Danau Rano Balaesang: Potensi Terpendam dan Ancaman yang Mengintai
“Saya pikir dingin, ternyata panas,” kata Minie sesaat setelah tiba di Desa Rano, Kecamatan Balaesang Tanjung, Kabupaten Donggala, Jumat (28/2/2020).
Padahal kata dia, Desa Rano seharusnya hawanya sejuk karena dikelilingi gunung yang ditumbuhi pepohonan. Tentunya ada sesuatu yang terjadi di sini, katanya sembari mengamati sekeliling gunung yang mengitari Desa Rano.
Minie adalah anggota rombongan dari Palu yang datang untuk menyaksikan Festival Danau Rano. Festival ini diselenggarakan oleh Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Sulawesi Tengah (Sulteng) bekerja sama masyarakat setempat.
Desa Rano terletak di Kecamatan Balaesang Tanjung Kabupaten Donggala seluas 54,26 kilometer persegi, terbagi atas kawasan hutan, pemukiman, perkebunan, dan kawasan perairan dalam bentuk danau seluas 269,7 Ha.
Jarak dari kota Palu, ibukota Provinsi Sulawesi Tengah sampai ke desa Rano sekitar 140 kilometer, dengan waktu tempuh 3 sampai 4 jam menggunakan kendaraan roda empat atau roda dua. Akses medan jalan yang rusak, berkubang dan berlumpur memperlambat laju kendaraan. Apalagi memasuki musim hujan, harus berhati-hati sebab longsor bisa sewaktu-waktu terjadi, dapat merenggut jiwa.
“Perkebunan cengkeh mulai masif dibuka masyarakat setempat, sekitar tahun 80-an,” kata Gafar (63), tokoh masyarakat setempat. Rasa penasaran Minnie terjawab, mengapa suhu di daerah ini cukup panas.
Gafar mengatakan, pembukaan hutan tersebut, bukan tanpa alasan, tidak lain guna perbaikan ekonomi, sebab saat itu harga cengkeh cukup menggiurkan.
Gafar menuturkan, masing-masing kepala keluarga memiliki setidaknya 2 hektar kebun cengkeh. Hal inilah yang membuat hutan sekitar dibabat.
Ia pun merasakan perubahan cuaca 20 tahun terakhir, akibat dari penebangan pohon sekitar desa Rano. Kalau dulu, kata dia, bila masuk sore hari cuaca dingin sudah mulai merasuk sendi-sendi tulang, mengharuskan warga memakai sarung panjang, menyelimuti tubuh. “Tapi sekarang, sarung pendekpun, hawanya panas,” katanya.
Ia menuturkan, dampak dari penebangan hutan tersebut, berpengaruh pada debit air Danau Rano di desanya. “Bila musim kemarau, debit air Danau Rano turun sampai sekitar 80 centimeter, kalau dulu hutannya masih lebat turunnya tidak signifikan,” katanya.
Untuk itu, dia bersama warga lainnya yang masih peduli terhadap kelestarian alam dan lingkungan was-was bila penebangan atau pembukaan hutan ini terus berlangsung, tanpa ada pengawasan, aturan serta tata kelola baik, tidak menutup kemungkinan 10 atau 20 tahun ke depan desa ini bisa dilanda banjir dan longsor.
Potensi Desa
Warga setempat, Anis mengatakan, selama ini ada tiga hal menjadi harapan semua warga desa Rano yakni akses jalan rusak diperbaiki dan aliran listrik, serta sarana komunikasi. “Syukurnya akses komunikasi baru akhir Desember 2019, kemarin sudah masuk,” ujar Anis.
Ia mengatakan, selama ini warga sudah cukup lama menunggu perbaikan jalan dan akses listrik, tentunya akses jalan baik perekonomian warga berjalan lancar. Sebab desa Rano memiliki potensi perkebunan cukup banyak seperti kopi, cengkeh, durian dan buah lainnya.
Selain potensi perkebunan, pertanian desa Rano juga memiliki Danau Rano, menyimpan aneka ragam hayati seperti ikan mujair, nila, gabus dan sidat. Belum lagi terdapat situs-situs cagar budaya dan peninggalan masa penjajahan seperti adanya meriam peninggalan Portugis.
Semua potensi tersebut, belum dapat terkelola dengan baik serta maksimal hingga dapat meningkatkan taraf ekonomi. Usaha rumahan yang mengolah potensi danau tersebut seperti abon ikan gabus, mujair belum bisa menembus pasar luar, serta terkelola secara maksimal, terkendala dengan belum memiliki izin produksi.
Untuk itu, dia berharap pembinaan dan sinergitas dari instansi terkait lainya dalam pengembangan dan pengelolaan yang baik berstandar mutu.
Intervensi WALHI Sulteng
WALHI Sulteng meneropong potensi itu dan berupaya mengintervensi serta memetakan potensi-potensi ekonomi di desa Rano dengan tetap berbasis kearifan lokal dan ekologi.
