ISTANBUL – Sesuai dengan kesepakatan kedua pihak negara, Turki akan segera menerima sistem peluru kendali antipesawat jarak jauh tercanggih Rusia, S-400. Turki membutuhkan sistem rudal S-400 Rusia itu untuk mengejar kepentingan nasionalnya.

“Kita tidak menyesali keputusan kita,” kata Presiden Recep Tayyip Erdogan saat berbicara dalam satu acara di Provinsi Balikesir seperti dilaporkan kantor berita Anadolu yang dikutip dari Antara, Sabtu (1/9)

Ini merupakan hasil dari kesepakatan Turki dengan Rusia pada Desember lalu. Yakni pembelian dua sistem rudal S-400 hingga awal 2020. Juga perihal penyerahan awal sistem rudal tercanggih buatan Moskow itu pada April 2018.

Senat Amerika Serikat keberatan akan kesepakatan Turki-Rusia itu. Sebab sistem rudal S-400 ini dapat membawa tiga jenis rudal yang mampu merontokkan target, termasuk rudal balistik dan jelajah.

Keberatan Senat AS ini dilatarbelakangi penahanan seorang pastur berkewarganegaraan AS oleh Ankara yang diklaim Turki sebagai mata-mata. Kemudian ditunjukkan dengan diloloskannya undang-undang berisi pelarangan penjualan jet tempur F-35 kepada Turki pada Juni lalu.

Adapun Presiden Erdogan menyebut kalau militer dan ekonomi negaranya menjadi target AS. Pernyataan ini menyusul penahanan pastur Andrew Craig Brunson yang didakwa Turki terlibat dalam kegiatan mata-mata untuk kepentingan kelompok PKK (Partai Pekerja Kurdistan) dan Organisasi Teror Fetullah (FETO).

Di mata Turki dan AS, PKK merupakan organisasi teroris. Namun Ankara dan Washington memiliki pandangan berbeda akan FETO.

Bagi Turki, FETO atau gerakan Fethullah Gulen merupakan organisasi teroris yang berlibat dalam upaya kudeta gagal akan kepemimpinan Erdogan pada Juli 2016. Sebaliknya, Pemerintah AS justru mengizinkan Fetullah Gulen menetap di negara itu.

Menyusul tahanan rumah yang diberlakukan terhadap Brunson ini, hubungan Ankara-Washington pun menjadi terganggu. Terlebih lagi setelah AS menjatuhkan sanksi atas sejumlah produk ekspor penting Turki.

Presiden Erdogan mengatakan, seperti negara-negara lain, Turki juga memiliki hak yang sah untuk memerangi terorisme.

“Memerangi terorisme dipandang sah bagi negara-negara lain namun tidak demikian halnya saat itu terjadi pada Turki. Mereka bertingkah berbeda,” kata pemimpin Turki kelahiran Istanbul, 26 Februari 1954, ini.

Presiden Erdogan mengatakan Turki tak pantas menerima serangan teror dari dalam dan luar negeri maupun kemunafikan di panggung dunia dan tak juga pantas mendapat gambaran seolah-olah Turki tengah menghadapi krisis ekonomi.

“Turki senantiasa loyal pada janji-janjinya dalam kesepakatan-kesepakatan internasional. Namun tetap saja kita selalu menghadapi kemunafikan,” katanya.

Sumber: Gatra.com