Kisah Lengkap Sewu Dino yang Disebut Lebih Seram dari KKN di Desa Penari
Sri hanya mengangguk, ia sudah tidak perduli. Setelah memotong rambut Sri dan Dini, mbah Tamin, mengikat rambut itu pada boneka, di belakang rumah, ia sudah memutari 3 lubang galian itu, tempat Dela, Sri dan Dini terduduk di dalamnya.
Mbah Tamin, duduk, menyirami boneka itu dengan air, sementara bau kemenyan semakin menyengat.
tangan dan kaki mereka diikat dengan ranting muda daun kelor, sehingga ketiga-tiganya, tidak ada yg bisa bergerak, hanya pasrah di dalam setiap lubang yg sudah di gali untuk mereka semuanya,
Mbah Tamin, perlahan, mencabut satu persatu rambut itu.
Terdengar sebuah suara yg tidak asing, sebuah kerbau meraung, Sri yg sudah terjebak dalam lubang, tidak tahu apa yg terjadi, karena setelah suara itu hilang, ia mendengar Dela dan Dini menjerit, lalu, hening.
hening…..
Sesuatu baru saja membasahi tubuh Sri, baunya amis, darah. Darah kental itu, membuat Sri merasa tidak nyaman. Tanpa sadar, ketakutan sudah merasukinya, ia tersenggal, karena di dalam lubang itu, Sri kesulitan untuk bernafas.
Tiba-tiba, Dini berteriak lagi, kali ini, ia meronta dari suaranya, seperti ia tengah disiksa
Suara Dini, lalu, suara Dela, suara mereka saling bersahutan satu sama lain, Sri yg tidak bisa melihat apa yg terjadi, hanya bisa gemetar, menahan ketakutan yg semakin menguasainya, mbah Tamin, sedang membalas perbuatan si pengirim santet.
Lalu, Sri merasakan tubuhnya mati rasa-rasanya, seperti terjebak dalam keadaan tidak sadar, seakan Sri tidak lagi bisa merasakan apapun, namun, rupanya, itu hanya awalnya saja, sebelum, rasa sakit seakan merobek-robek daging di tubuhnya.
Sri berkelakar, itu adalah rasa sakit terhebat yg pernah ia rasakan. Suara Sri menggelegar, mereka sama-sama berteriak, namun, ada suara lain yg ia dengar, suara seorang lelaki, ia tidak hanya berteriak, ia mencaci maki dengan suaranya yg gemetaran, suara asing yg tidak di ketahui darimana datangnya.
Suara si pengirim santet kesakitan itu benar, membuat Sri tidak tahu seperti apa ia harus menggambarkanya. Karena setelah sentakan itu, nyawanya seperti ditarik. Saat itulah, Sri yakin melihatnya, Dela, selama ini, menggendong seorang wanita, ia memiliki perut buncit, hanya saja, sosok itu, tak berkaki.
Selama itu juga, Sri melihatnya lagi, selama Dela dikurung dalam keranda bambu kuning, sosok wanita itu, mendampinginya, menjilati borok dan luka biru Dela dengan lidah panjangnya yg selama ini Sri lihat seperti penyakit menjijikkan, dan sosok itu, melotot melihat Sri.
Lalu, Sri melihatnya, sosok yg datang bertamu pada malam itu rupanya, adalah seorang lelaki. Sri tidak mengenal siapa lelaki itu, hanya saja, si lelaki mengacak-acak kamar si mbah, namun tampaknya ia tidak mendapatkan benda yg ia cari, lalu ia mengambil kain hitam itu, menukarnya.
Ia hanya meninggalkan sebuah patek “peti mati” bertuliskan Atmojo, lalu pergi begitu saja
Lingkaran itu seperti berputar, Sri menyadarinya, kini, mereka terikat satu sama lain, Santet sewu dino, sebenarnya adalah Santet yg tersambung satu sama lain
Nyawa dibayar nyawa. Lelaki itu, ia memiliki sesuatu yg sama seperti Dela, kembar, hanya saja, ia senantiasa berjalan di belakangnya, kakinya panjang nyaris 2 kali tinggi si lelaki, ia terus menerus mengikutinya,
“Banarogo”
Sri terbangun, dengan kaki lumpuh, ia melihat mbah Tamin, menatapnya.
Di depanya, Dela berdiri, meski berlumuran darah yg sama seperti Sri, Dela menatapnya, ia membungkuk berterimakasih, Dini, hanya duduk, matanya kosong, mereka semua sama, berbagi rasa sakit, namun tidak bagi si pengirim santet, mungkin ia, sudah tewas saat ini.

 
													 
			    					 
			    					 
			    					 
			    					 
			    					 
			    					 
			    					 
			    					 
			    					