Disney sempat percaya bahwa menghadirkan ulang dongeng klasik dalam format live action adalah cara mempertahankan kejayaan mereka di layar lebar.

Tapi, setelah Snow White versi 2025 resmi rilis dan merosot tajam di box office, pertanyaan yang lebih dalam mulai muncul: apakah penonton sebenarnya sudah jenuh?

Film yang dibintangi Rachel Zegler dan Gal Gadot itu telah menuai kontroversi sejak masa produksi. Dari pemilihan pemeran, perubahan jalan cerita, hingga komentar-komentar Zegler yang dianggap tidak menghormati materi aslinya, film ini mendapat banyak reaksi negatif bahkan sebelum tayang.

Banyak penonton kecewa karena Disney mengubah kisah Snow White terlalu jauh dari versi klasik 1937, seperti dicatat oleh Teen Vogue edisi Maret 2025.

Kegagalan di box office pun terasa mengonfirmasi kritik tersebut. The Hollywood Reporter pada Maret 2025 melaporkan, bahwa, pembukaan film ini mencatatkan angka jauh di bawah proyeksi awal Disney, dan menyebutnya sebagai indikasi kuat adanya jarak antara visi kreatif studio dan ekspektasi publik yang tumbuh dengan cerita orisinal.

Masalahnya bukan cuma soal siapa yang memerankan siapa, tapi soal kelelahan audiens terhadap formula yang itu-itu saja. Sejak Cinderella (2015), Disney telah memproduksi lebih dari 10 live action adaptasi animasi klasik. Sebagian memang sukses secara komersial, tapi sejak Mulan (2020), respons terhadap proyek-proyek ini makin beragam.

Dalam artikel Forbes Februari 2024, tren ini disebut sebagai “pemerasan nostalgia” yang semakin kehilangan nilai artistik dan keberanian kreatif.

Rachel Zegler sendiri sempat menyebut film Snow White versi barunya sebagai “kisah tentang kepemimpinan, bukan tentang cinta”, dalam wawancara dengan Extra TV pada Agustus 2023. Namun, pernyataan itu justru memicu kontra. Penonton menilai pesan pemberdayaan dalam film terasa dipaksakan dan kehilangan konteks emosional yang menjadi kekuatan cerita aslinya.

Banyak diskusi bermunculan di media sosial. Dalam forum Reddit r/Movies, komentar seorang pengguna yang menulis, “Live action ini terasa hambar. Visualnya bagus, tapi tak ada jiwa” menjadi salah satu yang paling disukai dan direspons, memperlihatkan bahwa keresahan ini dirasakan luas oleh penonton umum.

Dalam ulasan panjang The Guardian edisi April 2024, para kritikus menilai film-film live action Disney akhir-akhir ini “terlalu berhati-hati, terlalu diformulakan, dan gagal menciptakan momen emosional yang otentik”. Ini membuat banyak adaptasi terasa seperti produk manufaktur daripada karya seni yang hidup.

Apakah ini akhir dari era live action Disney? Mungkin belum. Tapi kepercayaan penonton jelas mulai luntur. Jika studio sekelas Disney tidak mulai mempertimbangkan pendekatan baru yang lebih berani dan tulus, dongeng-dongeng yang dulu magis bisa saja tinggal menjadi katalog kenangan yang tak lagi menarik untuk ditonton ulang. (Rfi)