Harapan petani di Kecamatan Bolano Lambunu, Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah untuk kembali menikmati air irigasi yang jernih tampaknya masih jauh dari kenyataan.

Hingga saat ini, bendungan yang menjadi andalan pengairan sawah tetap mengalirkan air keruh, bukan karena hujan, tapi diduga kuat akibat aktivitas tambang ilegal di hulu pegunungan Lambunu.

Kondisi ini bukan fenomena baru. Sudah beberapa tahun terakhir, para petani mengeluhkan turunnya kualitas air. Namun, alih-alih membaik, keruhnya air kini menjadi kondisi normal.

Salah seorang warga yang enggan disebutkan namanya menjelaskan, air yang keruh menyebabkan pupuk tidak terserap sempurna oleh tanaman.

“Hasilnya pun tidak maksimal,” katanya.

Seperti diberitakan sebelumnya, sedikitnya terdapat 10 alat berat yang diduga masih aktif beroperasi di titik-titik sensitif seperti Duyung, Panta Kapal, Gurintang, Cabang 2, Watalemo, hingga Kuala Raja.

Kata sumber, ekskavator lalu-lalang menuju lokasi tambang, nyaris tanpa jeda, meninggalkan jejak lumpur dan kerusakan lingkungan di sepanjang jalur aliran air.

Padahal, sebelum aktivitas tambang marak, air bendungan dikenal jernih dan alami.

“Dulu kalau hujan deras, air memang keruh, tapi paling sehari dua hari. Sekarang, tidak hujan pun tetap keruh,” imbuhnya.

Upaya protes sudah dilakukan. Kelompok tani, IP3A, dua kepala UPTD dari Bolano dan Bolano Lambunu, serta pengamat pengairan DI Lambunu telah menyampaikan aduan resmi ke pemerintah kecamatan dan aparat kepolisian. Respons awal cukup cepat, beberapa penambang dipanggil untuk bertemu warga. Namun, hingga hari ini, tak satu pun dari mereka hadir dalam pertemuan tersebut.

Ketidakhadiran itu kian mempertegas kesenjangan antara suara masyarakat dan kekuatan ekonomi yang dijalankan tanpa kendali. Hingga saat ini, belum ada tindakan tegas dari aparat maupun pemerintah daerah untuk menghentikan aktivitas tambang yang ditengarai ilegal tersebut.

“Kami hanya ingin air kembali jernih seperti dulu,” katanya mewakili petani.

Di tengah gencarnya pemerintah pusat mendorong swasembada pangan, kenyataan ini terasa ironis. Ketika anggaran digelontorkan demi menaikkan produktivitas beras nasional, di sisi lain, sumber daya air, faktor vital dalam pertanian dibiarkan rusak.

Jika pemerintah daerah dan provinsi tidak segera bertindak, ancaman terhadap pertanian Lambunu bisa meluas menjadi krisis pangan skala regional. Swasembada bukan hanya soal semangat, tapi juga perlindungan nyata terhadap sumber daya alam yang menopang kehidupan petani.***