Kisah Asli KKN di Desa Penari Versi Widya, Lebih Horor dari Nur
(Itu loh, dengarkan bapaknya, walaupun rumahnya di desa, tidak lupa kuliah) Wahyu melanjutkan. “bapake ambil apa dulu? perhutanan ya?” “bukan” kata beliau santai. “pertanian” “Lah ra onok sawah nang kene, piye toh pak” (lah, disini gak ada sawah, gimana sih pak?).
“Ya, memangnya sampeyan pikir hanya karena ambil pertanian harus terjun ke sawah” jawaban pak Prabu sontak membuat tawa pecah, Widya melirik Nur, dia sudah bisa ceria lagi, melupakan sejenak kejadian semalam. sampailah, mereka di pemberhentian pertama. sebuah pemakaman desa.
Aneh. itu yang pertama kali di pikirkan Widya, atau mungkin serombongan orang. di setiap Nisan, di tutup oleh kain hitam. pemakamanya sendiri, di kelilingi pohon beringin, dan di setiap pohon beringin, ada batu besar di sampingnya, disana, ada lengkap, sesajen di depanya.
Nur yang tadi ikut tertawa, tiba-tiba menjadi diam. ia menundukkan kepalanya, seolah tidak mau melihat sesuatu. pagi, itu tiba-tiba terasa gelap di dalam pikiran Widya. “ngapunten pak, niki nopo nggih kok” (mohon maaf pak, ini kenapa ya kok).
Belum selesai Widya bicara, pak Prabu memotongnya “saya tau, apa yang adik mau katakan, pasti mau tanya, kok patek (nisan) nya, di tutupi pakai kain, gitu to?” Widya mengangguk. rombongan menatap serius pak Prabu, terkecuali Wahyu dan Anton, terdengar mereka sayup tertawa kecil.
“Ini itu namanya, Sangkarso. kepercayaan orang sini. jadi biar tahu, kalau ini loh pemakaman” terang pak Prabu, yang jawabanya sama sekali tidak membuat serombongan anak puas, sampai-sampai Wahyu dan Anton walaupun pelan sengaja menyindir. namun pak Prabu bisa mendengarnya.
“Wong pekok yo isok mbedakno kuburan karo lapangan pak” (orang bodoh juga bisa membedakan kuburan dan lapangan bola pak) pak Prabu yang awalnya tersenyum penuh dengan candaan, tiba-tiba diam, raut wajahnya berubah dan tak tertebak. “semoga saja, kalain tahu yang di omongkan ya”.
Kalimat pak Prabu seperti penekanan yang mengancam, setidaknya itu yang Widya rasakan, sontak, Bima langsung merespon dengan meminta maaf, namun Wahyu dan Anton memilih diam setelah mendengar respon pak Prabu. “mongo pak, bisa lanjut ke tempat selanjutnya”.
Tempat berikutnya adalah Sinden (Kolam, tempat air keluar dari tanah) pak Prabu mengatakan bahwa Sinden ini bisa di jadikan Proker paling menjanjikan, tidak jauh darisana ada sungai, inginya pak Prabu, Sinden dan sungai bisa di hubungkan, jadi semcam jalan air.
Tanpa terasa, hari sudah siang. Ayu dan Widya sudah memetakan semua yang pak Prabu tunjukkan, memberinya sampel warna merah sampai biru, dari yang paling di utamakan sampai yang paling akhir di kerjakan. namun, tetap saja. selama perjalanan, Widya banyak menemukan keganjilan.
Keganjilan yang paling mencolok adalah, tidak satu atau dua kali, namun berkali-kali, ia melihat banyak sesajen yang di letakkan di atas tempeh, lengkap dengan bunga dan makanan yang di letakkan disana, di tambah bau kemenyan, membuat Widya tidak tenang.
Setiap kali mau bertanya, hati kecilnya selalu mengatakan bahwa itu bukan hal yang bagus. Nur, setelah dari Sinden, ia ijin kembali ke rumah, karena badanya tidak enak, dengan sukarela Bima yang mengantarkanya, jadi, observasi hanya di lakukan oleh 4 orang saja.
