Cerita Lengkap KKN di Desa Penari Versi Nur, Endingnya Bikin Merinding

(Nur, Widya itu sudah punya pacar apa belum sih?) “piye?” (gimana?) tanya Nur lagi. “kancamu” (temanmu) “Widya loh, wes onok pacar opo durung?” (Widya loh, sudah punya pacar apa belum?) “takono dewe ae yo” (tanyakan sendiri saja ya) Nur tahu, Bima suka kepada Widya hari itu.

Nur yang menghabiskan sebagian siangnya di dalam kamar, terbangun ketika Ayu memanggilnya. semua anak sudah berkumplul, dan Ayu menunjukkan proposal proker mana saja yang sudah di setujui pak Prabu, dimana Ayu, membagi menjadi 3 kelompok, terlepas dari 1 proker kelompok.

Widya dengan Wahyu, Nur dengan Anton, sementara Bima dengan Ayu. semua anak sepakat, tidak ada yang komentar banyak, mengingat, Ayu yang paling berjasa sehingga bisa mendapatkan tempat KKN tanpa campur tangan pihak kampus. lusa, adalah awal dari persiapan proker mereka.

sore datang, ketika Nur baru saja selesai merapikan barangnya untuk persiapan proker kelompok, Widya masuk ke kamar. “Nur, ados yok” (Nur, mandi yuk) “nang ndi?” (dimana?) tanya Nur, “nang Bilik sebelah kali, cidek Sinden kui loh, eroh kan awakmu, kolam cilik”.

(di bilik sebelahnya sungai, ada sebuah bilik kecil, tahu kan, yang bangunanya kaya kolam itu loh) Nur, tidak menjawab. namun setelah memikirkan, bahwa ia belum membasuh badanya sejak pertama kali datang kesini, ia pun setuju. dengan syarat, Nur mau menjadi yang pertama mandi.

saat melewati Sinden, Nur sudah merasakan perasaan tidak nyaman, Sinden itu terdiri dari anak tangga yang di susun dengan batu bata merah, tampaknya bangunanya sudah sangat tua, ada air jernih di dalamnya, namun, Nur tidak pernah melihat ada yang menggunakan air itu.

selain itu, fokus Nur tentu pada bentuk menyerupai candi kecil di belakangnya, dan di pelataran candi, ada sesajen, hal yang sudah lumrah di tempat ini, hanya saja, Nur tidak melihat adanya gangguan saat ia mengamati Sinden itu.

sampailah mereka di bilik, yang di belakangnya ada pohon besar, pohonya rindang dengan rimbun semak di samping Bilik, Widya memberitahu Nur, bila di dalamnya ada kendi besar yang sudah di isi oleh warga dari sungai, dan memang untuk mandi anak-anak KKN.

baru masuk, Nur langsung mencium aroma amis, seperti aroma daging busuk, namun Nur mencoba mengerti, mengingat Biliknya sendiri tidak terlihat seperti kamar mandi yang bersih, lantainya dari tanah, sedangkan kiri-kanan di penuhi lumut, jadi Nur mencoba memaklumi.

ia pun segera membasuh badanya dengan air di dalam kendi, namun, ada perasaan aneh ketika air membilas badanya, seperti ada benda kecil, yang mengganjal saat bersentuhan dengan kulit Nur. ketika, di perhatikan dengan seksama, apa yang ada di dalam kendi, air itu di penuhi rambut.

Nur kaget, istighfar terus menerus, sembari ia beringsut mundur, ia mencoba memanggil Widya. namun aneh, tidak ada jawaban apapun dari Widya. Nur, dengan berselimut handuk, mencoba membuka pintu bilik, namun, pintu seperti di tahan oleh orang yang ada di luar.

