Dengan pertanyaan besar, yg masih menggantung di atas pikiran Sri dan Erna?!

Pagi itu, sekitar pondok, kabut tebal menutupi seluk beluk hutan, membuat pandangan mata terbatas, sejak fajar menyingsing, Sri dan Dini sudah ada di sumur, mencuci pakaian untuk keseharian mereka, sedangkan Erna, tengah membasuh Dela di dalam kamar.

Sampai, terdengar langkah kaki. Sri yg pertama mendengarnya. Ia berdiri untuk melihat, dari jauh, sosok hitam muncul dari balik kabut. perawakanya familiar.

Denah pondok rumah, memang sederhana, dari teras maupun kamar mandi, bisa melihat keseluruhan area sekitar, sehingga, sosok mendekat itu, terlihat jelas semakin dekat sosok itu.

Sri semakin yakin, dan benar saja, ia mematung sesaat, sebelum Dini ikut berdiri dan melihat apa yg membuat Sri tampak tercekat dalam ekspresi wajahnya. Manakala, ia melihat, mbah Tamin mendekat ke arah mereka dengan wajah yg letih.

Ketika, mbah Tamin berdiri di depan Sri, ia seraya bertanya, apakah petuah beliau sudah di jalankan.

Sri hanya diam, bibirnya gemetar, Dini lah yg berinisiatif mengambil situasi, ia berucap lirih.

“Mbah, sampeyan mambengi mboten mantok ta” (mbah, bukanya semalam, anda pulang).

Mbah Tamin yg mendengar itu, tiba-tiba mengejang, otot wajahnya mengeras, lantas memandang Sri dengan ekspresi tidak percaya, ada kemarahan dalam tatapanya.

“awakmu gak wes tak kandani ta, ojok MBUKAK LAWANG”
(bukanya, kamu sudah tak kasih tau, jangan BUKA PINTUNYA).