Kemudian, sampailah di titik paling menakutkan “Tipak talas” kalau kata pak Prabu. sebuah batas dimana rombongan anak-anak di larang keras melintasi sebuah setapak jalan yang di buat serampangan, di kiri kanan, ada kain merah lengkap di ikat oleh janur kuning layaknya pernikahan.
“Kenapa tidak boleh pak?” tanya Ayu penasaran. pak Prabu diam lama, seperti sudah mempersiapkan jawaban namun ia enggan mengatakanya. “iku ngunu Alas D****** , gak onok opo-opo’ne, wedine, nek sampeyan niki nekat, kalau hilang, lalu tersesat bagaimana?”
(Itu adalah hutan belantara, gak ada apa-apanya, hanya mempertimbangkan, takutnya kalau kalian kesana, hilang, tersesat, lalu bagaimana?) sekali lagi, jawaban itu cukup membuat Widya yakin itu bukan yang sebenarnya. namun, perasaan merinding melihat jalanan setapak itu, nyata.
Lanjut gak?? jadi cuma ngasih tau. cerita ini sangat panjang, karena gw harus menulis sedetail mungkin setiap kejadian selama 6 minggu itu. gw gak mau kehilangan setiap detail pengalaman si pencerita. btw, waktu denger ini, gw itu lemes tiap ingat waktu di ceritain lebaran lalu
Observasi berakhir ketika pak Prabu mengantar rombongan kembali ke rumah beliau. ketika kembali, Wahyu dan Anton bertanya, dimana kamar mandi, ia tidak menemukan tempat itu di tempat mereka menginap, rupanya, setiap rumah di desa ini tidak ada satupun yang punya kamar mandi.
Alasan kenapa tidak ada satupun rumah yang memiliki kamar mandi adalah karena sulitnya akses air. tapi, pak Prabu menjelaskan, di bagian selatan Sinden, samping sungai, ada sebuah bilik dengan kendi besar di dalamnya, disana, bisa di gunakan untuk mandi.
Tidak berhenti di situ, pak Prabu mengatakan bahwa, mulai hari ini, kendi di dalam bilik akan di usahakan selalu terisi penuh, terutama untuk mandi anak-anak perempuan. untuk laki-laki, bisa mengisi air di kendi dengan cara menimba air dari sungai.
Semua anak tampak paham, meski muka Wahyu dan Anton tampak keberatan, namun mereka tidak dapat melakukan apa-apa. sekembalinya ke penginapan, Widya melihat Nur tengah tidur, hari itu di akhiri dengan rapat dengan semua anak, lalu kembali ke kamar untuk mengerjakan laporan.
Sore menjalang malam. Nur sudah bangun, saat itu juga, Widya memintanya untuk mengantarkan dirinya pergi ke kamar mandi di bilik samping Sinden, awalnya Nur tampak tidak mau, tapi karena di paksa, kahirnya ia pun ikut dengan catatan, Nur adalah yang pertama masuk bilik.
Widya setuju. ia gak berpikir aneh-aneh. selama perjalanan, ia melihat setiap rumah yang di lewati, rata-rata sama, semua rumah tepan (tembok di depan) kiri-kanan dari gedek (bambu dianyam), langit sudah merah, dan setelah menempuh jarak lumayan, akhirnya mereka sampai di Sinden
Bangunan Sinden itu menyerupai candi kecil, bedanya, kolamnya persegi 4 dengan air yang jernih tapi berlumut, setelah mencari-cari dari Sinden, ketemulah Bilik itu tepat di samping pohon Asem, yang besar sekali, rindang, tapi mengerikan. sempet ragu, tapi Widya bilang lanjut.
Rupanya benar, ada kendi besar di dalam bilik itu. air juga sudah penuh di dalam kendi, Nur pun masuk, sementara Widya menunggu di depan bilik, matanya tidak bisa melepaskan diri dari bangunan Sinden yang entah kenapa seolah menarik perhatianya, di sampingnya, ada sesajen itu.
Dari dalam bilik, terdengar suara air bilasan dari Nur, setelah mencoba mengalihkan perhatian dari Sinden, Widya baru sadar, ada aroma kemenyan di dekat tempatnya berdiri, di telusurilah wewangian itu, benar saja, di samping pohon asem itu pun ada sesajenya.
