Mantan Kapolres Ngada Dijerat Pasal Berlapis, Hadapi Ancaman 15 Tahun Penjara
Mantan Kapolres Ngada, FWLS, resmi ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur. Polri memastikan bahwa tersangka tidak hanya menghadapi sanksi etik, tetapi juga jeratan pidana dengan pasal berlapis yang ancaman hukumannya mencapai 15 tahun penjara.
Dalam konferensi pers di Mabes Polri, Kamis (13/3), Karo Penmas Divisi Humas Polri, Brigjen. Pol. Trunoyudo Wisnu Andiko menegaskan, jika Polri berkomitmen menindak tegas setiap pelanggaran, terutama yang melibatkan perlindungan anak.
“Polri tidak akan mentolerir anggota yang melanggar hukum, apalagi dalam kasus yang melibatkan anak-anak. Penanganan kasus ini dilakukan secara profesional dan transparan,” ujarnya.
Jeratan Pasal Berlapis
Berdasarkan hasil penyelidikan, FWLS tidak hanya melakukan pelecehan seksual terhadap tiga anak di bawah umur berusia 6, 13, dan 16 tahun, tetapi juga terhadap seorang perempuan dewasa berinisial SHDR (20). Selain itu, ia juga diduga menyalahgunakan narkoba dan menyebarluaskan konten pornografi anak melalui jaringan dark web.
Atas perbuatannya, FWLS dijerat dengan sejumlah pasal dalam Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) serta Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Beberapa pasal yang dikenakan antara lain:
- Pasal 6 huruf C, Pasal 12, Pasal 14 ayat 1 huruf A dan B, serta Pasal 15 ayat 1 huruf E, G, J, dan L UU No. 12 Tahun 2022 tentang TPKS.
- Pasal 45 ayat 1 junto Pasal 27 ayat 1 UU ITE No. 1 Tahun 2024.
Ancaman hukuman maksimal yang dihadapi tersangka adalah 15 tahun penjara serta denda hingga Rp1 miliar.
Dir Tipid Siber Bareskrim Polri, Brigjen Pol. Himawan Bayu Aji, mengungkapkan, tersangka tidak hanya merekam dan menyimpan konten asusila anak, tetapi juga menyebarkannya.
“Barang bukti berupa tiga unit handphone telah diamankan dan sedang diperiksa di laboratorium digital forensik. Kami mendalami apakah ada jaringan yang terlibat dalam distribusi konten ini,” jelasnya.
Sanksi Etik dan Pemberhentian Tidak Hormat
Selain menghadapi proses pidana, FWLS juga telah menjalani pemeriksaan etik sejak 24 Februari 2025. Sidang Kode Etik Profesi Polri (KKEP) dijadwalkan berlangsung pada 17 Maret 2025 dengan potensi sanksi pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH).
“Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa perbuatan FWLS termasuk kategori pelanggaran berat. Sidang kode etik akan segera digelar,” kata Brigjen Pol. Agus, Karo Wat Prof Divisi Propam Polri.
Kompolnas dan Lembaga Perlindungan Anak Kawal Proses Hukum
Kompolnas memastikan bahwa kasus ini ditangani dengan transparansi dan akuntabilitas. Irjen Pol. (Purn.) Ida Utari dari Kompolnas menegaskan bahwa pihaknya akan terus mengawal jalannya penyidikan.
“Kami ingin memastikan kasus ini berjalan sesuai prosedur hukum yang berlaku. Kompolnas juga mendorong agar sidang kode etik dan proses pidana berjalan paralel tanpa hambatan,” ujar Ida.
Sementara itu, Ketua KPAI Aimariati Solihah menekankan bahwa perlindungan psikososial bagi korban menjadi prioritas. Kementerian Sosial dan Kemen PPPA telah turun tangan untuk memberikan pendampingan kepada korban dan keluarganya.
“Anak-anak korban harus mendapatkan perlindungan maksimal, baik dari aspek hukum maupun psikologis,” ujar Aimariati.
Penegakan Hukum Tanpa Toleransi
Polri menegaskan bahwa seluruh proses penyidikan dilakukan dengan pendekatan scientific crime investigation. Bukti-bukti yang dikumpulkan diuji secara akademis dengan melibatkan berbagai ahli, termasuk psikologi, kejiwaan, dan agama.
“Kami memastikan kasus ini ditangani dengan penuh kehati-hatian dan mengacu pada prosedur hukum yang berlaku, sehingga setiap tindakan tersangka dapat dikonstruksikan sebagai tindak pidana terhadap hak-hak perlindungan anak,” kata Brigjen Trunoyudo.
Dengan kasus ini, Polri kembali menegaskan sikap tegasnya terhadap anggota yang melakukan tindak pidana, terutama yang melibatkan anak-anak. Gubernur Jenderal Listyo Sigit Prabowo juga telah menginstruksikan agar seluruh proses hukum berjalan tanpa intervensi.
“Kami berkomitmen untuk menyelesaikan kasus ini secara profesional, transparan, dan akuntabel. Tidak ada kompromi terhadap pelanggaran hukum, apalagi yang menyangkut perlindungan anak,” pungkas Brigjen Trunoyudo.
Dengan berjalannya proses hukum, masyarakat diharapkan tetap mengawal kasus ini agar keadilan bagi para korban dapat terwujud.***

 
													 
			    					 
			    					 
			    					 
			    					 
			    					 
			    					 
			    					