Cerita Lengkap KKN di Desa Penari Versi Nur, Endingnya Bikin Merinding

Malam keberangkatan, Nur, Widya, Ayu, Bima, Wahyu dan Anton, sudah berkumpul, perjalanan di lanjutkan dengan mobil elf yang sudah mereka sewa untuk mengantarkan mereka ke pemberhentian dimana nanti mereka akan di jemput oleh warga desa. Nur masih bisa melihat temanya, Widya,

memasang wajah tidak nyaman. hanya sebuah harap, yang Nur panjatkan, bahwa mereka berangkat dengan utuh dan semoga, pulang dengan utuh juga. tetapi, tidak ada yang tahu, doa seperti apa yang akan di ijabah oleh tuhan.

gerimis mulai turun, sepanjang perjalanan, Nur hanya melihat ke jalanan yang lengang. tepat di pemberhentian lampu merah, seseorang, menggebrak kaca mobil Elf’nya, Nur begitu terkejut sampai tersentak mundur, dari dalam mobil, Nur melihat pengemis tua itu, ia terus menggebrak

mobil, membuat semua yg ada didalam mobil kebingungan, termasuk si sopir yang berteriak agar lelaki tua itu berhenti sembari melemparkan recehan, dari bibirnya, Nur melihat ia berucap “ojok budal ndok” (jangan berangkat nak) suaranya terdengar familiar, seperti suara wanita tua

sampailah mereka ditempat pemberhentian, setelah menunggu, terlihat rentetan cahaya motor mendekat dari seberang jalan setapak, Nur mengatakanya. “iku wong deso sing nyusul rek” (itu orang dari desanya yang jemput kita) tanpa membuang waktu, mereka pun melanjutkan perjalan.

jalanan setapak, dengan lumpur karena gerimis, pohon besar dan gelap, dengan kabut disana-sini, terlihat di sepanjang perjalanan. hanya terdengar suara motor berderu, tanpa ada suara binatang malam, namun, semua berubah ketika tiba-tiba, dari jauh, terdengar suara gamelan.

suaranya sayup-sayup jauh, namun, semakin lama semakin terdengar jelas, Nur mengamati tempat itu, aroma bunga melati tercium menyengat di hidungnya masih mencari, darimana suara itu terdengar, tepat di antara rerumputan di samping jalan setapak. terlihat, seorang wanita menunduk

ia menunduk, kemudian melihat Nur, di ikuti dengan lenggak-lenggok lehernya, serta ayunan gerakan tangan dan lenganya, yang bergerak seirama dengan suara gamelan, Nur melihat wanita itu menari. menari di tengah malam, di tengah, kegalapan hutan yang sunyi senyap.

gerakanya begitu anggun, meski motor terus bergerak, Nur bisa melihat ia menari dengan sangat mempesona, seakan-akan ia bertunjuk untuk sebuah panggung yang tidak bisa Nur lihat. siapa yang menari di malam buta seperti ini. Nur terdiam dalam kengerian yang ia rasakan sendirian.

ketika motor berhenti dan sampailah di desa, Nur tidak mengatakan apapun, ia melihat pak Prabu menyambut mereka, saat pak Prabu mempersilahkan mereka ke tempat peristirahatan mereka selama di desa ini, Widya tiba-tiba mengatakanya. “Pak, kok Deso’ne pelosok men yo”

(Pak, kok desanya jauh sekali ya) “pelosok yo opo to mbak, wong tekan dalam gede mek 30 menit loh” (pelosok darimana sih mbak, orang dari jalan raya hanya 30 menit) Nur hanya melihat saja, ia tidak mau mengatakan apapun, termasuk wajah Ayu yg memerah entah karena malu atau apa.

mungkin, Ayu merasa Widya sudah melakukan hal yang tidak sopan, sebagai tamu, Widya memang seharusnya tidak mengatakan itu. di tengah perdebadan antara Widya dan Ayu, tiba2 dari balik pohon jauh, sosok hitam dengan mata merah tengah mengintai mereka. sialnya, hanya Nur yg melihat

akhirnya, perdebadan itu selesai, Nur meninggalkan sosok itu, yg masih mengintip dari balik pohon ia masuk ke sebuah rumah milik salah satu warga yang tidak berkeberatan, untuk mereka tinggali selama menjalankan tugas KKN mereka, disana rupanya perdebadan Widya dan Ayu berlanjut

“koen iku kok ngeyel seh, wes dikandani, gak sampe setengah jam iku mau” (kamu kok keras kepala, sudah dikasih tau, tadi gak sampai setengah jam) Nur masih melihat, alih-alih menengahi, Nur lebih kepikiran dengan hal lain, salah satunya, genderuwo itu, untuk apa ia mengintainya.

namun, tetiba, Widya mengatakan sesuatu yang membuat Nur tidak bisa mengabaikanya. “Awakmu mau krungu ta gak, onok suoro gamelan nang tengah alas mau?” (kamu tadi dengar atau tidak, ada suara gamelan di tengah hutan tadi?!)

namun ucapan Widya di tanggapi Ayu dengan nada mengejek. “halah, palingan yo onok acara nang deso tetangga, opo maneh” (halah, paling tadi kebetulan ada yang mengadakan acara di desa tetangga, apalagi) Nur, yang mendengar itu bereaksi pada Ayu. “Yu, gak onok loh deso maneh nang

-kene) “jare wong biyen, nek krungu suoro gamelan, iku pertanda elek” (kata orang dulu, bila mendengar suara gamelan, itu artinya sebuah pertanda buruk) Malam itu, berakhir, meski perdebadan masih terus berlanjut di batin mereka masing-masing. pertanda apa yang sudah menunggu

“Yu, aku kepingin ngomong, wong loro ae, isok kan” (Yu, aku ingin ngomong, sebentar, bisa kan?) “ngomong opo Nur?” (ngomong apa Nur) tanya Ayu, Nur dan Ayu pergi ke pawon (dapur) , wajah Nur, masih tegang, ia masih ingat, matanya tidak mungkin salah, ia melihat makhluk itu.

“Yu, aku takon. awakmu gak ngerasa aneh tah gok deso iki, awakmu jek iling, kok iso-isone pak Prabu sampek ngelarang keras, kene KKN nang kene. opo awakmu gak curiga blas tah” (Yu, aku mau tanya, kamu gak ngerasa aneh’kah di desa ini, kamu ingat, kok bisa-bisanya pak Prabu-

-sampai, melarang keras, kita KKN disini, apa kamu gak curiga) “Opo seh maksudmu ngomong ngunu?!” (apa sih maksudmu ngomong kaya gitu?!) ucap Ayu ketus. “bekne, pak Prabu nduwe alasan, lapo ngelarang awak dewe KKN nang kene” (mungkin, pak Prabu punya alasan, kenapa melarang-larang-kita KKN disini) “nek awakmu ngomong ngene, soale perkoro Widya mau, ra masuk akal Nur, awakmu melu observasi nang kene kan ambek aku, opo onok sing aneh? gak kan. wes talah, mek pirang minggu tok ae loh” (kalau kamu ngomong begini karena perkara Widya tadi, gak masuk akal Nur-

kamu sendiri ikut aku observasi disini kan, apa ada yang aneh? gak kan, sudahlah, cuma beberapa minggu aja loh) Ayu pergi, meninggalkan Nur. sementara Nur, tidak mungkin menceritakan apa yang ia lihat, Ayu bahkan tidak percaya dengan hal yang ghaib. Nur pun mengalah lagi.

Komentar