Manager Advokasi dan Kampanye Walhi Sulteng, Julie mengatakan, masyarakat Rano memiliki ketergantungan sangat besar terhadap hutan, kebun dan danau, dalam pemenuhan kebutuhan pangan.
Oleh karena itu kata dia, masyarakat jika dilihat dari peradaban sejarahnya memiki relasi sangat kuat terhadap hutan dan danau. Sebab di sinilah terbangun solidaritas sosial, ruang spiritual dan menjadi pasar bagi bermukim di sekitarnya.
Ia mengatakan, peristiwa bencana 28 September 2018 menjadi pengalaman berharga, bisa dijadikan pembelajaran untuk memperlakukan alam secara bijak guna mewujudkan keseimbangan relasi antara ekosistem dalam mendukung keberlangsungan dan keberlanjutan sumber penghidupan manusia.
Sehingga kata dia, WALHI merespons agenda pemulihan pasca bencana dengan melakukan pemetaan wilayah rentan bencana bersama masyarakat dan pemerintah desa, melakukan pembangunan hunian layak bagi 114 Kepala Keluarga (KK) pemulihan ekonomi dan perlindungan terhadap perempuan dan kelompok rentan.
Selain itu, Desa Rano dalam peta pola ruang Ranperda RTRW Provinsi Sulawesi Tengah ditetapkan menjadi Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP). Hal tersebut merupakan ancaman bagi keberlangsungan Wilayah Kelola Rakyat di kecamatan Balaesang khususnya Desa Rano.
Tokoh masyarakat setempat Gafar (63), mengatakan, WALHI sudah mendampingi desanya baik dalam pemberdayaan maupun edukasi dalam pengelolaan SDA. Sehingga sedikit memberi kesadaran sebagian masyarakat dalam mengelola SDA yang ada di desanya.
Walau tidak menutup kemungkinan masih ada sebagian melakukan penebangan, tapi tidak semasif pertama pembukaan lahan kebun cengkeh.
Namun apa telah menjadi kerja-kerja WALHI saat ini, kata dia, perlu monitoring serta evaluasi kembali, apa sudah dicapai dan belum dicapai dari target-target sudah ditetapkan.
Hal sama diungkapkan Camat Balaesang Tanjung Nawir pada saat pembukaan festival Danau Rano Balaesang Tanjung. Dia mengatakan, untuk mengembangkan perekonomian warga harus mencari formula dan desain tepat dan benar, sehingga tidak menggangu ekosistem dan kelestarian lingkungan dari pada hutan dan danau Rano itu sendiri. “Sehingga benar-benar berbasis kelestarian alam,” katanya.
Hal tersebut kata dia, dapat dilakukan bila semua pihak bersinergi yakni tokoh adat, agama, masyarakat, penegak hukum dan pemangku kebijakan. Untuk itu kata dia, hutan-hutan mendukung suplay air ke danau Rano agar dijaga. Bila kemiringan 60 derajat atau 30 derajat sebaiknya tidak diolah jadikan kebun. Dia mengajak semua untuk merawat dan melestarikan hutan demi anak cucu ke depan.
Festival
Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Sulawesi Tengah (Sulteng) bekerja sama masyarakat setempat menggelar Festival Danau Rano. Festival yang dibuka pada 29 Februari 2020 ini menjadi salah satu momentum bagi masyarakat kecamatan Balaesang Tanjung untuk merawat ingatan perjuangan masyarakat dalam mempertahankan wilayah kelolanya.
Salah satu ritual budaya Mompalit Rano sebagai sebuah proses ritual adat secara filosofis menjadi simbol lokal masyarakat dalam menjaga dan memanfaatkan sumber daya alam ada di Desa Rano.
Tradisi ini masih terus dipertahankan secara turun-temurun hingga saat ini. Oleh karena itu WALHI Sulawesi Tengah bersama masyarakat Desa Rano menyelenggarakan kegiatan festival bertajuk Hutan Hijau, Danau Lestari, Rakyat Sejahtera dengan harapan dapat mendorong komitmen pemerintah daerah kabupaten Donggala untuk mendukung pembangunan desa- desa di kecamatan Balaesang Tanjung pasca bencana berbasis kearifan lokal berkelanjutan.
Tujuan festival, kata dia, berbagi pengetahuan dan pengalaman antara komunitas dan peserta kegiatan Festival terkait pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam berkelanjutan pasca bencana.
Selain itu kata dia, memperkuat nilai sosial dan Adat Budaya Masyarakat Desa Rano dalam Tata Kelola Sumber Daya Alam dan EkoWisata. Mendorong lahirnya kebijakan perlindungan Wilayah Kelola Rakyat Desa Rano.
Menjadikan Desa Rano sebagai desa ekologis berbasis kearifan lokal dan berkeadilan gender. Hasil diharapkan, kata dia, masyarakat Desa Rano dan publik luas mendapatkan informasi, pengetahuan serta pengalaman terkait pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam berkelanjutan.
