Kisah Pak Teguh, Satpam UGM yang Berhasil Kuliahkan Putrinya Hingga Gelar Doktor
Haru, bangga dan bahagia campur aduk dirasakan Teguh Tuparman. Bagaimana tidak, satpam Universitas Gadjah Mada (UGM) ini berhasil hantarkan putri sulungnya Retnaningtyas Susanti raih gelar Doktor.
Tyas, demikian Retnaningtyas Susanti biasa disapa. Hari ini ia mengikuti wisuda pascasarja UGM dengan gelar Doktor di Graha Sabha Pramana (GSP), Yogyakarta, Kamis (19/4/2018). Tyas diwisuda bersama 1.369 wisudawan lulusan pascasarjana yang terdiri 1.213 lulusan Magister, 88 Doktor dan 68 Spesialis.
Berseragam satpan warna biru lengkap dengan sepatu boot, Teguh didampingi sang istri dan anak-anaknya, terlihat sumringah saat memasuki GSP menyaksikan putrinya diwisuda.
Teguh mulai bekerja di UGM sekitar 33 tahun lalu. Tahun yang sama saat Tyas lahir ke dunia. Saat itu, Teguh bergabung dengan satuan keamanan UGM yang kini bernama Pusat Keamanan Keselamatan Kesehatan Kerja dan Lingkungan (PK4L).
Diterima kerja di UGM dan lahirnya Tyas. Dua momen itu menurutnya bukanlah suatu kebetulan, namun memang rereki yang sudah diatur Tuhan.
“Saya percaya ini memang sudah rezeki, semua sudah diatur,” ucap Teguh seperti dikutip dari laman UGM.
Dengan bangga dan bahagia, Teguh kemudian menceritakan perjalanan sang putri sampai berhasil menyelesaikan jenjang pendidikan tertinggi di UGM tersebut.
Teguh menceritakan, saat Tyas kecil, ia sering membawanya ke tempat kerja dan mengajaknya ikut berpatroli di akhir pekan. Sembari mengitari fakultas demi fakultas UGM, terbersit keinginan dalam hati Teguh jika suatu hari nanti, ia ingin melihat anaknya bisa mengenyam pendidikan di kampus unggulan tersebut.
“Kan saya kerja di tempatnya orang-orang pintar, jadi saya ingin juga anak saya nanti bisa jadi seperti orang-orang ini,” ujar Teguh.
Impian itu ia coba kabulkan. Setelah anaknya tamat SMA, berbekal impian, Teguh mendukung anaknya yang ingin melanjutkan studi di Prodi Antropologi UGM.
Memang, bukan hal mudah baginya, mengumpulkan biaya kuliah di samping memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarga dengan gaji terbatas.
“Dulu ya harus korban moril dan materil, hutang sana sini. Tapi saya yakin kalau uang itu digunakan untuk hal yang baik nanti akan ada penggantinya. Dan nyatanya sampai sekarang kami bisa hidup cukup, dan empat anak kami semua kuliah,” tuturnya.
Benar saja, berkat dukungan penuh orang tua, Tyas mampu menyelesaikan jenjang S1-nya dalam waktu 3,7 tahun. Sebelum akhirnya bekerja sebagai peneliti di Pusat Studi Kebijakan dan Kependudukan (PSKK) UGM.
Seiring berjalannya waktu, kecintaannya terhadap penelitian yang ia tekuni menumbuhkan impian di dalam dirinya untuk berprofesi sebagai dosen. Dua tahun setelah ia lulus dengan gelar Sarjana, ia memutuskan untuk melanjutkan studi S2, dengan membiayai sendiri kuliahnya.
Berbagai pekerjaan sampingan pernah ia lakoni demi mencari penghasilan tambahan, mulai dari bekerja di warung kopi, hingga berjualan.
“Saya masih ingat dulu sering berjualan salak di depan sini,” kata Tyas sembari menunjuk salah satu sudut di sisi selatan UGM.
Kerja kerasnya berbuah manis. Pada 2011, ia berhasil menyandang gelar master di bidang pariwisata, gelar yang membuka jalan baginya untuk memulai profesi dosen di Universitas Andalas Padang. Pada tahun 2013, ia pun kembali lagi ke Jogja untuk studi S3 dengan beasiswa BPPDN Dikti.
Teguh, melihat Tyas diwisuda ketiga kalinya, tak ada lagi yang diharapkannya dari sang putri. Namun bagi Tyas, keberhasilannya meraih gelar Doktor justru menambah satu impian untuk orang tuanya, “Saya ingin bapak dan ibu melihat saya dikukuhkan sebagai guru besar suatu hari kelak,” harapnya. Source: Rilisid
[related-content]

 
													 
			    					 
			    					 
			    					 
			    					 
			    					