JAKARTAUU Cipta Kerja memiliki tiga tujuan yakni,
menyediakan lapangan kerja sebanyak-banyaknya, memudahkan masyarakat khususnya usaha mikro kecil untuk membuka usaha baru, serta mendukung upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi.

Hal itu dijelaskan Presiden Joko Widodo melalui siaran pers yang di publish Sekretariat Kepresidenan Jumat, 9 Oktober 2020.

Ia mengatakan, adanya unjuk rasa penolakan UU Cipta Kerja dilatarbelakangi oleh disinformasi mengenai substansi dari Undang-Undang ini dan hoaks di media sosial.

Oleh karena itu, Ia meluruskan berbagai disinformasi yang beredar di masyarakat tersebut.

Berikut penjelasan Presiden mengenai berbagai disinformasi itu:

Isu Pertama: Penghapusan UMP (Upah Minimum Provinsi), UMK (Upah Minimum Kabupaten/Kota), dan UMSP (Upah Minimum Sektoral Provinsi).

“Hal ini tidak benar, karena faktanya Upah Minimum Regional (UMR) tetap ada,” kata Presiden.

Isu Kedua: Upah minimum dihitung per jam

“Ini juga tidak benar, tidak ada perubahan dengan sistem yang sekarang. Upah bisa dihitung berdasarkan waktu dan berdasarkan hasil,” ujarnya.

Isu Ketiga: Semua cuti (cuti sakit, cuti kawinan, cuti khitanan, cuti baptis, cuti kematian, dan cuti melahirkan) dihapuskan dan tidak ada kompensasinya.

“Saya tegaskan juga ini tidak benar, hak cuti tetap ada dan dijamin,” tegasnya.

Isu Keempat: Perusahaan bisa mem-PHK kapanpun secara sepihak

“Ini juga tidak benar, yang benar perusahaan tidak bisa mem-PHK secara sepihak,” katanya.

Isu Kelima: Penghapusan amdal (analisis mengenai dampak lingkungan)

“Itu juga tidak benar, amdal tetap ada. Bagi industri besar harus studi amdal yang ketat tetapi bagi UMKM lebih ditekankan pada pendampingan dan pengawasan,” terangnya.

Isu Keenam: Mendorong Komersialisasi Pendidikan

“Ini juga tidak benar, karena yang diatur hanyalah pendidikan formal di di Kawasan Ekonomi Khusus, di KEK,” katanya.

Kemudian, UU Cipta Kerja tidak mengatur perizinan pendidikan, apalagi perizinan untuk pendidikan di pondok pesantren.

“Itu tidak diatur sama sekali dalam Undang-Undang Cipta Kerja ini dan aturannya yang selama ini ada tetap berlaku,” tegasnya.

Isu Ketujuh: Terkait Keberadaan Bank Tanah

Dijelaskan Presiden, bahwa bank tanah ini diperlukan untuk menjamin kepentingan umum, kepentingan sosial, kepentingan pembangunan nasional, pemerataan ekonomi, dan konsolidasi lahan, serta reforma agraria.

“Ini sangat penting untuk menjamin akses masyarakat terhadap kepemilikan tanah, kepemilikan lahan, dan kita selama ini tidak memiliki bank tanah,” tukasnya.

Kedelapan: Resentralisasi kewenangan dari pemerintah daerah ke pemerintah pusat

Ditegaskan Presiden, bahwa pada UU ini tidak dilakukan resentralisasi kewenangan dari pemerintah daerah ke pemerintah pusat.

“Perizinan berusaha dan pengawasannya tetap dilakukan oleh pemerintah daerah sesuai dengan NSPK (Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria) yang ditetapkan pemerintah pusat,” kata Presiden. Hal ini, tambahnya, agar dapat tercipta standar pelayanan yang baik di seluruh daerah. Penetapan NSPK ini nanti akan diatur dalam PP atau peraturan pemerintah.

Selain itu, kata Presiden, kewenangan perizinan untuk nonperizinan berusaha juga tetap ada di pemerintah daerah. Bahkan pemerintah melakukan penyederhanaan dan standarisasi jenis dan prosedur berusaha di daerah.

“Perizinan berusaha di daerah diberikan batas waktu, ini yang penting di sini. Jadi ada service level of agreement, permohonan perizinan dianggap disetujui bila batas waktu telah terlewati,” ujarnya.

Saya perlu tegaskan pula, bahwa Undang-Undang Cipta Kerja ini memerlukan banyak sekali peraturan pemerintah atau PP dan peraturan presiden atau perpres.

Jadi setelah ini akan muncul PP dan perpres yang akan kita selesaikan paling lambat tiga bulan setelah diundangkan.

Kita pemerintah membuka dan mengundang masukan-masukan dari masyarakat. Dan masih terbuka usulan-usulan dan masukan dari daerah-daerah.

Pemerintah berkeyakinan, melalui Undang-Undang Cipta Kerja ini jutaan pekerja dapat memperbaiki kehidupannya dan juga penghidupan bagi keluarga mereka.

Jika masih ada ketidakpuasan terhadap Undang-Undang Cipta Kerja ini, silakan mengajukan uji materi atau judicial review melalui MK.

“Sistem ketatanegaraan kita memang mengatakan seperti itu Jadi kalau masih ada yang tidak puas dan menolak silakan diajukan uji materi ke MK”, pungkasnya. [***]