Warning: Undefined variable $args in /home/infopena/public_html/wp-content/themes/liputanwp/inc/shortcode-bacajuga.php on line 56

Sudah 10 tahun aku berumah tangga. Usiaku kini menginjak 30 sedang istri 26 tahun. Kami tinggal di kampung dengan kehidupan yang begitu sederhana bersama tiga buah hati yang menyejukkan mata. Aku Arman, dan istriku Salimah.

Selama satu dasawarsa pernikahan telah terjalin hubungan yang baik: aku dan istri saling memahami dan pengertian. Nyaris tidak ada pertengkaran atau percekcokan, kalaupun ada itu hanya perselisihan kecil yang tak begitu berpengaruh dalam keharmonisan rumah tangga.

Namun, goncangan terjadi menjelang tahun ke sebelas pernikahan. Beberapa bulan lalu, ibunda Salimah atau mertuaku meninggal dunia. Sebagai anak bungsu yang paling dekat dan sangat menyayangi sang ibu, istriku benar-benar terpukul. Tentu saja ini membawa dampak besar pada mahligai cinta yang telah dibangun bertahun-tahun lamanya.

Salimah menjadi pendiam dan murung, dia seolah kehilangan semangat dan harapan, keceriaan dan kebahagiaan dalam rumah mulai terkikis.

Kesedihan semakin bertambah saat aku di-PHK tanpa tahu apa sebabnya. Memang, aku hanya seorang satpam di sebuah perusahaan, tapi itu sudah cukup membantu sebagai pemasukan dan biaya hidup sehari-hari.

Duka semakin menjadi saat ekonomi keluarga terpuruk, rumah tangga mengalami masa masa kritis, keramahtamahan dan keakraban di antara kami kian memudar. Tapi dalam kondisi seperti ini, aku dan istri tetap aktif di pengajian.

Yah, keluargaku–orang tua–cukup mengerti tentang agama walau bisa dikatakan masih berpegang pada pemahaman tradisional: dalam arti menggabungkan nilai-nilai Islam dengan adat istiadat.

Beberapa tahun terakhir ini aku bersemangat mendalami agama, mengikuti pengajian dan majelis ilmu yang ada di kampung. Hingga sedikit banyaknya mulai paham tentang Islam yang baik dan benar sesuai dengan pemahaman ahlu sunnah wal jamaah.

Suatu ketika dalam sebuah pengajian yang kami ikuti, seorang ustadz menyuguhkan materi tentang poligami. Aku dan istri cukup kaget setelah mengetahui bahwa pembahasan ini begitu kompleks.

Sejauh pengetahuanku, Islam memang membolehkan seseorang beristri lebih dari satu dengan syarat mampu berlaku adil, tapi ternyata tidak demikian adanya. Ada banyak hal-hal lain yang juga harus dipenuhi: seperti kecukupan harta, nafkah batin, dsb. Selain itu, hukum poligami pun beragam tergantung situasi dan kondisi seseorang.

Usai pengajian dan pulang di rumah. Kami masih membicarakan topik sensitif ini. Herannya, istriku terlihat senang membahasnya. Biasanya, kebanyakan wanita akan terlihat cemberut bahkan emosi saat bersinggungan dengan poligami.

“Kalau aku dipoligami gimana ya?” ucap istriku tiba-tiba. Aku terkejut mendengarnya.

Sama sekali tak terlintas di benakku untuk berpoligami. Bahkan memikirkan saja tak mau. Apalagi perekonomian keluarga sedang surut, melakukan hal tersebut sangat tidak mungkin.

“Memangnya kamu mau?” balasku.

“Nggak tau. Aku hanya membayangkan hidup bersama suami dan maduku,” jawabnya sambil tersenyum dan tersipu.

***

Dua bulan berlalu sejak pembahasan itu, tiba-tiba datanglah seorang wanita berpakaian syar’i ke rumah kami, usianya sekitar 34 tahun. Sebuat saja namanya Ratna.

Kurang lebih dua jam dia mengobrol bersama istriku di dalam kamar. Sedang aku duduk di ruang tamu membaca sebuah majalah. Mereka benar-benar terdengar begitu akrab: saling canda dan tawa bersama. Seolah telah berteman lama, padahal ini kali pertama bertemu.

