JAKARTA — Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Rudiantara mengatakan pemerintah bakal kembali melakukan pemantauan media sosial masyarakat jelang sidang Mahkamah Konstitusi (MK) terkait sengketa Pilpres 2019. Namun demikian Rudiantara belum mengonfirmasi apakah akan melakukan pembatasan media sosial seperti sepanjang aksi 21 dan 22 Mei.
“Kami monitor terus. Kami berharap tidak ada eskalasi di dunia maya,” kata Menkominfo Rudiantara di acara silaturahmi Idul Fitri di daerah Widya Chandra, dilansir CNN Indonesia, Rabu (5/6).
Diketahui, Pemerintah sempat memberlakukan pembatasan akses ke sejumlah media sosial setelah aksi massa pada 22 Mei berubah menjadi kericuhan. Pembatasan akses media sosial dipicu maraknya unggahan dan unduhan konten foto dan video di beberapa platform media sosial selama 22-25 Mei.
Menkominfo melaporkan, pada periode tersebut, ditemukan sekitar 600 hingga 700 URL baru setiap hari yang menyebarkan konten negatif.
“Bukan hanya hoaks, kalau hoaks itu berita tidak benar. Tapi juga (konten) yang sifatnya adu domba,” kata Rudiantara.
Akibat maraknya konten negatif tersebut, kata dia, Kominfo akhirnya memutuskan untuk membuka kembali akses ke media sosial seperti semula. Ini dilakukan setelah jumlah URL berisi konten negatif menurun secara signifikan pada hari keempat, menjadi 300an URL.
Setelah akses ke media sosial pulih, menurut Rudiantara, URL berisi konten negatif turun menjadi sekitar 100.
Pembatasan akses pada 22 Mei lalu tidak hanya berlaku untuk media sosial, namun, juga platform pesan instan WhatsApp, pengguna tidak bisa mengirim pesan gambar dan video pada periode tersebut.
Keputusan pembatasan juga berlaku di pesan instan didasari temuan hoaks dan konten negatif lainnya juga menyebar luas melalui platform tersebut. Misalnya, seseorang membuat akun palsu demi bisa mengunggah konten, membuat tangkapan layar (screenshot) konten tersebut, lalu menyebarkannya lewat pesan instan.
Kominfo juga berkoordinasi dengan penyedia platform tersebut untuk mengatasi sebaran konten negatif. Rudiantara mencontohkan platform WhatsApp menutup sekitar 60.000 nomor yang menyebarkan konten negatif, sejak sebelum peristiwa 22 Mei hingga hari terakhir pembatasan akses ke media sosial.
Rudiantara mengklaim langkah tersebut mereka ambil bukan hanya atas permintaan Kominfo. Menurutnya, tindakan itu juga dilakukan karena melanggar kebijakan platform tersebut.
Jika Media Sosial Dibatasi, Demokrasi Benar-Benar Mundur
Dilansir dari Rmol.id, Pakar Komunikasi Politik Universitas Paramadina, Hendri Satrio mengatakan, seharusnya pemerintah lebih fokus pada menjaga marwah MK serta menjaga situasi agar kondusif.
“Sebetulnya negara konsentrasi saja untuk tidak mengintervensi MK, menjaga marwah MK dan tetap menjaga situasi agar kondusif. Tidak perlu membatasi-membatasi akses informasi yang dimiliki oleh masyarakat,” ucap Hendri Satrio kepada Kantor Berita RMOL, Kamis (6/6).
Hensat, sapaan Hendri, juga menuntut pemerintah untuk mencari cari supaya kondisi di tengah masyarakat tetap tenang.
“Saya rasa itu paling penting karena membatasi informasi untuk masyarakat itu adalah sebuah kemunduran demokrasi. Nah solusinya harus dicari oleh pemerintah dari sekarang bagaimana caranya supaya kondisi tetap kondusif,” paparnya.
Jika tetap membatasi akses media sosial untuk masyarakat, lanjutnya, pemerintah bisa dianggap melakukan kebijakan yang menyimpang.
“Kalau hanya batas-membatasi sih menurut saya sebuah kebijakan yang sangat berbau militeristik ya. Jadi justru bukan kebijakan yang membawa marwah demokrasi, itu menurut saya PR-nya,” katanya.
Oleh karenanya, tugas ini seharusnya menjadi PR besar untuk diselesaikan oleh Joko Widodo yang saat ini masih menjabat Presiden.
“Sekarang Jokowi kan punya jaket tiga nih, sebagai capres, kepala pemerintahan, dan kepala negara. Menjaga kondisi tetap kondusif itu adalah tes ujian untuk Jokowi sebagai kepala negara, kita sama-sama lihat nih bagaimana level leadershipnya seorang Jokowi, saya sih yakin beliau bisa,” tandasnya. [***]
Komentar