Peran Media di Era Post-Truth, JMSI Luncurkan Media and Peace Forum
Di tengah era disrupsi informasi dan post-truth, media tidak lagi hanya menjadi saluran penyampai berita, tetapi juga turut membentuk cara pandang masyarakat terhadap kebenaran dan konflik.
Dalam konteks ini, Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI) meluncurkan Media and Peace Forum sebagai wadah refleksi terhadap peran media dalam mendorong perdamaian.
Peluncuran forum tersebut berlangsung di Hall Dewan Pers, Jakarta, Senin (21/4), dan dihadiri berbagai pihak termasuk Kuasa Usaha Ad Interim (KUAI) Indonesia untuk Korea Utara, Riza H. Wardhana, KUAI Korea Utara untuk Indonesia, So Kwang Yun, serta Wakil Ketua Dewan Pers Agung Dharmajaya. Hadir pula Direktur Grup Studi Juche Indonesia (GSJI) Teuku Rezasyah dan produser SEA Today, M. Alvin Dwiana Qobulsyah.
Ketua Umum JMSI, Teguh Santosa, dalam pemaparannya menyoroti bagaimana media arus utama maupun media sosial kini lebih sering mempertebal keyakinan daripada menyodorkan kebenaran yang objektif.
“Di era post-truth, kebenaran atas apa yang terjadi rasanya menjadi kurang penting dibandingkan keinginan untuk mempercayai dan meyakini sesuatu,” ujar Teguh.
Menurutnya, media seringkali menjadi bagian dari proses polarisasi sosial karena informasi yang dikonsumsi masyarakat tidak jarang bersifat bias atau terdistorsi. Maka dari itu, Media and Peace Forum digagas sebagai clearing house atau ruang penjernihan terhadap berbagai isu konflik — mulai dari politik, sosial, hingga lingkungan — baik di dalam negeri maupun skala global.
Salah satu topik yang menjadi sorotan diskusi ialah citra Korea Utara di mata publik internasional, termasuk masyarakat Indonesia, yang dinilai terlalu banyak dikonstruksi oleh pemberitaan media Barat. Teguh sendiri mengaku sudah belasan kali mengunjungi Korea Utara sejak 2003 dan menyebut banyak informasi yang beredar tidak sesuai kenyataan.
“Secara umum saya mengenali negara ini,” ujarnya, sembari mengaitkan topik tersebut dengan disertasinya mengenai konflik di Semenanjung Korea.
Alvin dari SEA Today turut menggarisbawahi bahwa dominasi narasi Barat dalam pemberitaan soal Korea Utara membuat masyarakat Indonesia harus lebih kritis dalam mencerna informasi. Ia juga menyinggung tidak adanya tim liputan dari Indonesia yang secara langsung melaporkan kondisi di negara tersebut.
Sementara itu, Teuku Rezasyah memaparkan ideologi Juche yang menjadi dasar kemandirian Korea Utara, dan menyebutnya sebagai negara yang kerap disalahartikan. Ia menyatakan bahwa sikap ini seharusnya dihormati sebagai bentuk prinsip hubungan internasional yang menjunjung kesetaraan.
Dalam pemaparannya, Teuku juga membagikan dokumentasi kunjungannya ke Korea Utara tahun lalu yang menurutnya menunjukkan keberhasilan negara itu dalam pembangunan sosial serta menjaga kelestarian lingkungan hidup.
Media and Peace Forum diharapkan bisa menjadi ruang edukasi media yang lebih adil dalam memotret realitas global, tanpa bias geopolitik yang selama ini mendominasi narasi.***
