JAKARTA – Mantan Ketua Mahkamah Konsititusi (MK), Mahfud MD memberikan tanggapan terkait sebutan makar yang diberikan pada gerakan 2019 Ganti Presiden.
Hal tersebut diungkapkan Mahfud MD saat menjadi narasumber di acara Kabar Petang TV One, Rabu (5/9/2018).
Mulanya, pembawa acara menanyakan terkait pernyataan Sekjen PDIP, Sekjen Kristiyanto dan Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP), Ali Mochtar Ngabalin yang menyebut gerakan 2019 Ganti Presiden adalah makar.
Mahfud MD pun menyalahkan pernyataan makar yang ditujukan pada gerakan tersebut.
“Ya tetap salah, kalo pak Sekjen PDIP kan bukan pemerintah, tetapi kalau Ali Mochtar Ngabalin itu staf khusus presiden, tetep salah, meskipun Ngabalin yang mengatakan,” ujar Mahfud MD.
Menurutnya, gerakan 2019 Ganti Presiden tidak memiliki unsur makar seperti yang dikatakan.
“Coba tanya secara hukum pidana itu yang dikatakan makar itu ada unsur-unsurnya. Unsur makar itu di mana? Tapi kalau dalam bahasa Arab makar itu artinya siasat. Nah, kalo itu makar disebut sebagai siasat atau gerakan politik, apa yang biasa namanya itu engak apa-apa, kan memang ada kata makar, dalam bahasa Arab, ada makar dalam bahasa hukum pidana,” katanya.
“Makar dalam bahasa hukum pidana itu merampas kemerdekaan presiden wakil presiden, berkomplot untuk merampas kemerdekaan presiden dan wakil presiden, kemudian ingin mengganti ideologi negara, gerakan mengganti ideologi negara, resminya mengganti ideologi pancasila dengan komunisme, leninisme, marxisme, gitu di dalam undang-undang, di luar itu bukan makar,” tambah mantan Ketua MK ini.
Sementara itu, diberitakan sebelumnya, senada dengan Mahfud MD, pengamat politik Rocky Gerung pun juga memberikan bantahan atas tudingan makar dari Ali Ngabalin.
Dilansir dari TribunWow.com, hal tersebut tampak dari tayangan acara Kabar Petang yang tayang di tvOne, pada Senin (27/8/2018).
Awalnya, Rocky Gerung membantah jika gerakan ‘2019 Ganti Presiden’ yang ia dukung bukanlah sebuah hal yang bisa dikatakan makar.
Menurutnya, gerakan tersebut baru bisa disebut makar apabila tahun yang digunakan 2018, di mana Presiden Joko Widodo (Jokowi) masih sah menjabat.
Menanggapi hal tersebut, Ali Ngabalin tetap menyebut apabila gerakan tersebut adalah makar dan harus dihentikan.
Menurut Ali Ngabali, tahun 2019 berarti bisa dikatakan mulai jam 00.00 WIB tanggal 1 Januari 2019, yang artinya Jokowi masih menjabat.
Meskipun, maksud Rocky Gerung dan para penggerak 2019 adalah momentum pencoblosan atau pemilihan presiden.
“Makar, itu rencana jahat pergantian presiden secara inkonstitusional,” kata Ali Ngabalin.
Lebih lanjut, ia pun mengatakan jika gerakan itu merupakan sebuah rencana jahat untuk menggulingkan Presiden Jokowi.
Menanggapi hal tersebut, Rocky Gerung langsung memberikan bantahan.
“Kita balik pada konsepnya, di mana setiap kekuasaan tidak mau diganti, makanya ada proteksi. Istilah makar dalam bahasa Belanda itu artinya menyerbu dan menyerang, sedangkan ini mana yang disebut menyerbu dan menyerang, yang ada justru mereka yang menghalangi diskusi,” ujar Rocky Gerung.
Sementara itu, Ali Ngabalin kembali menuding tagar tersebut merupakan peradaban rendah.
“Itu tidak bermoral dalam demokrasi,” ujar Ngabalin.
Diketahui, kebebebasan berpendapat dilindungi oleh Undang-Undang Dasar 1945.
Seperti yang dimuat pada Pasal 28E Ayat 2, ‘Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pendapat pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.’
Kemudian pasal 28E Ayat3, ‘Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.’
Menanggapi pasal-pasal tersebut, Ali Ngabalin tetap berpendirian jika gerakan tersebut menyalahi undang-undang.
Iapun menyebutkan Undang-Undang turunan dari pasal tersebut.
Yakni Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 Tentang Kebebasan Menyatakan Pendapat di Ruang Publik.
“Baca pasal 6, hak-hak orang tidak mengganggu hak orang, menjaga, menghormati, menjaga persatuan dan kesatuan bangsa, coba lihat,” kata Ngabalin.
“Memang ada UU 1945 sebagai payung, tapi ada Undang-Undang turunannya,” imbuhnya.
Menjawab hal tersebut, Rocky Gerung memberikan penjelasan secara normatif, yang menyebutkan gerakan tersebut tidak dilarang, sehingga tidak perlu izin untuk berkumpul dan menyatakan pendapat.
“Dua pikiran (GantiPresiden dan penentangnya) itu dirawat, jangan dipilih salah satu dipulangkan,” kata Rocky Gerung.
Lebih lanjut, Rocky Gerung menyebut jika semakin dilarang, gerakan ini akan semakin kuat.
Terkait polemik yang ada, Rocky Gerung akhirnya meminta nama gerakan tersebut diganti menjadi #2019DiaTakutDiganti.
“Di era milineal, yang dilarang itu justru terjadi… jadi konyol pemerintah melarang, justru gerakan itu semakin membesar. Ada orang bilang, kita tidak akan membuat Hastag 2019GantiPresiden, jadi Hastag 2019DiaTakut Diganti, kecerdasan orang ganti lagi, apa mau dilarang lagi?” kata Rocky Gerung.
Sumber: Tribunnews
Komentar