Karomah Guru Tua
Warning: Undefined variable $args in /home/infopena/public_html/wp-content/themes/liputanwp/inc/shortcode-bacajuga.php on line 56
Paspor yang Tertinggal “Muncul” di Tas
Tahun 1968 di Jakarta di Jalan Tanggerang No 99, Habib Idrus bermukim di rumah almarhum Muhammad Alaidrus bersama tiga orang muridnya, Machfud Godal, Hasbullah Arsyad dan Syakir Hubaib. Keberadaan mereka adalah untuk memenuhi hajat Keluarga Alaidrus untuk menunikan ibadah haji ke tanah suci, Makkah.
Ketika bersiap berangkat dari Jakarta menuju Jeddah, risaulah murid-muridnya. Pasalnya, paspor mereka tertinggal di Palu.
Melihat kerisauan itu, Umar bin Alwi Alaidrus mengusulkan agar seorang diantaranya pulang ke Palu, mengambil paspor yang tertinggal. Tapi dengan tenang, sang Guru menyahuti, “Sudahlah! Hayya ista’id. Paspor sudah ada di tas kita”.
Mendengar jawaban enteng itu, mereka masih merasa ragu. Bagaimana tidak, sudah dicari dan digeledah berkali-kali, tidak ada. Tapi perintah Sang Guru, mungkin saja benar.
Setelah diperiksa, dengan membuka tas. Sekali buka, sudah ketemu. “Sudah ada paspor yang dicari-cari,” seru seorang muridnya dengan rasa gembira.
Dan mereka pun berangkat ke Haramain. [disadur dalam buku “Mengenal Sosok Sayid Idrus bin Salim Aljufri”, karya Abdul Kadir, RA]
‘Tamu’ yang Sembuhkan Mualaf
Pada tahun 1987, di Desa Sienjo, Parigi, terdapat satu keluarga masuk Islam. Mereka adalah warga transmigran dari Bali. Namun rupanya keputusan keluarga ini tidak disenangi oleh warga lainnya.
Kepala keluarga bernama Made Mutiara pun dikeroyok habis-habisan oleh warga. Tubuhnya babak belur, sampai matanya pun rusak dan sulit untuk melihat.
Made dibawa ke Puskesmas Ampibabo. Tubuhnya sudah tidak sanggup lagi bergerak karena kesakitan.
Sampailah pada tengah malam, Made diantara sadar dan tidak, melihat tiga sosok penjenguk yang datang padanya. Dia pun tidak mengenal siapa gerangan orang-orang itu.
Kemudian salah satu dari orang-orang itu, menyentuh bagian-bagian tubuhnya yang dipukuli dan juga matanya yang sudah parah itu.
Keesokan paginya, ajaib, tubuh Made tak ada sedikitpun bekas pukulan. Lebam yang ada di badan dan wajahnya hilang. Lebih-lebih lagi matanya dapat melihat sempurna. Dan lebih ajaib dia tidak lagi merasakan sakit.
Melihat kejadian ini, dokter dan perawat di Puskesmas terheran-heran. Begitupula tentunya dirinya sendiri dan keluarga.
Maka karena telah sembuh, Made diizinkan pulang. Dia kembali lagi ke Sienjo. Tiba di desa tersebut, Made Mutiara menyambangi rumah seorang warga Muslim di daerah itu.
Ketika masuk, tanpa sengaja, matanya terpaku pada satu gambar di foto. Nafasnya tercekat, kaget bukan kepalang. Bagaimana tidak, orang yang ada di foto itu adalah salah satu penjenguk yang datang padanya malam itu. Dan orang itu pulalah yang menyentuh tubuhnya.
Made bertanya kepada tuan rumah, “Siapa orang itu?” tanyanya.
Tuan rumah menjawab,”Itu Guru Tua, orangya karamah, pendiri Akhairaat.”
[cerita Eddy Rumambi, menantu Raja Mautong Abdul Majid Tombolotutu, dalam buku “Said Idrus Bin Salim Aljufri Pendiri Alkhairaat dan Kontribusinya dalam Pembinaan Umat]

 
													 
			    					 
			    					 
			    					 
			    					 
			    					