“Wid, bukak!! Wid bukak” teriak Nur, sembari menggedor pintu anyam bambu itu. namun, tetap tidak ada jawaban apapun dari Widya, sampai, Nur menyadari, di belakangnya, ada sosok Hitam itu, besar sekali, sampai menyentuh langit bilik. Nur pun memejamkan mata rapat-rapat.

yang pertama ia lakukan adalah istighfar kencang-kencang, sembari tanganya mencari batu di tanah bilik, ketika tanganya berhasil meraih sebuah batu, Nur melemparkan kuat-kuat batu itu, sembari mengucap, doa yang di ajarkan gurunya bila bertemu lelembut, sampai, sosok itu lenyap.

butuh waktu untuk Nur menenangkan diri, ia tahu, ia sudah di incar, namun kenapa ia di incar, ia tidak melakukan apapun yang membuatnya di incar, bahkan bila karena ia secara tidak sengaja melihat makhluk itu, seharunya bukan hanya Nur yang sial, tapi makhluk itu juga sial.

tiba-tiba pintu terbuka, dimana Widya melihat Nur dengan ekspresi ganjil. “lapo Wid?” (kenapa Wid?) “He?” “gak popo” ucap Widya saat itu. “wes ndang adus, ben aku sak iki seng jogo, cepetan yo, wes peteng” (ayo mandi, biar aku yang jaga, cepat ya, sudah mau malam).

awalnya Widya tampak ragu, ia seperti mau mengurungkan niatnya, tidak hanya itu, Widya seperti mau mengatakan sesuatu namun kemudian mengurungkanya, ia kemudian menutup pintu bilik. ketika Nur, berjaga di luar, ia sayup-mendengar suara orang berkidung.

penasaran, Nur mulai mencari sumber suara, dan berakhir pada gemah dari dalam Bilik. takut, hal buruk terjadi, Nur mencoba memanggil Widya, menyuruhnya agar ia segera menyelesaikanya, namun, Widya tidak menjawab teriakanya, suara kidung itu, terdengar semakin jelas.

dari samping Bilik, ada semak belukar, Nur mencoba melempar batu darisana, namun, ia terperanjat saat tahu, dibelakang bilik ada sesaji, lengkap dengan bau kemenyan di bakar Nur mencoba mengabaikanya, tetap berusaha memanggil sahabatnya, sampai, dari salah satu celah, ia melihat yang didalam bilik, bukan Widya, namun sosok cantik jelita, siapa lagi bila bukan, si penari yang Nur lihat di malam kedatanganya di desa ini. wanita cantik itu, membasuh badanya dengan anggun, sembari berkidung dengan suara yang membuat Nur tidak tahu harus berujar apa.

dimana Widya. pikir Nur, ia tidak menemukan sahabatnya, tidak dimanapun ia mencoba melihat. sampai, sosok itu tersenyum seolah tahu, Nur melihatnya. lalu, ia bergerak menuju pintu, membukanya, dan saat itulah, Nur melihat Widya, keluar dengan wajah kebingungan.

selama diperjalanan pulang, Widya mencoba mengajak bicara Nur, namun, Nur tidak merespon ucapan Widya, ia memikirkan apa yang barusaja ia lihat bukan hal kebetulan semata. seperti sebuah pesan, pesan apa? Widya dalam bahaya, atau, dirinya yang sedang dalam bahaya.

Malam setelah sholat Isya, Nur berpamitan sama Ayu dan Widya, ia ingin menemui pak Prabu, untuk pengajuan proposal prokernya bersama Anton. Ayu sempat bertanya pada Nur, apakah Anton menemani, namun Nur mengatakan, ia bisa sendiri, meski Ayu menawarkan diri, namun Nur menolaknya.

ada hal yang mau di luruskan, bukan prokernya, namun apa yang sebenarnya terjadi disini, pak Prabu tahu sesuatu. setidaknya itu asumsi Nur. dan, ia merasa harus bertemu beliau malam ini, seakan-akan ada yang membisikinya bahwa, ia harus pergi ke rumah pak Prabu.

benar saja. pak Prabu duduk di teras rumah, seakan-akan, beliau sudah menunggunya. namun, ada sosok lain yang duduk bersamanya, seorang lelaki renta, ia duduk, sembari mengisap bakau lintingan, dan ketika Nur datang, si lelaki tua, tersenyum seperti mengenalinya.

Nur mendekat, memberi salam, pak Prabu tersenyum ramah seperti biasanya, lalu mempersilahkan Nur duduk, namun, Nur lebih tertuju pada 3 gelas kopi yang tersaji. “niki tiang’e ten pundi to pak, kopi’ne kelebihan setunggal??” (ini yang punya kemana ya pak, kopinya kelebihan satu?).

“iku kopi, gawe awakmu, cah ayu” (itu kopi untuk kamu, mbak yang cantik) ucap lelaki renta itu. ia masih tersenyum, memandang Nur.

Komentar