JAKARTA – Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat, kembali menyentuh angka Rp15.000. Rupiah semakin melemah di level itu, sejak 3 Oktober dan hingga 5 Oktober 2018, karena menyetuh level di atas Rp15.100 per dolar AS.
Data kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) Bank Indonesia, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, Jumat 5 Oktober 2018, rata-rata menyentuh level Rp15.182 per dolar AS, atau melemah dari perdagangan Kamis 4 Oktober, yang berada di level Rp15.133 per dolar AS.
Melemahnya rupiah terhadap dolar AS kali ini, diperkirakan berlangsung cukup panjang, mengingat sejumlah investor global terlihat memilih untuk berinvestasi di AS, karena dorongan membaiknya kondisi ekonomi negara itu.
Hal itupun diakui Menteri Koordinator Perekonomian, Darmin Nasution yang menyatakan bahwa gejolak nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, belum bisa mereda hingga tahun depan ataupun tahun-tahun berikutnya.
Menurutnya, gejolak perekonomian global yang cenderung semakin memburuk dan terus memengaruhi nilai tukar rupiah, di antaranya kondisi perekonomian AS yang membaik hingga perang dagang yang justru semakin intensif.
“Ekonomi Amerika, entah bagaimana itu memang bagus, heran kita ya kan. Yang kedua, kelihatannya perang dagang ini sudah enggak bisa direm. Ini akan jalan dan semakin ngena,” kata Darmin, saat ditemui di Kementerian Keuangan, Jakarta, Jumat 5 Oktober 2018.
Darmin menuturkan, semakin sulitnya meredakan pelemahan nilai tukar dalam waktu dekat ini, juga karena setiap negara mengembangkan strategi yang bercabang-cabang untuk menarik dolar masuk ke negaranya.
Untuk itu, dia memprediksi, karena faktor eksternal itu, maka hingga tahun depan ketidakpastian global masih berlangsung. Kecuali, perubahan terjadi setelah mid-term election di AS selesai dilaksanakan.
“Sehingga, situasi ini, ketidakstabilan global itu enggak bisa dihindari, itu akan jalan terus. Malah, kalau tadinya dibilang paling kuartal satu tahun depan, kayaknya enggak. Jadi, semakin runyam, semakin ruwet, sehingga kalau kita lihat mid-term election selesai, apa Trump (Donald Trump, presiden AS) masih begitu itu kita belum tahu,” ujarnya.
Ekonomi AS pulih tapi rapuh
Senada dengan Darmin, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengungkapkan, salah satu penyebab melemahnya nilai tukar rupiah adalah akibat dari berlanjutnya polemik perdagangan antara Amerika Serikat dan Tiongkok.
Tak sampai di situ, semakin loyonya rupiah pada dolar AS, juga didorong sejumlah sentimen geopolitik di sejumlah negara Eropa, yang ikut menjadi pemicu pola pelemahan rupiah beberapa waktu belakangan ini.
“Ada sejumlah faktor geopolitik, apakah di Eropa maupun di tempat lain, yang memengaruhi perkembangan nilai tukar,” kata Perry d ikantornya, kawasan Thamrin, Jakarta Pusat, Jumat 5 Oktober 2018.
Perry menuturkan, rupiah yang semakin melemah, juga banyak dipengaruhi oleh sentimen risk on dan risk off, terkait profit taking para investor di pasar keuangan.
“Sentimen risk off dalam beberapa hari terakhir, ternyata mampu menekan nilai tukar rupiah,” ujarnya.
Selain itu, kenaikan suku bunga obligasi 3,23 persen dari Pemerintah AS, ternyata sanggup membuat lapangan kerja mereka tumbuh lebih besar dari perkiraan.
“Hal ini menunjukkan bahwa ekonomi Amerika Serikat menguat, dan karena itu, lagi-lagi dalam kondisi ini investor global lebih preference untuk investasi di sana,” katanya.
Namun, Perry memastikan, meski tekanan penguatan ekonomi AS menguat, kondisi AS sendiri masih penuh ketidakpastian. Sebab, langkah yang dilakukan oleh Pemerintah Trump dinilai di luar batas ekonominya.
Salah satu yang menjadi perhatian pasar, lanjut Perry adalah terkait upaya menggenjot ekonomi AS dengan menggunakan kapasitas fiskal AS yang melebihi output-nya dan tidak diimbangin negara-negara maju lainnya.
