Komentar penyiar radio Kim Shin-young dalam program MBC FM4U ‘Kim Shin-young’s Hope Song at Noon’ memicu perdebatan luas tentang keberadaan idola virtual di dunia hiburan. Dalam siarannya pada 16 Februari 2025, ia sempat meragukan peran PLAVE sebagai grup idola, yang kemudian menuai kritik tajam dari penggemar.

PLAVE adalah boy group virtual beranggotakan lima orang yang menggunakan teknologi animasi 3D canggih. Keberadaan mereka sebagai grup idola berbasis digital menunjukkan evolusi industri hiburan Korea Selatan, di mana teknologi dan musik kini semakin terintegrasi.

Namun, meskipun PLAVE telah membangun basis penggemar yang kuat, mereka masih menghadapi tantangan dari pihak yang skeptis terhadap konsep idola virtual.

Kontroversi dan Permintaan Maaf Kim Shin-young

Komentar Kim Shin-young yang dianggap meremehkan PLAVE langsung memicu protes dari penggemar. Forum daring acara radionya dibanjiri tuntutan agar ia mengundurkan diri sebagai DJ, meskipun beberapa pihak menilai kritik tersebut terlalu berlebihan.

Dalam siarannya pada 17 Februari 2025, Kim Shin-young meminta maaf dan mengakui bahwa ia gagal membaca perubahan zaman.

“Saya bodoh dan bersikap kasar. PLAVE telah bekerja keras sejauh ini, dan saya seharusnya lebih menghargai itu. Saya menyesal telah mengecewakan penggemar mereka,” ujar Kim Shin-young mengutip Entertain.naver.

Sebagai bentuk permintaan maaf, ia membuka acara radionya dengan memutar lagu “I’ll Wait” dari PLAVE.

Tantangan dan Masa Depan Idola Virtual

PLAVE bukan satu-satunya grup virtual yang hadir di industri musik. Konsep idola digital sudah berkembang di berbagai negara, termasuk Jepang dan Amerika Serikat. Namun, tantangan mereka di K-Pop masih besar, mengingat industri ini sangat mengedepankan interaksi langsung antara idola dan penggemar.

Keberadaan grup seperti PLAVE memicu diskusi lebih luas tentang apakah idola virtual bisa benar-benar sejajar dengan artis manusia. Beberapa pihak menganggap mereka sebagai revolusi industri hiburan, sementara yang lain masih mempertanyakan keaslian dan daya tarik mereka dibandingkan idola konvensional.

Namun, dengan kemajuan teknologi dan semakin luasnya penerimaan terhadap kultur digital, idola virtual bisa menjadi bagian dari industri hiburan masa depan, seiring dengan meningkatnya konsumsi konten berbasis metaverse dan kecerdasan buatan. (Rfi)