediakan dalam bentuk lampu LED yang dioperasikan oleh baterai.
Kurikulum yang diajarkan adalah versi revisi oleh pemerintah oposisi Suriah yang berbasis di Turki, yang menghapus sebagian besar konten yang dimasukkan oleh pemerintah Baath Suriah.
Salah satu contoh bahwa kurikulum yang direvisi dihapus adalah subyek nasionalisme, yang mengajarkan pencapaian Hafez al-Assad dan putranya serta Presiden Bashar saat ini.
Namun, meski upaya ini terbaik untuk melanjutkan pendidikan siswa, Khamooneh mengatakan, warga masih takut dengan pesawat tempur.
“Jika mengacu pada serangan terhadap sebuah sekolah dasar di Irbin yang menewaskan sedikitnya 16 anak dan empat wanita minggu lalu, sangat tidak aman jika berada di sini,” katanya.
Hidup dalam Kegelapan
Sarah Hajkarem (11), tinggal bersama orang tuanya dan dua adik laki-lakinya di salah satu tempat penampungan bawah tanah.
“Kami sudah berada di sini dalam kegelapan selama lebih dari satu bulan,” katanya. “Aku merindukan matahari dan bermain di jalanan sepulang sekolah.”
Tempat ini untuk berlindung, juga berfungsi sebagai sekolah, tetapi Sarah mengatakan, dia mengalami kesulitan fokus selama belajar, karena “bom tidak berhenti jatuh”.
“Kami berkumpul dalam lingkaran seperti orang yang lagi berdo’a di sebuah masjid di bawah lampu redup,” katanya. “Kami hampir tidak bisa melihat apa yang ditulis guru, kami juga tidak bisa menulis karena pena dan buku catatan tidak cukup untuk semua orang.”
Ruang bawah tanah penuh dengan tetangga Sarah, yang semuanya hanya makan satu kali sehari. Tidak banyak ruang untuk bergerak, dan anak-anak bermain dalam keheningan untuk tidak mengganggu orang dewasa.
Sarah, yang ingin belajar sastra Inggris dan menjadi guru, berharap kehidupan akan kembali normal.
“Saya ingin dapat pergi ke sekolah yang layak lagi, bermain di luar dengan teman-teman saya dan memiliki makanan, air dan dapat mandi setiap hari,” katanya. “Ibuku berkata, kita akan memiliki semua itu segera.”
Transaksi Evakuasi
Ghouta Timur, yang terletak 15km timur dari ibu kota Damaskus, telah dikepung oleh pemerintah sejak pertengahan 2013 setelah fraksi-fraksi oposisi mengambil alih.
Selanjutnya, telah menjadi target serangan berulang oleh pemerintah selama bertahun-tahun.
Serangan terakhir telah dilakukan bersamaan dengan invasi darat pemerintah yang mengasingkan wilayah itu menjadi tiga bagian.
Dalam beberapa hari terakhir, situasi telah mereda setelah fraksi-fraksi oposisi menandatangani perjanjian yang diperantarai Rusia dengan pemerintah Suriah.
Kesepakatan itu memungkinkan evakuasi pejuang pemberontak dan warga sipil yang ingin pergi ke provinsi barat laut Idlib, salah satu benteng terakhir di bawah kendali oposisi.
Sebanyak 100.000 penduduk meninggalkan Ghouta ke salah satu daerah yang dikuasai pemerintah atau oposisi yang dikontrol selama seminggu terakhir.
Sementara itu, kelompok oposisi Jaish al-Islam yang mengontrol Douma, telah bernegosiasi dengan pemerintah, tetapi hingga saat ini tidak ada kesepakatan yang dicapai.
Masa Depan yang Lebih Baik Bagi Generasi Muda
Tidak ada masa depan yang pasti bagi warga yang memilih untuk tetap tinggal di Ghouta, di mana mereka berada di titik puncak dalam menghadapi realita yang ada.
Perang telah memasuki tahun kedelapan dan menghancurkan populasi, sudah lebih dari 450.000 tewas dan sekitar 11 juta orang mengungsi.
Alaa al-Khamooneh mengatakan, sekolah-sekolah ruang bawah tanah yang menjadi alternative sementara dengan harapan bahwa masa depan yang lebih baik akan datang.
“Kami tidak bisa membayangkan tinggal di sini memberikan pelajaran dalam keadaan seperti itu,” katanya.
“Kami melakukan yang terbaik untuk generasi berikutnya dan kami berharap bahwa mereka akan memiliki masa depan yang lebih baik.”
[related-content]