“Trump genjot fiskalnya pada saat ekonominya di atas kapasitas. Sehingga, menimbulkan ketidakpastian, loh jangan-jangan overheating, nyungsep. Ini yang menjadi ketidakpastian, dia tumbuh sendiri yang lain enggak. Bahkan 2020 diperkirakan jatuh,” tuturnya.
Dampak ke APBN dan perbankan?
Sementara itu, melemahnya rupiah hingga menembus di atas Rp15.100 per dolar AS dipastikan tak banyak berdampak ke Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, Suahasil Nazara mengungkapkan, APBN yang sudah dirancang saat ini mampu mengatasi dampak dari pelemahan rupiah yang sudah terjadi dalam beberapa waktu ini.
Bahkan, menurutnya, setiap pelemahan rupiah terhadap dolar AS, dampaknya akan memengaruhi besaran penerimaan negara yang akan jauh lebih besar ketimbang dari pengeluaran negara.
“Dampaknya terhadap APBN, sudah sering disebutkan oleh Bu Menteri (Menteri Keuangan Sri Mulyani) beberapa kali, yakni setiap rupiah mengalami pelemahan, pendapatan meningkat, dan pengeluaran juga meningkat. Tetapi, efek selanjutnya pendapatan meningkat lebih tinggi dari pengeluaran,” kata Suahasil, saat ditemui di Gedung BI, Jakarta, Kamis 4 Oktober 2018.
Sedangkan menembusnya nilai tukar rupiah di atas Rp15.100 per dolar AS, dinilai Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tak perlu dikhawatirkan pengaruhi kondisi perbankan di Indonesia.
Sebab, kondisi perbankan Indonesia saat ini memiliki catatan statistik, yang menunjukkan aspek ketahanan yang tinggi terhadap dinamika kenaikan suku bunga.
“Pihak perbankan kan, nyatanya tidak menaikkan 100 persen sektor peminjaman. Jadi, sebenarnya kredit masih menggeliat,” kata Ketua Dewan Komisioner OJK, Wimboh Santoso Wimboh di kantornya, Kamis 4 Oktober 2018.
Dia pun menegaskan, untuk saat ini kondisi perbankan nasional masih baik-baik saja, dengan capaian kredit 12,12 persen per Agustus 2018, serta peningkatan pertumbuhan kredit di atas 13 persen di akhir tahun.
Tak hanya itu, Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia, Mirza Adityaswara menjelaskan tak perlu dikhawatirkannya kondisi pelemahan rupiah terhadap kondisi perbankan juga bisa dilihat dari amannya supply dan demand.
D imana, kata dia, capital adequacy ratio (CAR) masih sangat strong di atas 20 persen, atau di atas batas minimum internasional CAR, yaitu sebesar 8,5 persen.
CAD harus segera turun
Melemahnya rupiah terhadap dolar yang diperkirakan berlangsung jangka panjang tentunya harus segera di atasi dengan sejumlah langkah cepat dan kongkrit oleh pemerintah.
Pengamat Ekonomi dari PT Bank Central Asia Tbk, David Sumual mengatakan, dapat bertahan tidaknya ekonomi Indonesia dalam periode ketidakjelasan ini tergantung dari upaya pemerintah mengurangi masalah dalam negeri.
Menurut dia, masalah yang masih menjadi perhatian para investor global terhadap ekonomi Indonesia adalah masih tingginya defisit transaksi berjalan yang masih di atas 2,5 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB)
“Jadi, tergantung kita juga makanya, kita harus melakukan penyesuaian juga, adaptasi dengan kondisi ini. Ya, itu bagaimana menurunkan level dari defisit transaksi berjalan,” tegas David kepada VIVA.
Dia mengungkapkan, penurunan defisit itu harus bisa dilakukan lebih cepat di periode penyesuaiaan itu. Sehingga, diharapkan defisit dapat turun di bawah dua persen dari PDB pada tahun depan.
“Kalau masih lebih tinggi dari yang sekarang, saya khawatir gejolaknya bisa memicu rupiah lebih dalam lagi. Jadi, sebaiknya pemerintah harus fokuskan hal itu lebih dahulu,” ujarnya.
Sumber: Viva.co.id
Komentar