Dirut PT PLP dan PT RMP Bantah Masih Beroperasi di Buol dan Menambang Emas dengan Izin Galian C
Direktur Utama PT Putra Lebak Perkasa (PLP) dan PT Rafe Mandiri Perkasa (RMP), Harianto, membantah tuduhan bahwa kedua perusahaannya masih beroperasi di Kabupaten Buol. Ia dengan tegas menyatakan, bahwa PT PLP dan PT RMP telah berhenti beroperasi sejak beberapa bulan lalu.
Pernyataan ini disampaikan Harianto setelah beredar kabar bahwa kedua perusahaan yang bergerak di bidang Galian C itu masih melakukan aktivitas pertambangan di Kecamatan Paleleh Barat dan Kecamatan Gadung. Bahkan, ada tudingan bahwa mereka terlibat dalam eksplorasi emas secara ilegal.
“PT Putra Lebak Perkasa di Desa Labuton sudah tidak beroperasi lebih dari satu tahun. Tidak ada alat di sana, tidak ada aktivitas. Jadi, berita yang menyebut kami masih beroperasi itu tidak benar, alias hoaks,” tegas Harianto dalam keterangannya melalui WhatsApp.
Hal yang sama berlaku untuk PT Rafe Mandiri Perkasa di Desa Bodi. Harianto mengatakan, perusahaannya itu sudah berhenti beroperasi sejak April 2024.
Ia juga menyayangkan tuduhan bahwa perusahaan miliknya telah menyalahgunakan izin. Menurutnya, PT PLP dan PT RMP murni bergerak di bidang Galian C, yang hanya menjual material batu dan pasir, bukan emas.
“Kami adalah perusahaan di bidang konstruksi, dan pemberitaan ini bisa merusak reputasi kami,” tambahnya.
Sebelumnya, anggota DPRD Sulawesi Tengah, Marthen Tibe, menyoroti dugaan penyalahgunaan izin oleh dua perusahaan Galian C yang beroperasi di Buol. Ia menduga, alih-alih hanya menambang batu dan pasir, perusahaan-perusahaan ini justru melakukan eksplorasi emas.
Menurutnya, hal ini bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
Laporan dari warga setempat juga menyebutkan bahwa PT PLP meninggalkan lubang galian tanpa melakukan normalisasi atau perbaikan kembali terhadap lahan yang telah digali.
Karena itulah, Kepala Desa Labuton bersama tokoh masyarakat melaporkan dugaan pelanggaran ini kepada Gubernur Sulawesi Tengah.
Laporan ini kemudian diterima oleh Tenaga Ahli Gubernur, Ridha Saleh, yang merespons dengan mengeluarkan tiga rekomendasi. Pertemuan ini juga dihadiri oleh berbagai instansi terkait, termasuk Dinas ESDM, Dinas Lingkungan Hidup (DLH), dan Inspektur Tambang.
Menanggapi laporan ini, Marthen Tibe juga mempertanyakan kontribusi PT PLP dan PT RMP terhadap daerah.
“Kalau sudah ada aktivitas penambangan, pasti ada material yang keluar. Apakah ada kontribusi pajak dari mereka? Coba cek di Dinas ESDM dan Dinas Pendapatan Daerah,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa jika perusahaan telah beroperasi sejak 2023, seharusnya ada dampak positif bagi kas daerah. Namun, hingga kini, menurutnya, belum ada kontribusi yang signifikan.
Yang lebih mencurigakan, kata Marthen, alat yang digunakan PT PLP adalah crusher, yang umumnya digunakan untuk pengolahan emas, bukan sekadar menambang batu.
Karena itu, ia meminta agar aparat penegak hukum, termasuk BIN dan KPK, turun langsung ke lokasi untuk memeriksa dugaan penyalahgunaan izin.
“Kami di DPRD menjalankan fungsi pengawasan. Kami ingin pemerintah dan aparat bertindak tegas. Inspektur Tambang harus turun langsung merespons aduan masyarakat,” katanya.***
