Sebagai generasi kedua, tantangan dalam beternak broiler tentunya lebih sulit dan kompleks dibandingkan tantangan yang didapat orang tua dahulu. Maka itu, harus mempunyai wawasan terkini dan melek teknologi dalam beternak broiler.

Peribahasa Buah Tidak Jatuh Jauh dari Pohonnya, mungkin cocok disematkan kepada Hary Adam, peternak broiler (ayam pedaging) asal Priangan Timur, Ciamis Jawa Barat. Terjun di bisnis perunggasan, berawal dari magang dan membantu administrasi farm milik orangtuanya. Lalu,timbul ketertarikan dan akhirnya memutuskan menjadi peternak mandiri.

“Awalnya, waktu itu ada tugas kuliah untuk magang. Saya memutuskan magang di farm milik orangtua dengan ikut menyelesaikan administrasi dan membantu mengecek manajemen budidaya farm – farm yang berlokasi di Kawali, Ciamis dan Kota Banjar, Jawa Barat. Rutinitas tersebut dilakukan selama kurang lebih 1 semester,” tutur pria yang akrab disapa Adam ini kepada TROBOS Livestock, seperti dilansir dari Trobos.com

Lalu, setiap libur kuliah pun, ia katakan selalu mengunjungi kandang ayam. Dalam setiap kunjungan selalu memperhatikan tahapan budidaya beternak ayam. Ternyata, ia merasakan ilmu yang didapat dalam budidaya beternak ayamnya masih sedikit, bahkan tidak mencapai 10 persen. “Saya mengetahui 90 persen dari ilmu berbudidaya dari aplikasi yang berjalan di lapangan. Serta harus setiap hari dikandang.”

Setelah lulus kuliah di akhir 2013, ia melihat potensi bisnis perunggasan masih cukup baik. Akhirnya, keinginan untuk beternak ayam pedaging secara mandiri diutarakan kepada orangtuanya. “Mulai beternak ayam pedaging pada awal 2014 populasinya sekitar 10 – 18 ribu ekor dengan open house(kandang terbuka). ” cetusnya.

Tantangan Budidaya Semakin Sulit

Orangtua Adam sudah mewanti-wanti untuk berhati-hati dalam bisnis ayam, karena tantangannya cukup besar. Tetapi, tidak menyurutkan lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Padjajaran Bandung ini untuk beternak broiler. Sebagai generasi kedua, menurutnya harus punya andil dalam bisnis perunggasan kedepan. Apalagi, diberikan keuntungan lebih dalam menjalankan bisnis perunggasannya yang tidak dari nol, karena mempunyai jaringan dan ilmu yang sudah didapat terlebih dahulu dari generasi sebelumnya yaitu orang tua. Sehingga, peluang usaha pun untuk berkembang lebih besar lagi.

“Banyak anak dari temen orangtua yang mempunyai hobi dan terjun untuk usaha lain, diluar bisnis perunggasan. Tetapi, mereka harus berjuang dari nol. Kita sebagai generasi kedua di bisnis perunggasan, bisa mulai tidak dari nol. Sudah dapat 20 atau 30 persen ilmu dalam bisnis perunggasan hasil warisan dari orang tua,” jelasnya.

Namun, diakui Adam sebagai generasi kedua tantangan yang didapat tentunya lebih sulit dan kompleks dibandingkan tantangan yang didapat orang tua dahulu. Maka itu, harus mempunyai wawasan terkini dan melek teknologi. “Kalau dahulu mereka (orang tua) biasanya nyaman dengan open house dan merasa sudah cukup. Sekarang, tidak bisa seperti itu sebagai generasi kedua harus berusaha lebih agar keuntungan yang didapat bisa optimal. Salah satunya dengan efisiensi melalui closed house (kandang tertutup),” tuturnya.

Lanjutnya, skala populasi dalam beternak pun harus ditingkatkan agar dapat bertahan disituasi perunggasan yang semakin sulit. Misalnya, didaerah Ciamis dengan populasi yang sedikit sulit mendapatkan keuntungan yang optimal. Ditambah dengan performa yang kurang maksimal dan rata-rata IP (Index Performance) hanya mencapai 280. “Belum lagi, harga ayam hidup fluktuasinya sangat tajam,” cetusnya.

