Sidang PS di Lokasi Sengketa, Edy Hasan Pertanyakan Gugatan Balik Miliaran
Sidang peninjauan setempat dalam perkara perdata antara Edy Hasan dan Frangky Andreas menyisakan ironi hukum yang tidak kecil. Digelar di Jalan Cut Nyak Dien, Kota Palu, Kamis 17 April 2025, majelis hakim Pengadilan Negeri Palu yang dipimpin Imanuel Charlo Rommel Danes bersama dua hakim anggota dan panitera pengganti melihat langsung lokasi sengketa yang kini menjadi bahan gugatan pencemaran nama baik bernilai fantastis: Rp62,5 miliar.
Awalnya, Edy Hasan adalah pihak yang melapor. Ia mengklaim tanah miliknya diserobot dan bangunan rusak akibat proyek yang dikerjakan atas nama Frangky Andreas. Namun justru Edy yang kini digugat balik. Ia hadir bersama kuasa hukumnya, Dr. Muslimin Budiman, sementara Frangky Andreas didampingi Abdul Rahman sebagai penasehat hukum.
“Saya sedang sakit, tapi mereka kerja sampai jam 10 malam, bahkan lebih. Bangunan saya rusak karena pwkerjaan mereka,” ujar Edy Hasan di lokasi.
Menurutnya, laporan kepada kepolisian telah dilengkapi bukti kuat, mulai dari rekaman CCTV hingga hasil pengukuran BPN Kota Palu yang menunjukkan adanya penguasaan lahan melebihi batas sertifikat milik Frangky Andreas.
“Sudah jelas dari hasil BPN bahwa tidak ada tumpang tindih sertifikat. Artinya, tanah saya benar dan memang diserobot. Tapi kok sekarang saya yang digugat balik karena pencemaran nama baik?” katanya dengan nada heran.
Edy menilai gugatan balik ini tidak berdasar, sebab laporan yang ia buat adalah hak hukum sebagai warga negara yang merasa dirugikan. Terlebih lagi, hasil sidang pra-peradilan sebelumnya menetapkan bahwa SP3 yang pernah dikeluarkan polisi terkait laporan itu dibatalkan karena cacat prosedur.
“Putusan pengadilan jelas menyatakan itu tindak pidana. Tapi mereka malah pakai SP3 dari polisi sebagai dasar menggugat saya,” lanjut Edy.
Ia juga mempertanyakan terbitnya IMB setelah bangunan selesai dan kasus sudah dilaporkan. Menurutnya, hal itu semakin memperkuat dugaan bahwa ada kejanggalan dalam penanganan perkara ini.
“IMB keluar setelah bangunannya jadi dan laporan saya sudah masuk. Kok bisa? Bukankah seharusnya tidak bisa diterbitkan karena lahan itu bermasalah?” ungkapnya.
“Yang digugat malah saya, padahal saya yang bangunannya dirusak, tanahnya diserobot. Sekarang saya harus berhadapan dengan gugatan Rp62,5 miliar,” kata Edy menutup keterangannya.
Sementara itu, kuasa hukum Frangky Andreas menyatakan, bahwa gugatan perdata ini bukan bentuk pembalasan, melainkan upaya hukum atas laporan yang telah dihentikan.
“Kami ingin menguji dasar dari laporan yang telah dilayangkan. Karena menurut kami, tidak semua laporan pidana itu memiliki dasar fakta yang kuat,” jelas Abdul Rahman usai sidang.
Ia menyebut, ada enam laporan terhadap kliennya. Empat dihentikan dengan SP2HP, satu gugur lewat putusan praperadilan, dan dua lainnya masih berjalan.
Abdul Rahman, menegaskan, bahwa gugatan ini diajukan hanya untuk laporan yang dihentikan.
“Gugatan ini berbeda. Jangan sampai masyarakat atau media salah memahami. Laporan yang digugat adalah yang sudah dihentikan, bukan yang dimenangkan dalam praperadilan,” tegasnya.
Gugatan itu berasal dari laporan yang dibuat pada Desember 2021 dengan nomor LP/367/XII/2021/SPKT/Polda Sulteng. Pemeriksaan di lokasi sengketa kini menjadi bagian penting dalam proses pembuktian persidangan yang terus bergulir.
“Yang satu sudah hampir selesai, tinggal tunggu putusan. Yang satu lagi masih dalam tahap pemeriksaan tempat. Kami berharap semuanya bisa berjalan adil dan transparan,” pungkas Abdul Rahman.
Ia juga mengingatkan agar media melakukan verifikasi sebelum menayangkan pemberitaan, mengingat banyaknya laporan dan kompleksitas perkara yang bisa memicu kesalahpahaman publik. (Tim)