PALU – Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Sulawesih Tengah, Sahran Raden mengatakan, Salah satu masalah dalam arena kontestasi pemilihan serentak yakni adanya politik identitas yang dipraktekan oleh suatu kelompok yang berbeda dalam kompetisi pemilihan kepala daerah.

“Hampir semua momentum pemilihan atau pemilu dalam kurun waktu sejak pemilu dan pilkada, politik identitas ini selalu ada dan kadang menemukan temanya”, Ungkap Sahran Raden saat menjadi narasumber dalam diskusi Virtual PPP-KI, Jumat, (24/72020).

Ia menjelaskan, bahwa politik identitas adalah sebuah alat politik suatu kelompok seperti etnis, suku, budaya, agama atau yang lainnya untuk tujuan tertentu. Misalnya sebagai bentuk perlawanan atau sebagai alat untuk menunjukan jati diri suatu kelompok tersebut.

“Identitas dipolitisasi melalui interpretasi secara ekstrim, yang bertujuan untuk mendapat dukungan dari orang-orang yang merasa ‘sama’, baik secara ras, etnisitas, agama, maupun elemen perekat lainnya”, paparnya.

Kemudian kata dia, Politik identitas menjadi bermasalah jika dipraktekan secara ekstrim dengan menjatuhkan, memfitnah dan menghina atas nama agama, suku dan ras.

“Jadi agama, suku dan ras dipolitisasi untuk tujuan memenangkan konstestasi pemilihan. Sebab karakter politik pilkada itu adalah rivalitas dan perebutan kursi kekuasaan”, bebernya.

Menurutnya, Politik identitas lahir dari dua tujuan yakni, pertsma sebagai alat menentukan posisi seseorang atau politisasi dengan mencari kesamaan kelelompok tertentu sehingga memunculkan kepemilikan kelompok secara ekstrim. Kedua, sebagai alat yang dibuat untuk mempertegas perbedaan identitas dengan kelompom lainnya.

Selanjutnya, Bentuk bentuk dari politik identitas ini yakni berupa pengancaman, intimidasi, kekerasan terhadap seseorang atau calon kepala dserah atau kelompok tertentu diruang publik baik secara nyata maupun melalui media sosial.

“Dalam pilkada praktek politik identitas terlihat saat pencalonan dan tahapan kampanye”, Katanya.

Dia mencontohkan “Dalam pencalonan misalnya ada narasi publik yang dikembangkan oleh suatu kelompok terhadap calon tertentu untuk membatasi dan menghambat pencalonan seseorang karena hanya berbeda agama, suku dan ras. Terhadap politik identitas dalam tahapan kampanye misalnya membuat narasi dalam materi materi kampanye untuk saling menyerang dengan perbedaan agama, suku dan ras untuk menjatuhkan pihak lain”.

Maka dalam kerangka hukum pilkada sebagaimana dalam UU 10 Tahun 2016 diatur terkait dengan pencalonan dimana syarat pencalonan dan syarat calon bersifat universal dan berlaku untuk siapa saja.

Dalam konteks konstitusi juga disebutkan dalam UUD 1945 diatur bahwa setiap orang memiliki hak untuk ikut serta berpartisipasi dalam pemerintahan.

“Jadi prinsip pemilu universal itu adalah kesetaraan dan keadilan. Setiap orang memiliki hak untuk mencalonkan diri dan dicalonkan dalam suatu pemilu atau prmilihan”, ujarnya.

Kerangka hukum pemilu juga melarang setiap orang dalam kampanye melakukan tindak kekerasan, menghina, mengintimidasi dalam bentuk apapun.

“Politik identitas dengan secara ekstrim digunakan dalam pilkada akan mengggangu demokrasi lokal di daerah”, terangnya.

Untuk mencega itu kata dia, dibutuhkan pemilu atau pemilihan yang berintegritas. Tiga indikator pemilihan beritegritas yakni :

1. Pemilihan berdasarkan prinsip demokratis dengan hak Pilih yang berlaku secara universal, setara dan adil dalam mewujudkan kontitusionalisme politik dan hak hak sipil warga negara.

2. Penyelenggara pemilu yang Melaksanakan pemilihan secara profesional, imparsial dan transparan. Pada semua tahapan pemilihan

3. Kepatuhan terhadap kerangka hukum pemilihan dan menghadirkan etika prmilihan yang bermartabat pada semua siklus dan tahapan pemilihan. [***]

Penulis: Yahya Prianto