“Erna mati Sri, muntah getih” (Erna meninggal Sri, dia muntah darah)

Sri bisa melihat wajah Erna, hidung dan bibirnya, bersimbah darah, sama seperti patung yg Erna banting, di mana di bagian kepala si patung. Hancur, sekarang ia tahu penyebab sebenarnya santet ini.

Sri akhirnya menjelaskan semua kepada Dini, apa yg terjadi kepada Erna, apa yg terjadi kepada Dela, apa yg di sembunyikan orang tua itu, apa yg tidak dikatakan tentang pekerjaan ini.

Semuanya, berujung pada pemindahan santet saja, karena mereka yg memiliki garis weton sama.

Sri mengambil boneka itu, menunjukkanya kepada Dini.

“Boneka iki, media kanggo nyantet Dela, dibulet rambute Dela ket awal, sopo sing wani mbukak rambut iki, kudu siap konsekuensi nompo santet’e Dela, masalahe, nek wong biasa seng bukak, mek nekakno nyowo dados” (Boneka ini, media untuk mencelakai Dela, di ikat rambut Dela sejak awal, siapa yg berani membukanya harus siap menerima konsekuensi santetnya si Dela, masalahnya, bila orang biasa yg melakukanya hanya mendatangkan kematian belaka).

“Bedo maneh nek sing mbukak wetone podo karo Dela, yo iku kene, sisok mateni kene, isok ngeringano santet e Dela, aku yakin, boneka iki, gak mek siji, isok onok telu sampe sepuluh, aku gak eroh Din, tapi Erna wes dadi korban sawijine, kari awakmu karo aku” (Beda lagi bila yg membuka boneka ini satu garis weton dengan Dela, ya itu kita, bisa membunuh, bisa meringankan beban untuk Dela, aku yakin, bonekanya gak hanya satu, bisa tiga sampai sepuluh, aku tidak tahu. tapi, Erna sudah menjadi korban salah satu bonekanya, tinggal kita).

“Goblok’ku, aku ra ngerti Erna bakal mbanting bonekane, boneka sing wes dadi ganti sukmane dee, nek bonekane rusak, sing mbukak ikatan kui, nompo akibat perbuatane” (bodohnya aku, aku tidak mengerti kalau akhirnya Erna malah membanting bonekanya, yg sudah jadi pengganti penerimaan Santet itu, jadi bila boneka itu ikut rusak, dia juga akan menuntut balas akibat perbuatanya).

Dini yg mendengar itu, hanya diam, wajahnya kebingungan. Malam itu, mereka lalui dengan akhir yg tragis itu.

Keesokan harinya, mobil Sugik datang, Sri dan Dini sudah menunggu mereka, mbah Tamin yg pertama keluar, di ikuti Sugik si sopir. Ia menggendong Dela di punggungnya, dan tampaknya, mbah Tamin dan Sugik sudah tahu semuanya.

Yg tidak diketahui mereka adalah, Erna meninggal. Melihat hal itu, wajah mbah Tamin merah padam, ia tidak berbicara banyak, hanya mengatakan, mereka harus membawa Erna pulang, kematian Erna di luar perkiraan mbah Tamin.

Namun, ketika Sri ingin bertanya lebih jauh tentang ini, mbah Tamin menatapnya dingin. “Tutupen ae lambemu, bayi ra eroh opo-opo ae, gegabah temen” (tutup saja mulutmu, dasar bayi, tidak tahu apa-apa, seenaknya sendiri ambil resiko).

Itu adalah kali terakhir. Sri keluar dari hutan itu. Tidak ada percakapan apapun selama di mobil, mereka menuju kediamanya mbah Krasa.

Sri dan Dini duduk di luar rumah, di dalam, ia bisa melihat mbah Krasa tampak berbicara serius dengan mbah Tamin. Entah apa yg mereka bicarakan, namun Sri tidak tahu lagi harus apa. Ia hanya ingin pamit saja, namun, siapkah dia dengan konsekuensi bila ia memilih pamit.

Seperti halnya dirinya, Dini pun sama, bila pekerjaan dengan gaji besar itu memiliki resiko di luar nalar seperti ini, tidak akan ada orang waras yg mau menerimanya.

Setelah menunggu lama, Sri dan Dini dipanggil untuk menghadap mbah Krasa.

Sri dan Dini melangkag masuk, ia di persilahkan duduk, memandang wanita yg selalu saja membuat Sri merasa segan setiap melihat matanya.

“Aku melok sedih ambek nasih kancamu ndok” (saya ikut sedih mendengar nasib temanmu) “tapi, aku wes jamin keluargane, bakal oleh kewajibane sing pantes diterimo” (Tapi, saya sudah menjamin keluarganya akan dapat semua kewajiban yg memang pantasi dia dapatkan).

“Sak iki, opo sing kepingin mok omongno nang ngarepku” (sekarang, katakan, apa yg ingin kamu bicarakan sama saya).

“Kulo bade mundur mbah” (saya mau mundur).