Pembentukan DOB Kabupaten Pulau Togean Harus Berperspektif Kebencanaan

AMPANA – Yayasan Ekologi Nusantara Lestari (EKONESIA) mengapresiasi usulan pembentukan daerah otonomi baru (DOB) Kabupaten Kepulauan Togean, yang telah disetujui rekomendasinya oleh Gubernur Sulawesi Tengah, Rusdy Mastura, di Palu (Selasa, 6/9/2022).

Namun, tak lupa EKONESIA juga mengkritik narasi usulan pembentukan DOK Kabupaten/Kota di Sulawesi Tengah jika hanya demi kepentingan elit politik di daerah.

Peneliti EKONESIA Azmi Sirajuddin menyatakan bahwa pembentukan DOB selama ini lebih sering terjadi karena alasan mendekatkan pelayanan kepada rakyat. Tapi ketika terbentuk, kadang pelayanan ke rakyat semakin jauh.

“Alasan mendekatkan pelayanan ke rakyat sudah tidak relevan saat ini, yang relevan ialah kondisi riil daerah yang mesti dibenahi jika terbentuk jadi DOB”, ujar Azmi.

Dia mencontohkan tentang letak geografis Kepulauan Togean yang berada di tengah tengah Teluk Tomini yang luas. Saat ini, wilayah calon DOB itu berstatus Cagar Biosfer, setelah ditetapkan oleh UNESCO pada bulan Juni tahun 2019 di Paris, Prancis.

Luas kawasan Cagar Biosfer Togean Tojo Una-Una mencapai 2.187.632 hektar. Termasuk dari gugusan segi tiga karang dunia (coral triangel area). Zona inti seluas 368.464 hektar. Zona penyanggah 281.136 hektar. Zona Transisi seluas 1.538.032 hektar.

Sebelumnya kawasan ini memiliki status sebagai Taman Nasional Kepulauan Togean (TNKT), sesuai dengan penetapan dari Menteri Kehutanan pada tahun 2014. Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 418/Menhut-II/2004, memiliki luas perairan seluas 362.605 hektar. Hutan lindung seluas 10.659 hektar. Hutan produksi terbatas seluas 193 hektar. Hutan produksi seluas 11.759 hektar. Hutan produksi yang bisa dikonversi seluas 3.222 hektar.

Namun dalam perubahan rencana tata ruang wilayah Provinsi Sulawesi Tengah tahun 2014, sesuai SK Menteri Kehutanan Nomor 869/Menhut-II/2014, kawasan TNKT mengalami perubahan luasan menjadi 365.240 hektar. Dengan luas kawasan daratan seluas 25.121 hektar dan luas perairan seluas 340.119 hektar.

Berdasarkan hasil penelitian EKONESIA di kawasan Kepulauan Togean pada tahun 2021 dan 2022, kawasan ini sesungguhnya memiliki kerentanan yang cukup tinggi. Terutama, dalam hal rantai pasok kebutuhan pokok masyarakat di kawasan itu. Serta kerentanan terhadap dampak perubahan iklim.

Terkait rantai pasok kebutuhan dasar masyarakat di Kepulauan Togean, lebih dari 80% kebutuhan dasar bersumber dari Ampana sebagai ibukota Kabupaten Tojo Una-Una. Sisanya bersumber dari Gorontalo. Jika terjadi keterlambatan atau pembatalan pelayaran kapal menuju Kepulauan Togean krn kapal rusak, kelangkaan BBM atau karena ombak besar, maka dipastikan suplai kebutuhan dasar terhenti. Dampaknya sangat besar bagi masyarakat di kawasan itu.

“Kebutahan pokok yang terlambat atau terhenti rantai pasok nya karena berbagai sebab akan menciptakan bencana sosial di kawasan itu”, ujar Azmi.

Hal lain yang dicermati oleh EKONESIA ialah dampak perubahan iklim. Testimoni masyarakat yang dijumpai oleh EKONESIA di beberapa desa yang dikunjungi di Kepulauan Togean, menunjukan bahwa terjadi perubahan pola musim melaut bagi nelayan karena cuaca tak menentu. Berakibat bagi seringnya nelayan tradisional nangkrak dan tidak beroperasi. Akibatnya, mereka tak punya penghasilan dan harus mengutang ke kios, warung atau toko untuk keperluan hidupnya.

“Nelayan tradisional atau nelayan kecil di kawasan itu paling rentan dengan dampak perubahan iklim, mereka tak dapat melaut, hutang numpuk untuk menutupi kebutuhan harian, berpotensi memicu jalan pendek seperti melakukan pengeboman dan pembiusan ikan serta prilaku deatructive fishing lainnya”, lanjut Azmi.

Dengan kondisi semacam itu, EKONESIA meminta pemerintah kiranya rencana pembentukan DOB Kabupaten Kepulauan Togean lebih bervisi ke DOB Kabupaten Kepulauan Togean yang berperspektif bencana. Sebab, hari ini dan ke depan, tak ada lagi daerah atau wilayah di dunia ini yg aman dari dampak perubahan iklim yang diakibatkan oleh pemanasan global.

Komentar