Forum Koordinasi Pembangunan Wilayah Berbasis Penataan Ruang Pulau Sulawesi yang digelar di DPRD Sulteng, Kamis (20/7/2025), memperlihatkan keseriusan pemerintah dalam menata ulang arah pembangunan kawasan timur Indonesia, bukan lagi sekadar rutinitas koordinasi.

Gubernur Sulawesi Tengah, Anwar Hafid, memanfaatkan momentum ini untuk menegaskan posisi Sulawesi sebagai “mutiara” yang potensinya belum sepenuhnya tergarap karena minimnya infrastruktur dan belum tertatanya konektivitas antarwilayah.

“Sulawesi ini mengandung potensi sumber daya alam yang luar biasa. Tapi infrastruktur masih minim. Jika konektivitas antarwilayah diperkuat, saya yakin mutiara Indonesia akan lahir dari Sulawesi dan bagian timur,” ujarnya, sambil menyoroti pentingnya menjadikan tata ruang sebagai panglima kebijakan, bukan sebagai formalitas yang dikalahkan oleh kepentingan investasi.

Pernyataan ini langsung diamini oleh Menteri Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), yang hadir langsung dalam forum tersebut.

Ia menegaskan, penguatan tata ruang tidak bisa lagi dibebankan sepenuhnya kepada daerah. Konflik antara kepentingan lahan pertanian dan industri, menurutnya, bukan hal baru, tapi harus dihadapi dengan satu arah kebijakan yang berpihak pada keberlanjutan.

“Pemerintah daerah tidak boleh dibiarkan menghadapi konflik tata ruang sendirian. Di satu sisi kita harus lindungi sawah untuk ketahanan pangan, di sisi lain kita juga harus bangun perumahan dan industri,” ucap AHY. Ia menggarisbawahi, pembangunan harus inklusif, menjaga lingkungan, dan memastikan tidak ada masyarakat yang tertinggal.

Target pertumbuhan ekonomi Sulawesi dalam RPJMN sebesar 9,9 persen disebut AHY sebagai tantangan besar yang tidak bisa dicapai dengan pendekatan pembangunan sektoral semata. Sebaliknya, harus ada jaminan bahwa pembangunan juga menghadirkan pemerataan dan keadilan ekologis.

Salah satu tantangan konkret yang disinggung AHY adalah belum rampungnya 361 Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) dari total 451 yang seharusnya dimiliki Sulawesi. Padahal, dari sisi teknis, hambatan itu dinilai sudah tidak relevan lagi sejak tersedianya peta dasar skala besar 1:5000 untuk seluruh pulau.

“Kini tidak ada alasan untuk menunda lagi penyusunan dan legalisasi RDTR secara masif dan terstruktur,” tegasnya.

Forum ini ditutup dengan simbol kuat: penyerahan peta dasar skala 1:5000 oleh Kepala Badan Informasi Geospasial (BIG), Prof. Muh Aris, kepada seluruh gubernur se-Sulawesi. Momen ini menjadi tanda kesiapan teknis yang diharapkan segera diikuti dengan langkah konkret penyusunan RDTR.

AHY juga menyatakan dukungan terhadap program Integrated Land Administration and Spatial Planning (ILASP), kerja sama pemerintah dengan Bank Dunia yang menjadi motor utama dalam percepatan penataan ruang wilayah. Program ini diposisikan sebagai jembatan antara kebutuhan pembangunan dan tata kelola lahan yang tertib serta berbasis data spasial. ***