Yang lebih parah, bara dari kemenyan baru saja di bakar. antara takut dan kaget, Widya kembali ke pintu bilik, dan dari dalam, sudah tidak terdengar suara air bilasan. “Nur” “Nur” teriak Widya sembari menggedor pintu kayu, anehnya, hening, tidak ada jawaban dari dalam.
Masih berusaha memanggil, terdengar sayup suara lirih, lirih sekali sampai Widya harus menempelkan telinganya di pintu bilik. suara orang sedang berkidung. kidungnya sendiri menyerupai kidung jawa, suaranya sangat lembut, lembut sekali seperti seorang biduan.
“Nur. bukak Nur!! bukak” spontan Widya menggedor pintu dengan keras, dan ketika pintu terbuka, Nur melihat Widya dengan ekspresi wajah panik “nyapo to, Wid?” (kanapa sih Wid?) ekspresi ganjil Widya membuat Nur kebingungan, terlebih mimik wajahnya mencuri pandang bag dalam bilik
“Ayo ndang adus, gantian, aku sing gok jobo” (ayo cepat mandi, ganti biar aku yang jaga di luar) kaget, Widya sudah ragu, melihat samping Bilik ada sesajen, Widya tidak tau apa harus cerita ke Nur soal itu, namun dengan ragu, Widya akhirnya bergegas masuk bilik, menutup pintu.
Bagian dalam bilik sangat lembab, kayu bagian dalamnya sudah berlumut hitam, di depanya ada kendi besar, setengah airnya sudah terpakai, meraih gayung yang terbuat dari batok kelapa dengan gagang kayu jati yang di ikat dengan sulur, Widya mulai membuka bajunya perlahan.
Masih terbayang nyanyian kidung tadi, Widya mencuri pandang, ia tidak sendiri suasananya seperti ada sosok yg melihat dan mengamatinya, dari ujung rambut hingga ujung kaki, sosok itu seperti wajah seorang wanita nan cantik jelita, masalahnya, Widya tidak tau siapa pemilik wajah
Ia berdiri di depan kendi, bajunya sudah tertanggal, meraih air pertama yang membasuh badanya, Widya merasakan dingin air itu membilas badanya. sunyi, sepi, Nur tidak bersuara di luar bilik, memberikan sensasi kesendirian yang membuat bulukuduk merinding.
Setiap siraman air di kepalanya, membuat Widya memejamkan matanya dan setiap ia memejamkan mata, terbayang wajah cantik nan jelita itu sedang tersenyum memandanginya. siapa pemilik wajah cantik itu? kemudian, kidung itu terdengar lagi, Widya berbalik, mengamati,
suaranya, dari luar bilik. tempat Nur berdiri seorang diri.
Apakah Nur yang sedang berkidung? pertanyaan itu, menancap keras di kepala Widya.
Usai sudah acara mandi di sore itu, di perjalanan pulang, Widya mencuri pandang pada Nur, matanya mengawasi, seakan tidak percaya, kemudian ia bertanya. “Nur, awakmu isok kidung jawa ya?” (Nur, kamu bisa bersenandung lagu jawa ya?) Nur mengamati Widya, kemudian, ia diam.
Nur pergi tanpa menjawab sepatah katapun dari pertanyaan Widya. ia seperti membawa rahasianya sendiri, tanpa mau membagi rahasia itu.
Listrik di desa ini menggunakan tenaga Genset, jadi ketika jam menunjukkan pukul 9, lampu sudah mati, di ganti dengan petromak, Nur sudah pergi tidur, hanya tinggal Widya dan Ayu yang masih menyelesaikan progres untuk Proker esok hari. Widya masih teringat kejadian sore tadi.
Sebenarnya Widya mau cerita, namun bila melihat respon Ayu kemarin, sepertinya ia bakal di semprot dan berujung pada pidato tengah malam. di tengah keheningan mereka menggarap progres, tiba-tiba Ayu mengatakan sesuatu yang membuat Widya tertarik.
