Pemimpin Revolusi Yaman, Sayyed Abdul-Malik Badr al-Din al-Houthi, kembali menggemakan perlawanan terhadap Israel dalam pidato terbarunya.

Seruan ini datang di tengah agresi militer Israel yang menyasar Bandara Sana’a dan upaya berkelanjutan untuk menghalangi dukungan terhadap rakyat Palestina. Namun bagi al-Houthi, serangan itu bukanlah titik akhir, justru awal dari fase operasi yang lebih besar dan lebih menggigit.

“Kita berada dalam posisi yang aktif dan jihadis, menyerang musuh Israel,” kata Sayyed al-Houthi dalam pidato yang juga menyentil stagnasi negara-negara lain dalam merespons krisis Gaza.

Ia membandingkan Yaman dengan Suriah yang kerap diserang tanpa membalas, dan menyebut Yaman sebagai negara yang berdiri “dengan martabat” dalam perlawanan.

Lebih dari sekadar retorika, pidato ini memperlihatkan keseriusan militer Yaman dalam menghadapi Israel. Sebanyak 14 rudal hipersonik dan balistik serta drone diklaim telah diluncurkan ke wilayah-wilayah seperti Jaffa, Haifa, Ashkelon, dan Eilat. Yaman juga menutup Laut Merah bagi semua kapal yang terkait dengan Israel, menandai bahwa konflik ini bukan hanya simbolik, tapi juga strategis.

Tak hanya itu, Sayyed al-Houthi menyinggung keterlibatan rakyat secara luas. Dalam 20 bulan terakhir, tercatat lebih dari dua juta aksi massa dilakukan untuk mendukung Palestina. Pada Jumat lalu saja, 1.060 demonstrasi digelar di berbagai kota dan desa. Ini bukan sekadar angka, tetapi menunjukkan bahwa dukungan terhadap Palestina telah menjadi bagian dari denyut nadi masyarakat Yaman.

Serangan terhadap Gaza dan Masjid Al-Aqsa pun menjadi sorotan utama. Ia menuduh Israel melakukan genosida sistematis yang berlangsung lebih dari 600 hari, dan menyoroti penghancuran sistem kesehatan serta pemblokiran bantuan pangan sebagai bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan.

Sayyed al-Houthi juga menyebut strategi kelaparan yang dijalankan Israel sebagai “penipuan kemanusiaan”, di mana truk bantuan dihalangi sementara ribuan anak terancam mati karena kekurangan gizi. Ia tak segan menuding lembaga internasional seperti PBB sebagai bagian dari masalah, karena ikut mendukung mekanisme distribusi bantuan yang dikendalikan Israel.

Namun salah satu bagian paling tajam dari pidatonya adalah kecaman terhadap dunia Muslim sendiri. Ia menyoroti sikap diam negara-negara Arab dan Islam yang justru masih bekerja sama dengan Israel secara ekonomi. Menurutnya, ini bukan hanya bentuk pengkhianatan terhadap Palestina, tapi juga terhadap Islam itu sendiri.

Ia menyatakan bahwa konflik ini bukan semata antara Israel dan Iran, sebagaimana banyak diberitakan. Ini adalah permusuhan yang lebih luas terhadap seluruh umat Muslim, dengan ancaman langsung terhadap tempat-tempat suci seperti Masjid Al-Aqsa, bahkan hingga Mekkah dan Madinah.

Peringatan itu ia sampaikan bersamaan dengan sorotan pada proyek penggalian bawah tanah Israel di sekitar Masjid Al-Aqsa yang disebutnya telah berlangsung sejak 2005. Sebanyak 27 terowongan diklaim sudah melemahkan fondasi masjid, mengancam keruntuhan fisik situs paling suci ketiga umat Islam.

Di akhir pidato, Sayyed al-Houthi menyerukan unjuk rasa besar-besaran di Sana’a dan wilayah lain sebagai bentuk loyalitas kepada Nabi Muhammad, tempat-tempat suci Islam, dan rakyat Palestina. Ia menyebutnya sebagai jihad dalam bentuk nyata, bukan sekadar simbolik.

“Besok adalah hari mobilisasi dan loyalitas. Saya berharap jumlah massa akan banyak, hebat, dan perkasa,” tegasnya seperti dilansir SABA (Kantor Berita Yaman).

Pernyataan Sayyed al-Houthi memperlihatkan bahwa Yaman bukan sekadar bersuara. Negara ini menempatkan dirinya sebagai salah satu poros aktif dalam perlawanan terhadap dominasi Israel di kawasan, baik di medan militer maupun di ranah diplomasi publik. Pidato ini juga menjadi refleksi bagaimana sebuah negara kecil seperti Yaman mencoba menorehkan pengaruh besar dalam isu Palestina yang telah berlangsung lebih dari tujuh dekade.***