Melek Teknologi

Setelah bertahan dengan open house selama kurang lebih 3-4 periode, Adam berhenti sejenak beternak broiler. Ia merasa harus merubah pola budidaya agar HPP (Harga Pokok Produksi) lebih rendah dibandingkan harga jual ayam hidup, supaya mendapat keuntungan. “Waktu itu, bertepatan dengan momen Lebaran 2014, saya memasukkan ayam sebelum munggahan. Berharapnya dapat untung, ternyata malah rugi. Harga bagus tidak terealisasi, malah HPP di atas harga pasar. Semenjak itu, saya menyimpulkan tidaklah mungkin mengubah harga pasar. Salah satu cara agar mendapat keuntungan yang optimal dengan efisiensi dalam hal HPP,” papar Adam.

Bisnis broiler saat ini, menurut Adam harus dengan melek teknologi dan mempunyai wawasan terkini dalam berbudidaya. Zaman sudah maju, untuk mendapatkan informasi terbaru pun mudah didapat dan berbeda seperti yang dialami orang tua dahulu. “Saya di usia produktif harus berusaha agar bisnis lebih berkembang, maka untuk hobi pun lebih dikesampingkan juga. Kalau sudah umur 40 ke atas, baru mulai berpikir hobi lagi,” urai pria yang mempunyai hobi otomotif ini sambil tersenyum.

Sambungnya, pada 2015 mulai mencari dan menggali informasi untuk efisiensi budidaya broiler dengan closed house. Akhirnya, ia bertemu dengan peternak broiler asal Tasikmalaya yang menggunakan full closed house, yang hasilnya ternyata jauh dari perkiraan yaitu IPnya mencapai 400. “Saya langsung berbicara dengan orang tua untuk mencari tanah agar membangun closed house dan kemudian bergabung dengan salah satu perusahaan kemitraan,” tukasnya.

Bergabung dengan kemitraan bukan tanpa alasan, Adam meyakini bisnis broiler-nya akan lebih aman karena harga jual sudah dikontrak dan sapronak (sarana produksi ternak) sudah terjamin. “Saya pikir berbagi risiko, saya menanggung produksinya sementara inti menanggung pasarnya,” ungkapnya.

Hingga saat ini, ia mempunyai 3 unit closed house dan 1 unit dalam masa pembangunan. Kandang dibuat 2 lantai dengan ukuran 12 meter x 120 meter, berkapasitas 42 ribu ekor per kandang. Selanjutnya, Adam masih ingin menambah unit closed house-nya. Targetnya sampai akhir 2018, akan ada 8 unit kandang. “Sampai sekarang closed house yang pertama dibangun di Kecamatan Sukadana, Ciamis masih bermitra dengan salah satu perusahaan besar. Sedangkan, kandang lainnya yang terletak di Cijeungjing, Ciamis dikelola secara mandiri,” ujarnya.

Target kedepan

Ia mengakui kondisi perunggasan lebih sulit sekarang dibandingkan 2-3 tahun sebelumnya, terutama harga jual livebird(ayam hidup). Contohnya, harga kontrak yang didapat pada awal bermitra lebih baik dibandingkan harga kontrak saat ini. Sehingga kedepan memang harus mulai tidak hanya berbudidaya, tetapi harus berpikir untuk terjun ke hilirisasi. “Saya mempunyai keinginan untuk mempunyai RPA (Rumah Potong Ayam). Lalu, terus berkembang mempunyai breeding (pembibitan) dan pakan milik sendiri,” ungkapnya.

Hanya, Adam kemukakan target–target kedepan itu harus secara bertahap, tidak bersamaan. Harus mempunyai goal targetnya supaya penambahan usaha tersebut optimal dan tidak hanya sekedar mengembangkan bisnis saja. “Misalnya, saya harus mempunyai populasi dengan jumlah berapa, supaya RPA yang nanti dimiliki berjalan maksimal. Demikian pun dengan breedingdan pakan. Kalau sekarang, dengan jumlah populasi yang dimiliki membangun RPA dan breeding tidak efisien dan efektif. Mungkin dengan jumlah populasi sudah mencapai 500 ribu ekor baru berpikir RPA, setelah itu breeding. Kalau sekarang populasi masih 120 ribu ekor,” jabar pria umur 28 tahun ini.