Kisah Lengkap Sewu Dino yang Disebut Lebih Seram dari KKN di Desa Penari
“Boneka sing mok temoni, iku salah sijine boneka sing tau tak temokno nang omah iki” “aku sengojo nandor nang kunu, ben engkok, nek waktune, isok di gawe ngeringano beban lorohe Dela” (boneka yg kamu temukan, adalah salah satu dari boneka yg saya temukan di rumah ini) (saya sengaja, menanam boneka itu disana, biar nanti, saat waktunya tepat, bisa di gunakan untuk meringankan beban sakit Dela).
“iling, ben bengi aku wes ngilingno awakmu, ojok mbukak lawang tapi awakmu jek nambeng” (Ingat waktu saya mengingatkan kamu jangan membuka pintu, tapi kamu tidak mendengarkan)
“Asline, keluarga sing ngirim santet iki, jek goleki Dela, soale, sak durunge Banarogo ketemu Sengarturih, Dela gak bakal isok mati” (Sebenarnya, keluarga yg mengirim santet ini, masih mencari dimana keberadaan Dela, itulah alasan kenapa saya menyembunyikanya disana. Karena tempat itu, terlalu ramai untuk mencari keberadaan Dela. karena, Dela tidak akan bisa meninggal bila sang Banarogo, belum bertemu dengan Sengarturih, Dela belum bisa mati, secara otomatis, santet ini belum akan menghabisi keluarga Atmojo)
“Sinten sengarturih niku?” (siapa sengarturih itu?). “Sing sak iki, tangi, nek Dela gak di cancang tali ireng iku” (yg sekarang bisa bangun sewaktu-waktu, bila Dela tidak diikat tali hitam itu)
“Jadi?” tanya Sri.
“Kari ngenteni waktu, kanggo tekane Banarogo, nggoleki bojone Sengarturih sing onok nang awake Dela” (Tinggal menunggu waktu, datangnya Banarogo buat mencari isterinya Sengarturih yg ada di tubuh Dela saat ini, bila dia sudah menemukanya, keluarga Atmojo, sudah tamat!!).
Bagi Sri, apa yg baru saja diucapkan oleh mbah Tamin persis seperti dongeng untuk anak kecil yg serba ingin tahu sebuah kenyataan dari dunia yg tidak dapat ia lihat, rasa seperti kenapa ada hal-hal yg tidak masuk akal seperti ini, namun, presepsi itu harus ia pertimbangkan lagi.
Terutama, saat Sri melihat wajah Dini, ia menampilkan ekspresi ketakutan yg tidak pernah ia saksikan sebelumnya, ibu dari 2 anak.
Satu-satunya yg Sri tuakan, meski usia mereka hanya terpaut 2 tahun, Dini memilih menikah muda, hal itu, yg membawanya ke tempat ini.
Ke tempat di mana, ia harus meninggalkan 2 anaknya, membantu sang suami guna menutup kebutuhan dari buah kecil cinta mereka, Dini, lebih memilih diam, sembari menutup luka di daun telinganya yg harus ia relakan, di bibir Dela, atau mungkin, Senggarturih.
Setelah penjelasan mbah Tamin yg dirasa Sri bahwa ada beberapa kecil bagian yg seakan tidak di ceritakan, membuat Sri merasa, orang tua ini, memiliki tujuan tersendiri, tidak dapat ditebak, tidak dapat diterka, namun, sorot matanya, seakan memberitahu, ada rahasia yg ia tutupi.
“Wes mari to ndok penjelasane, nek wes dirasa mari, ibuk pamit, engkok, ben Sugik sing ngeterno awakmu karo, nang Dela” (sudah selesaikan penjelasanya nak, kalau sudah, ibu mau pamit, nanti, biar Sugik yg mengantar kamu, ke tempat dimana Dela berada)
Mbah Krasa pergi. Mbah Tamin pun ikut undur diri, ia mengatakan bahwa setelah ini, apa yg mereka alami di rumah gubuk alas itu, masih belum ada apa-apanya, dengan apa dengan apa yg akan mereka saksikan dengan mata kepala sendiri, ada kilatan mata dengan sudut bibir melengkung, mbah Tamin, punya rencana lain.
Sugik belum kembali, kabarnya, ia akan menjemput sore hari, Sri masih belum tahu dimana Dela sekarang berada, yg jelas, Alas itu bukan tempat dimana Dela di sembunyikan lagi, entah tempat seperti apalagi, Sri merasa, ia sedang di persiapkan untuk sesuatu, sesuatu yg lebih besar.
Ketika Sri sedang mempersiapkan perbekalan yg akan ia bawa, Sri melihat Dini berdiri di luar pintu kamar, tempat ia beristirahat sebentar sebelum perjalanan berikutnya, entah apa yg dilakukan Dini, membuat Sri akhirnya mendekatinya, mempertanyakan apakah ada yg ingin ia sampaikan wajah Dini’pun tidak tertebak sama sekali, namun, setelah dirasa ia cukup menahan diri, Dini berujar dengan suara gemetar.
“Siji takan kene, sing bakal urip sampe iki mari, Sri, sepurane nak aku bakal ngelakoni opo ae ben isok tetap urip” (Satu dari kita yg akan tetap bertahan hidup sampai semua ini selesai, saya minta maaf, saya akan melakukan apapun untuk tetap bertahan hidup)
Ucapan Dini, membuat Sri kebingungan, apa yg ia ucapkan, darimana ia dengar, setelah Sri mempertanyakan itu, Dini menunjuk telinga cacat. Ia berujar dengan nada yg lebih percaya diri.
“Sak durunge kupingku pedot, Dela mbisiki aku, siji sing bakal selamet kanggo Kembang klitih” (Sebelum telingaku putus, Dela membisikkan sesuatu kepadaku, satu dari kita yg akan selamat untuk berbagi sari bunga dari sisa Santet ini).
Sebuah mobil hitam yg Sri kenal barusaja masuk ke kediaman Atomojo, Sugik melangkah keluar, Sri dan Dini pun melangkah masuk, setelah berpamitan dengan mbah Krasa, Sugik pun mengantar Sri dan Dini, menuju tempat di mana Dela sekarang berada.
“Aku melok berduka ambik kancamu Sri, mbak Din” (aku ikut berduka ya Sri, mbak Din) kata Sugik, ia tidak henti-hentinya memandang Sri dan Dini, yg sejak pertama mereka masuk. Tidak ada interaksi di antara mereka, seakan memilih untuk diam bersama, hal itu, membuat canggung.
Benar dugaan Sri sebelumnya, jalan yg mereka tempuh bukan jalan menuju alas itu, melainkan jalan menuju ke luar kota, menuju sebuah desa. Karena ketika mobil masuk ke sebuah gapura, suasana sepi dari kehidupan Desa ketika malam, langsung menyambut mereka.

 
													 
			    					 
			    					 
			    					 
			    					 
			    					 
			    					 
			    					 
			    					 
			    					