Beberapa saat kemudian wanita itu pun berpamitan. Sepeninggalnya, tiba-tiba istriku menghambur ke arahku dengan wajah cerah dan sumringah.

“Habis menang arisan?” tanyaku heran.

“Nggak, Mas. Lagi senang aja.”

“Senang kenapa?”

“Mas sayang nggak sama aku?”

“Kok tanya begitu. Ya sayang dong.”

“Begini …” Istriku menggantung ucapannya. “Tapi janji Mas nggak marah ya …”

“Apa dulu?”

“Pokoknya janji nggak marah baru aku kasih tau.”

“Iya … iya janji.”

“Begini, Mas. Menyambung obrolan kita waktu itu … sepertinya aku akan mewujudkannya.

“Maksudnya?” Tiba-tiba hatiku gamang dan aneh. Dadaku berdebar-debar.

“Bagaimana kalau Mas menikahi Mbak Ratna yang tadi bertamu ke sini?”

Aku terdiam.

“Dia masih gadis, Mas. Belum menikah sampai sekarang. Aku ingin, Mas menikahinya untukku.”

“Maksudmu?” Aku ingin memastikan apa yang baru kudengar.

“Ya aku mau Mas berpoligami, tapi hanya dengan Mbak Ratna bukan dengan yang lain.”

Aku terbungkam dan bengong, terdiam seribu bahasa, mataku berkunang kunang. Aku tak bisa menjawab apa apa. Permintaan istriku begitu tiba tiba. Dan mungkin, terdengar tidak masuk akal.

“Adinda … lihat ekonomi kita sedang begini. Dalam kondisi normal saja, kita hanya hidup pas pasan bahkan kadang kekurangan. Bagaimana mungkin aku bisa menambah istri lagi?”

Aku memang sudah bekerja kembali sebagai satpam, tapi di perusahaan yang lebih kecil. Tentu saja penghasilannya lebih kecil pula.

“Ah, Mas tak perlu khawatir perihal itu. Kami telah membahasnya. Mbak Ratna seorang wanita mandiri. Dia bahkan sudah memiliki mini market. Mas bisa mengelolanya setelah menikah nanti. Tapi bukan berarti aku mau dimadu karena materi darinya loh, Mas. Aku hanya merasa cocok dan ingin berbagi dengannya.”

Aku masih terbungkan. Hingga istriku bertanya bagaimana pendapatku, aku memintanya untuk menunggu esok hari. Sungguh, aku tengah kebingungan. Pikiranku blank.

Malamnya aku tak bisa memejamkan mata sedikit pun. Di sepertiga malam aku bersujud kepada Allah meminta petunjuk. Memanjatkan doa dan meminta diberi pilihan yang terbaik.

Pagi harinya aku mengajak istri menemui orang tuaku dan orang tuanya. Kuceritakan permintaan istri kepada mereka. Di luar dugaan, semuanya setuju.

Karena diberi lampu hijau, aku merasa ringan hati menerima tawaran istri, lalu menikahi Ratna.

Kini aku beristri dua. Dan itu terjadi di saat aku sama sekali tak mengingikannya.

Setelah menikahi Ratna aku menyadari satu hal, bahwa dia menjadi obat bagi istriku yang kehilangan ibunya. Ratna seolah menjadi pengganti—walau dalam bentuk yang berbeda—setidaknya telah membangkitkan semangat dan keceriaan istriku kembali.

Semenjak itu pula, rumah tangga kami semakin marak dan meriah. Istriku bahkan nampak lebih bahagia dari sebelumnya: saat kami hanya hidup berdua.

Aku pun tak lagi bekerja sebagai satpam, karena mengelola minimarket milik istri keduaku. Alhamdulillah, semua berjalan baik.

Aku tak menyarankan poligami kepada pembaca sekalian karena setiap orang memiliki situasi dan kondisi berbeda. Tapi ketahuilah, setiap sesuatu yang ditetapkan Allah pasti ada hikmah yang luar biasa.

Sumber: kisahislam.net/aku-wanita-yang-di-poligami