“Mau aku ambek Bima, ngecek progres gawe pembuangan, pas muter deso, iling gak ambek Tapak talas, tibakne, gak adoh tekan kunu, onok omah sanggar” (tadi aku sama Bima, mengecek progres untuk pembuangan, ketika memutari desa, ingat tidak sama Tapak Tilas, ternyata, gak jauh darisana, ada sebuah bangunan tua menyerupai sanggar) Widya terdiam beberapa saat, memproses kalimat Ayu “Loh, awakmu kan wes reti nek gak oleh mrunu!!” (Loh, bukanya kamu sudah mengerti dilarang berada disana) “guguk aku” (bukan aku) bela Ayu, iku ngunu Bima sing ngajak.
(Jadi yang mengajak awalnya si Bima) jarene, onok wedon ayu mlaku mrunu, pas di tut’i, ra onok tibak ne (katanya ada perempuan cantik, pas di ikuti ternyata gak ada).
“Lah trus, awakmu tetep ae mrunu!!” (lah terus kamu tetap kesana) “cah iki, yo kan aku ngejar Bima, opo di umbarke ae cah kui ngilang!!” (anak ini, kan saya mengejar Bima, apa di biarkan saja anak itu nanti hilang) perdebadan mereka berhenti sampai disana, namun perasaan itu.
Widya merasa perasaanya semakin tidak enak. sejak menginjak desa ini, semuanya terasa seperti kacau balau.
Karena malam semakin larut, Widya pun beranjak pergi ke kamar, disana ia melihat Nur, sudah terlelap dalam tidurnya. Ayu pun menyusul kemudian, berharap malam ini segera berlalu, tiba-tiba terdengar langkah kaki saat Widya melihat apa yang terjadi, bayangan Nur melangkah keluar.
Ragu apakah mau membangunkan Ayu, Widya pun beranjak dari tempatnya tidur, berjalan, mengejar Nur. rumah sudah gelap gulita, sang pemilik rumah tampaknya sudah terlelap di dalam kamarnya, di depan Widya, pintu rumah sudah terbuka lebar, dengan perlahan, Widya melangkah kesana.
Malam itu sangat gelap, lebih gelap dari perkiraan Widya, bayangan pohon tampak lebih besar dari biasanya, dan sayup-sayup terdengar suara binatang malam, sangat sunyi, sangat sepi, di lihatnya kesana-kemari mencari dimana keberadaan Nur, Widya terpaku melihat Nur, di depannya.
Nur berdiri di tanah lapang depan rumah, dia menari dengan sangat anggun, tanpa alas kaki, Nur berlenggak-lenggok layaknya penari profesional. Widya, termengu mematung melihat temanya seperti itu. ragu, Widya mendekatinya. tak pernah terfikirkan Nur bisa menari seperti ini.
“Nur” panggil Widya, tapi sosok Nur seperti tidak mendengarkanya, ia masih berlenggak lenggok, sorot matanya beberapa kali melirik Widya, ngeri, tiba-tiba bulukuduk terasa berdiri ketika memandangnya. dari jauh, sayup sayup, kendang terdengar lagi, Widya semakin di buat takut,
Tabuhan gamelan sahut menyahut, campur aduk dengan tarian Nur yang seperti mengikuti alunan itu. kaki seperti ingin lari dan melangkah masuk rumah, tapi Nur semakin menggila, ia masih menari dengan senyuman ganjil di bibirnya.
Sampai akhirnya Widya memaksa Nur menghentikan tarianya, ia berteriak meminta temanya agar berhenti bersikap aneh, dan saat itulah, wajah Nur berubah menjadi wajah yang sangat menakutkan. sorot matanya tajam, dengan mata nyaris hitam semua. Widya menjerit sejadi-jadinya.
Kali berikutnya, seseorang memegang Widya kuat sekali, menggoyangkanya sembari memanggil namanya. Wahyu. Widya melihat Wahyu yang menatapnya dengan tatapan bingung plus takut. “bengi bengi lapo As* nari-nari gak jelas nang kene!!” (malam-malam ngapain anji*g!! nari sendirian Disini seorang diri) jeritan Widya rupanya membangunkan semua orang, termasuk si pemilik rumah, Widya melihat sorot mata semua orang memandangnya, tak terkecuali Nur yang rupanya baru saja keluar dari dalam rumah.
