Namanya Mece (26) adalah anak salah satu korban pembantaian bernama Naka. Ia menyaksikan langsung ketika ayahnya ditikam lalu digorok di Desa Lemban Tongoa, Kecamatan Palolo, Kabupaten Sigi.
Berikut dilansir Infopena.com dari Laporan Miftahul Afdal di SultengNews.com
Rasa penasaran terus menyelimuti benak seiring dengan beredarnya berbagai kabar secara liar di Media Sosial (Sosmed) terkait dengan pembantaian terhadap keempat warga yang dilakuakan Orang Tak Dikenal (OTK) di Dusun Lewono, Desa Lemban Tongoa, Kecamatan Palolo, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, pada Jumat (27/11/2020) sekira pukul 08.30 Wita.
Rasa penasaran itu, menuntun langkah pergi ke tempat kejadian itu untuk melihat langsung lokasi dan bisa mendapatkan keterangan langsung dari keluarga korban pembantaian itu.
Setelah membuang rasa takut dan khawatir, saya pun memutuskan untuk menuju lokasi pembantaian itu, agar bisa mendapatkan informasi akurat sekaligus menghilangkan rasa penasaran yang terus saja menghantuai.
Sekira pukul 12.30 Wita, bersama dua orang teman lainnya, kami berangkat menuju Desa Lembantongoa dengan mengendarai sepeda motor menempuh perjalanan yang cukup jauh dan menantang.
Setelah menikmati perjalanan 3 jam lamanya, kami sampai di Kecamatan Palolo. Sesekali kami berhenti untuk menanyakan letak Desa Lembantongoa dari warga yang kami temui. Setelah diberitahu arah jalan menuju ke itu, kami melanjutkan perjalanan. Tak lama kemudian, kami pun sampai di lorong kecil sesuai dengan penuturan warga sekitar yang merupakan jalan menuju ke Desa Lembantongoa.
Dengan mengucapkan Basmallah dan membuang keraguan, kami memasuki lorong dan tancap gas di tanjakan berbeton yang lebarnya berkisar 2 meter lebih itu. Kami mengira sepanjang perjalanan jalur yang dilalui semuanya di beton. Namun, di tengah perjalan rupanya kondisi jalan selanjutnya masih berupa tanah dan banyak bebatuan.
Letak Desa Lembantongoa yang berada di pedalaman gunung, membuat kami tertantang untuk melanjutkan perjalanan itu hingga sampai ke desa yang dituju, sebab jika pulang sudah rugi karena sudah menempuh perjalanan lebih dari tiga jam.
Setelah menempuh perjalanan masuk ke pegunungan kurang lebih 8 kilo meter dari jalan trans, kami pun tiba di Desa Lembantongoa. Setibanya di desa itu, kami melihat dari jauh kerumunan warga yang berada di pemakaman umum tempat dikuburnya keempat warga yang dibunuh OTK itu.
Kami lalu menuju rumah duka yang jaraknya tak begitu jauh dari pemakaman umum itu. Kami langsung bersilahturahmi dengan sejumlah warga yang ada di rumah duka itu. Tak lama kemudian, melintas seorang perempuan berambut merah berjalan dengan terpincang-pincang. Perempuan itu mengenakan baju lengan pendek kuning, juga sarung melingkar di badannya serta celana unggu sampai tumiit kakinya. Perempuan itu bernama Ulin, yang merupakan istri salah satu korban bernama Pino.
Seketika semua pandangan mata tertuju padanya, terlihat jelas raut wajah murung seolah menyisahkan trauma yang begitu mendalam atas kematian suaminya. Ulin sendiri adalah anak dari Yasa yang juga ikut dibunuh oleh OTK. Saat peristiwa pembunuhan itu, Ulin bersama anak bungsunya sempat melarikan diri kehutan untuk menyelamatkan diri.
Ulin melarikan diri ke hutan sekira pukul 08.30 saat pembantaian itu terjadi. Ulin berada di hutan bersama anaknya kurang lebih 8 jam. Dia baru keluar dari hutan sekira pukul 17.00 Wita, setelah didatangi aparat kepolisian dan pemerintah desa setempat.
Saat kami sedang berbincang dengan Ulin, tak berapa lama kemudian muncul lagi seorang perempuan yang membawa kopi untuk disuguhkan kepada kami. Perempuan itu bernama Mece (26) yang merupakan anak dari korban bernama Naka. Dia menghampiri kami dengan senyuman, namun dibalik senyum itu, tampak kesedihan yang mendalam atas musibah yang dialami ayahnya. Matanya masih terlihat jelas bengkak, karena terus meneteskan air mata atas kematian ayahnya.
Saat peristiwa pembantaian itu terjadi, Mece melihat langsung ayahnya di tikam dan digorok lehernya oleh salah seorang OTK yang berambut gondorong.
“Saya liat papaku dibunuh, lansung ditusuk papaku. Setelah itu, diiris (digorok) lehernya. Orang itu rambutnya Panjang dan lurus,” ucapnya Mece dengan nada lirih.
Menurut kesaksian Mece, OTK itu berjumlah enam orang dengan memakai pakaian loreng nampak seperti seragam tentara dan menggunakan penutup wajah.