Adanya kesadaran masyarakat untuk mengembalikan nilai budaya dalam perlindungan alam. Adanya komitmen Pemerintah Kabupaten Donggala dalam memenuhi tuntutan penyelamatan dan perlindungan Wilayah Kelola Rakyat bagi masyarakat desa Rano.
Desa Rano menjadi wilayah percontohan desa ekologis berbasis kearifan lokal dan berkeadilan gender. “Perlindungan wilayah kelola rakyat menjadi satu bagian penting dalam tata kelola lingkungan hidup dan ekosistem,” katanya.
Mewujudkan kelestarian ekosistem, kata dia, tidak dapat dilepaskan dari keberadaan manusia bergantung pada fungsi-fungsi layanan alam dimana ekosistem itu berada.
Dia menyebutkan, dalam beberapa dekade, pengerusan sumber daya alam di Indonesia, khususnya di wilayah pulau Sulawesi lebih banyak memberikan ruang bagi industri ekstraktif dalam pemanfaatannya.
Pelibatan masyarakat dalam pengelolaan SDA difasilitasi pemerintah sangatlah minim, akibatnya kondisi pengelolaan SDA yang pro modal telah menunjukkan dampak mengancam keberlanjutan ekologi dan masyarakat.
Hal ini, ditandai dengan terjadinya degradasi lingkungan pada ekosistem penting, kawasan hutan, daerah aliran sungai, rawa dan kawasan pesisir di Sulawesi.
Mengakibatkan wilayah-wilayah masyarakat yang menjadi bagian dari ekosistem ikut tergerus sehingga tidak hanya ancaman dan bencana ekologi meningkat tetapi juga ancaman kelangkaan pangan dapat terjadi.
Direktur Eksekutif Daerah Walhi Sulteng, Abdul Haris mengatakan, penting untuk dilihat bahwa masyarakat di Rano punya sumber daya berlimpah tetapi saat ini mengalami ancaman, sebab adanya industri ekstraktif di sini.
“Sejak 2013 kami melakukan pendampingan melawan eksploitasi pertambangan disini,“ ungkap Aris sapaan akrabnya.
Lanjut Aris, ada upaya perlawanan dari warga karena mereka mengkhawatirkan kehancuran ekologi.
Menurut Haris, pihaknya mendorong festival ini, untuk bisa mengkampanyekan, ekosistem di Rano harus dijaga dan dilindungi dari ancaman industri ekstraktif.
Kepala Desa Rano Samin mengatakan bahwa festival dilaksanakan bertujuan menjaga lingkungan. “Festival ini dibuat supaya hutan tetap terjaga karena lingkungan adalah bagian hidup kita begitupun sebaliknya,” katanya.
Sehingga menurutnya sumber daya alam terjaga dengan bertumpuh pada pengelolan berdasarkan kearifan lokal.
Senada dengan itu, Direktur Eksekutif Nasional Walhi Nur Hidayati mengatakan, bahwa prespektif pemerintah mengatakan bahwa perkembangan ekonomi bisa dilakukan dengan cara yang eksploitatif sangat keliru.
“Mengeruk sumber daya alam tidak selaras dengan kondisi lingkungan kita yang rentan terhadap bencana,”ujarnya.
Dia mengatakan, konsep tanding pembangunan ditawarkan Walhi, guna mensejahterahkan masyarakat, dengan jalan berbeda yang sebelumnya dilakukan pemerintah, terkesan eksploitatif, dan tidak memiliki manfaat jangka panjang. “Jalan tanding itu adalah selaras dengan alam dan memiliki manfaat pada masyarakat lokal,” ujarnya.
Menurut Yaya, sapaan akrabnya, dalam festival ini, media memiliki peran strategis untuk menyampaikan ada apa di Rano kepada khalayak, bahwa Rano merupakan sebuah ekosistem unik, baik dari segi budaya, lingkungan, sumber daya, termasuk kerentanan bencana.
Salah satu poin penting dari hadirnya Walhi, kata dia, untuk melakukan pendampingan di Rano, adalah peningkatan kesiapsiagaan melalui pembangunan kembali kesiapan masyarakat dalam menghadapi bencana, baik disebabkan alam, maupun ancaman hadirnya industri ekstraktif di wilayah tersebut.
Hal sama juga diutarakan Program Officer Livelihood Yappika, Hari Wijayanto. Menurut dia, festival ini sebuah cara untuk menyuarakan aspirasi dari warga di Rano, juga menyuarakan produk-produk dihasilkan di Rano, sehingga masyarakat luas bisa melihat.
Iven ini kata dia, diharapkan bisa mengenalkan ke publik, apa pihaknya bersama Walhi lakukan bersama masyarakat. Upaya ini semakin berkembang dan ditopang dengan kebijakan pemerintah desa, terutama soal pengelolaan lingkungan. “Kegiatan ini juga merupakan jendela untuk melihat lebih jauh harapan kita ke depan,” ujarnya. [Red]