Kisah Lengkap Sewu Dino yang Disebut Lebih Seram dari KKN di Desa Penari
Mbah Krasa memandang Sri, cukup lama, ada jeda keheningan diantara mereka.
Suasana itu sama sekali tidak mengenakan bagi Sri dan Dini, sebelum, mbah Krasa tersenyum. “Boleh” (bisa) “tapi, aku ra jamin nyowomu yo ndok” (tapi aku tidak mau menjamin nyawamu ya).
Sri dan Dini melihat satu sama lain, mereka tidak mengatakan apapun lagi.
“Sak iki yo opo, mundur?” tanya mbah Krasa, matanya mengintimidasi.
“Mboten mbah” kata Dini dan Sri bersamaan. Mbah Krasa mengangguk puas.
“Asline, ra perlu onok korban, nak podo nurut ambek si mbah, mek butuh norot tok ndok, opo angel, ngerungokne wong tuwo” (aslinya tidak perlu ada korban, kalau kalian mengikuti apa yg si mbah katakan, cuma butuh nurut saja. apa susahnya dengerin orang tua)
Mbah Tamin, menatap Sri. Sri menyimpan sesuatu yg selama ini ia tahu, bahwa dalang di balik semua ini adalah si mbah Tamin sendiri.
Namun, Sri masih merasa ia tidak memiliki bukti apapun, mata mbah Tamin seperti mengawasinya, tidak memberinya ruang leluasa untuk bicara dengan mbah Krasa secara pribadi.
Namun entah, bagaimana sekelebat pikiran itu muncul, Sri lantas mengatakan apa yg ia temukan di kamar mbah Tamin. Bahkan, Sri menunjukkan boneka yg ia temukan di bawah pohon beringin, sebuah pesan dari cucunya Dela Atmojo.
Mendengar itu, mbah Krasa mengerutkan kening. Ia diam. Mbah Krasa memandang mbah Tamin yg sedari diam sembari berdiri, lalu, ia tertawa, cukup membuat Dini dan Sri tersentak, seakan ucapan Sri hanya omong kosong.
Lalu, mbah Krasa mengatakanya. “Koen rung cerito ta nang cah-cah iki, opo sing asline kedaden?” (kamu belum cerita ke anak-anak ini apa yg sebenarnya terjadi?) ucap mbah Krasa tenang.
“Kemeroh” (sok tau) kata mbah Tamin. Beliau, mengambil sesuatu di sakunya, boneka yg sama, termasuk foto keluarga Atmojo, Sri terlihat bingung. apa yg terjadi sebenarnya.
“Tak ceritakno kabeh sak iki, rungokno, nanging, nek aku wes cerito, opo sing bakal kedaden nang koen-koen iki, ra isok di cabut, awakmu, kudu nurut yo” (saya ceritakan semuanya, dengarkan, tapi, bila aku sudah cerita, apa yg akan terjadi sama kalian, tidak akan bisa di cabut lantas, kalian harus nurut ya)
“Nurut sampe Dela isok selamet, utowo, nyowo koen koen, ra bakal selamet podo karo Dela” (nurut sampai Dela bisa selamat, atau, nyawa kalian-kalian tidak akan selamat, sama seperti Dela)
Sri dan Dini, masih diam, mendengarkan.
“Santet Sewu dino iku jenenge, santet gur mateni sak garis keluarga nganggo mateni sukmone tekan anak Ragil, keluarga Atmojo, wes nduwe musuh nang ndi nang ndi, dadi asal muasal kabeh iki, tekan lengahe aku, ngawasi keluarga iki, Dela, gak tak songko bakal dadi target santet iki” (Santet seribu hari itu namanya, santet yg bisa membunuh garis keluarga besar melalui sukma anak terakhir/ keturunan terakhir, keluarga Atmojo sebenarnya sudah memiliki musuh dimana-mana, jadi, asal mula semuanya bersal dari sini, saya sudah lengah mengawasi keluarga ini, saya tidak pernah menduga sebelumnya bila Dela akan menjadi korban Santet model seperti ini, dikarenakan, Santet ini adalah santet untuk para pendosa yg juga akan menghabisi keluarga yg mengirim santet ini)
Suara mbah Tamin terdengar keras, menahan dendam kesumat atas insiden ini.
“Media kanggo santet iki, macem2, salah sijine, gawe boneka sing di isi rambut sing kepingin di entekno keluargane, nasib’e Dela, sak iki, di tentuno nang ndi boneka iki sak iki” (Media yg di gunakan santet ini bermacam2, salah satunya, melalui boneka yg diisi rambut keluarga yg ingin di habisi, nasib Dela sekarang, ada di boneka ini sekarang)
“Masalahe, aku ra isok nggolek nang ndi kae boneka iku di tandor” (masalahnya, saya tidak tahu, dimana saja boneka itu di tanam).
“lan onok piro, aku gak eroh” (dan ada berapa saya tidak tahu).

 
													 
			    					 
			    					 
			    					 
			    					 
			    					 
			    					 
			    					 
			    					 
			    					