“Seperti petugas (Tentara) modelnya mereka, mereka pakai topeng,”sebutnya.
Mece adalah saksi hidup atas pembantaia keji itu, karena melihat langsung dengan mata kepalanya saat peristiwa terjadi. Peristiwa menyedihkan itu, mengakibatkan trauma mendalam kepada Mece, sehingga dia tak sanggup berbicara Panjang atas peristiwa yang disaksikannya itu, karena terus teringat ayahnya yang digorok lehernya itu.
“Saya belum bisa bicara banyak, karena masih trauma. Kalau mau cerita lagi nanti taingat dengan kejadian itu, tidak sanggup saya ingat ulang,” ujarnya pilu dan tak melanjutkan lagi ceritanya.
Saat ini keluarga keempat korban pembantaia itu mengungsi di rumah salah seorang kerabat mereka bernama Joana (52). Dia bersedia menanmpung 7 Kepala Keluarag (KK) itu, sampai situasi di tempat tinggal mereka di Dusun Lewono kembali kondusif.
“Sementara ini, mereka tinggal di rumah saya,” katanya.
Joana menuturkan, pada umumnya mereka yang bertempat tinggal di Dusun Lewono tempat pembantaian itu, memiliki ikatan kekeluargaan karena mereka merupakan To Da’a atau orang Da’a yang merupakan salah satu sub suku Kaili. Jarak dusun Lewono dari Desa Induk Lembantongoa, berkisar 10 kilometer mendaki ke arah puncak yang merupakan lokasi kejadian pembantaian itu.
Joana berharap agar kemanan di desanya lebih diperketat, karena dari kejadian yang menimpa kerabatnya itu membuat warga sekitar merasa takut pergi ke kebunnya.
Kepala Desa Lembantongoa, Dekis Basalulu yang ditemui di rumahnya sekira pukul 17.00 Wita menuturkan, kenyataan yang terjadi di desanya itu benar adanya. Empat warganya dibunuh secara sadis oleh OTK, serta 7 rumah ikut dibakar, 4 rumah diantaranya hangus rata dengan tanah dan 3 rumah lainnya hanya pada bagian dapur saja yang terbakar.
Salah satu dari rumah yang dibakar itu, juga biasa ditempati ibadah warga setempat dan bukan merupakan Gereja.
“Kenyataannya dari 4 warga yang dibunuh itu, 1 orang warga putus kepalanya dan 3 orang warga lainnya masih utuh. Bahkan, 7 rumah dibakar dan 4 rumah yang rata tanah, sementara 3 rumah bagian dapur terbakar, termasuk rumah kelompok kebaktian. Jadi bukan gereja,” tuturnya.
Sebagai pemerintah desa, Dekis mengklarifikasi beredarnya kabar pembakaran Gereja. Dia mengatakan tidak benar adanya pembakaran gereja, karena di Dusun Lewono terdapat 10 Kepala Keluarga (KK) jemaat Nasrani, sehingga tidak ada gereja.
Karena jarak dusun Lewono ke desa induk sekitar 10 kilo meter, sehinga warga dusun membentuk kelompok untuk melakukan peribadatan di rumah salah seorang warga, karena sangat jauh berjalan kaki ke gereja di Desa Induk.
“Jadi jangan sampai masyarakat terprovokasi, karena itu bukan Gereja. Saya sebagai pemerintah desa meluruskan hal tersebut, karena itu merupakan pos kebaktian bukan gereja,” ucapnya.
Dekis menerangkan, sesuai pengakuan dari saksi mata, OTK itu memakai pakaian dinas seperti seragam tentara. Warga mengira para OTK itu petugas keamanan, korban bernama Naka sempat menerima mereka di rumahnya. Sialnya, OTK tersebut bukan merupakan tentara.
“Padahal, Naka disegani oleh masyarakat disekitar situ. Karena dia mengira itu petugas, sehingga Naka tidak punya persiapan sama sekali, maka terjadilah hal seperti itu (pembunuhan),” terangnya.
Kades Lembantonga itu mengatakan, pelaku pembunuhan terhadap warganya sebanyak enam orang. Keenam OTK itu kata Dekis, meminta makanan dan kebutuhan makan lainnya, namun karena tidak diberikan maka mereka mengamuk dan melakukan pembunuhan kepada empat warga yakni Yasa mertua dari Pino, dan anak dari Pino yakni Ferdi serta kerabat mereka Naka.
Setelah itu, keenam OTK mengambil beras, jagung dan gula. Bahkan, beberapa ekor bebek dan ayam dibawa serta juga. Setelah itu, keenam OTK membakar rumah.
Akibat dari tindakan yang dilakukan sejumlah OTK itu, mengakibatkan 7 KK di Dusun Lewono mengungsi di rumah kerabat mereka di desa induk Lembantongoa. Pemerintah Desa Lembantongoa, sampai saat ini terus berupaya untuk memenuhi kebutuhan dari warganya yang mengungsi itu, baik berupa makanan maupun pakaian.
Setelah mendapatkan banyak keterangan dari keluarga korban dan kepala desa, kami pun berpamitan pulang ke Palu. Sekira pukul 18.00 wita, kami meninggalkan Desa Lembantongoa dan tiba di Palu sekira pukul 21.00 Wita. [***]
Komentar