Bolehkah Penerima Daging Kurban Menjual Dagingnya? Ini Penjelasannya!
Hari raya Iduladha menjadi momen penting bagi umat Islam untuk menunaikan ibadah kurban, sebagai bentuk penghayatan terhadap ketaatan Nabi Ibrahim kepada Allah swt. Penyembelihan hewan kurban yang biasanya berupa sapi, kambing, atau domba, bukan hanya ritual simbolik, melainkan juga wujud solidaritas sosial, karena dagingnya dibagikan kepada mereka yang membutuhkan.
Namun dalam praktiknya, sering muncul pertanyaan. Apakah daging kurban boleh dijual, baik oleh shohibul kurban (yang berkurban), panitia, maupun penerima daging kurban?
Larangan Menjual oleh Shohibul Kurban dan Panitia
Dalam tradisi fikih terutama mazhab Syafi’iyah, hukum menjual bagian dari hewan kurban, termasuk daging, kulit, ataupun bagian tubuh lainnya, jelas tidak diperbolehkan bagi orang yang berkurban. Bahkan menjadikan kulit hewan kurban sebagai pembayaran untuk jagal pun dilarang. Hal ini karena kurban adalah ibadah, dan hasilnya semata-mata untuk keberkahan serta distribusi kepada yang berhak, bukan untuk mendapatkan keuntungan duniawi.
Sebagai wakil dari shohibul kurban, panitia kurban juga terikat pada ketentuan ini. Oleh sebab itu, menjual daging atau kulit untuk keperluan operasional, walau dengan maksud yang masuk akal seperti membeli bumbu atau membayar tenaga kerja, tetap tidak dibenarkan menurut mazhab ini.
Untuk mengatasi persoalan ini, sebagian panitia membuat kebijakan: mewajibkan biaya tambahan bagi shohibul kurban sejak awal, guna menutup biaya operasional. Langkah ini dinilai sah secara fikih, dan bisa mencegah potensi pelanggaran dalam distribusi kurban.
Kelonggaran bagi Penerima Fakir Miskin
Situasi berbeda berlaku bagi para penerima manfaat kurban, terutama mereka yang masuk kategori fakir miskin. Begitu daging kurban diterima, hak kepemilikan sah berpindah kepada penerima. Dengan demikian, mereka memiliki kebebasan untuk mengelola daging tersebut sesuai kebutuhan, termasuk menjualnya jika memang diperlukan.
Dalam kondisi tertentu, misalnya untuk membeli obat, membayar utang, atau memenuhi kebutuhan pokok, menjual daging kurban diperbolehkan. Namun syaratnya, tindakan itu bukan dilakukan untuk tujuan komersial atau mencari laba, melainkan murni karena keperluan mendesak. Ini ditegaskan dalam berbagai literatur fikih, termasuk dalam pandangan ulama seperti Syekh Sa’id bin Muhammad Ba‘asyin dalam kitab Busyral Karim, yang menyatakan bahwa fakir boleh menjual atau memanfaatkan daging kurban secara lebih fleksibel, termasuk menjualnya kepada sesama Muslim.
Pendekatan Mazhab Hanafi: Lebih Longgar
Sementara itu, mazhab Hanafi memberikan kelonggaran yang lebih luas. Bahkan, orang yang berkurban pun dibolehkan menjual daging kurbannya selama hasil penjualan itu disedekahkan. Ini merujuk pada pandangan Imam Abu Hanifah dalam kitab Kifayatul Ahyar, yang menyebutkan bahwa inti dari kurban adalah manfaatnya bagi masyarakat, dan penyaluran bisa dilakukan dalam bentuk uang hasil penjualan jika itu dinilai lebih maslahat.
Namun, pendapat ini tetap minoritas di kalangan mazhab lainnya dan memerlukan pertimbangan konteks serta kesepakatan bersama dalam komunitas pelaksana kurban.
Menjaga Esensi Ibadah dan Hak Penerima
Dalam praktik penyelenggaraan kurban, penting bagi panitia dan shohibul kurban untuk memahami batasan fikih sekaligus memfasilitasi penerima manfaat dengan cara yang tidak memberatkan. Penjualan daging kurban memang dilarang bagi pemberi, namun diperbolehkan bagi penerima miskin dengan alasan yang sah.
Kuncinya terletak pada niat, transparansi, dan tanggung jawab. Dengan pemahaman yang baik, ibadah kurban tidak hanya menjadi ritus keagamaan, tetapi juga perwujudan kepedulian sosial yang berkeadilan.
Sumber: NU Online/Antara

 
													 
			    					 
			    					 
			    					 
			    					 
			    					 
			    					