Lore Lindu Jadi Simbol MoU Budaya Sulteng–Kemenbud
Langkah Gubernur Sulawesi Tengah, H. Anwar Hafid, menandatangani Nota Kesepahaman (MoU) dengan Menteri Kebudayaan Republik Indonesia, Dr. H. Fadli Zon, S.S., M.Sc, menandai arah baru dalam penguatan budaya di wilayah timur Indonesia.
Penandatanganan yang berlangsung di Gedung Kementerian Kebudayaan RI, Jakarta, Selasa (22/7/2025), menjadi titik temu kepentingan pusat dan daerah untuk menjaga nyawa budaya yang perlahan terkikis modernisasi.
MoU ini bukan sekadar dokumen simbolik. Di baliknya ada sinyal kuat bahwa Sulawesi Tengah tengah memantapkan diri sebagai laboratorium budaya yang hidup. Menteri Kebudayaan Fadli Zon bahkan tak segan menyebut Sulteng sebagai daerah dengan potensi besar dalam pelestarian budaya.
“Kami memilih Sulawesi Tengah karena proaktif melestarikan budaya dan juga memiliki banyak situs budaya, salah satunya tadi Lore Lindu,” ucapnya.
Sorotan terhadap Lore Lindu bukan hal baru, namun pengakuan langsung dari kementerian pusat mempertegas posisi kawasan tersebut sebagai aset nasional. Di sinilah kolaborasi menjadi penting. Tak hanya soal pelestarian, tapi juga pemanfaatan budaya sebagai kekuatan pembangunan.
Anwar Hafid tampak selaras dalam visi tersebut. Dalam pernyataannya, ia menyebut bahwa budaya bukan sekadar warisan, melainkan identitas dan kekuatan bangsa yang harus dijaga secara berkelanjutan.
“Kita tidak boleh kehilangan jati diri sebagai bangsa yang besar karena kekayaan budayanya. Kami di Sulawesi Tengah akan terus berkomitmen menjaga, merawat, dan menghidupkan budaya sebagai pilar pembangunan daerah,” katanya.
Kerja sama yang tertuang dalam MoU meliputi sejumlah program strategis: dari revitalisasi situs budaya, pengembangan komunitas adat, hingga penguatan pendidikan budaya. Bahkan, langkah diplomasi budaya lewat event lokal bertaraf nasional dan internasional ikut masuk dalam skema kerja sama ini.
Namun di luar kerangka program besar, Gubernur menyampaikan bahwa Sulteng sebenarnya telah lebih dulu bergerak. Penguatan kelembagaan budaya, keterlibatan tokoh adat dalam pembangunan, hingga dukungan terhadap inisiatif masyarakat berbasis ekonomi kreatif menjadi fondasi yang sudah dijalankan.
Semangat ini tak lepas dari visi Sulteng Nambaso—gagasan tentang provinsi yang tidak hanya unggul dan sejahtera, tapi juga berkarakter. Di sinilah budaya tidak dilihat sebagai ornamen, melainkan sebagai landasan moral dan spiritual pembangunan.
Kesepakatan ini bisa jadi bukan akhir, melainkan awal dari lembaran baru. Jika dijalankan konsisten, ia bukan hanya akan menghidupkan kembali yang lama, tapi juga memberi makna baru bagi generasi mendatang. ***
