PALU – Sebanyak 68 desa, di Lima Kecamatan di Kabupaten Buol dengan tegas menolak terbitnya Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Nomor 517/MENLHK/SETJEN/PLA/2/2018 tentang pelepasan dan penetapan batas pelepasan kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi untuk perkebunan kepala sawit, seluas 9.964 hektar untuk PT Hardaya Inti Plantation (HIP).
Lima Kecamatan itu diantaranya, Kecamatan Bokat, Bukal, Momunu, Tiloa dan Kecamatan Bonobou.
Penolakan itu ditunjukan dengan melakukan aksi unjuk rasa para Kades di kantor Kanwil BPN Provinsi Sulteng, di jalan S. Parman, Kelurahan Besusu Tengah, Kecamatan Palu Timur, Kota Palu, Senin (1/7).
Selain itu diantara perwakilan para Kades, diantaranya, Kades Rante Maranu, Joyo, kades Biau, Asni, Kades Diat Jasri, Kades desa Unone, Sudarmin, Sekcam Bukal Muhidin, Ketua Forum Tani Buol Ahmad R Kuntu Amas, Walhi Sulteng.
Mereka menuntut kepada BPN untuk tidak melepaskan, kawasan hutan atau tidak memberikan HGU baru kepada PT HIP. Perusahaan itu dianggap telah melakukan eksploitasi sumber daya alam di kabupaten Buol.
Penolakan pelepasan bukan tanpa alasan, sebab kawasan itu merupakan wilayah tangkapan air. Bila dilepaskan akan berpengaruh terhadap pertanian dan irigasi desa-desa yang ada di bawah sekitar kawasan tersebut.
Kepala Desa Unone, Sudarmin mengatakan, aksi itu dilakukan secara spontanitas dari para kepala desa.
“Dari 68 desa berada di lima kecamatan, sekitar 63 kades hadir melakukan unjuk rasa,” katanya.
Dia menjelaskan, sejak masuknya perusahaan tersebut banyak masalah telah ditimbulkan.
“Mereka melakukan perampasan tanah di mana di areal HGU-nya yang ada saja, terdapat kebun kebun aktif masyarakat yang sudah dikuasai bertahun-tahun, bahkan puluhan tahun sebelum masuknya perusahaan,” ujarnya.
Dia mengatakan, alasan lainnya HGU yang dimilikinya telah melebihi yang dipersyaratkan oleh perundang-undangan dalam satu daerah, dimana hanya bisa mengolah HGU 20.000 Ha.
“Namun HGUnya saat ini sudah 22.000 ha,” katanya.
Jadi kata dia, sangat disayangkan kalau daerah hulunya akan diberikan kepada perusahaan, notabene adalah perkebunan kelapa sawit yang merupakan tanaman monokultur.
“Bisa membuat lahan kering di musim kemarau dan sumbangan banjir musim hujan,” paparnya.
Manager Kajian dan Pembelaan Hukum Walhi Sulteng, Moh. Hasan menilai, Penerbitan SK menteri itu, jauh dari semangat program nawacita Jokowi-JK. Di mana, bulan September Jokowi menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) terkait moratorium perkebunan kelapa sawit,
bilmana terdapat perusahaan yang bermasalah, diantaranya bermasalah dengan masyarakat, proses pelepasan kawasan hutan, pelanggaran HAM dan lain sebagainya, maka itu harus di moratoriumkan.
Kemudian atas SK tersebut, kata dia Walhi sebagai organisasi lingkungan hidup, telah melakukan proses pencabutan di KeMen-LHK.
Selain itu juga pihaknya sedang melakukan proses mediasi, di Kemenkum HAM dijalur nonlitigasi membatalkan proses adanya izin lokasi. Di mana Bupati Buol tidak pernah menerbitkan izin lokasi, sebagai syarat penerbitan SK MENLHK nomor 517/MENLHK/Setjen/ PLA A2/11/2018 tersebut.
Pada bulan Juli nanti akan melakukan gugatan ke PTUN terhadap proses nantinya upaya banding. Dimana dalam UU Nomor 30 tahun 2018 tentang administrasi pemerintah, ketika ada upaya fiktif positif terlebih dulu dilakukan banding administrasi kepada Presiden.
“Usai dijawab Presiden, baru akan dilakukan upaya hukum TUN, ” tutupnya. (Ikram)
Komentar