Kementrian ATR Pasang Plang Peringatan Pelanggaran Tata Ruang

PALU – Kementrian Agraria dan Tata Ruang ( ATR) melakukan pemasangan plang peringatan atas pelanggaran tata ruang di tujuh titik lokasi, Kamis, (8/11/2018).

Salah satu titik tersebut adalah di sepanjang pantai lokasi penimbunan material pertambangan di Desa Loli Dondo, Kecamatan Banawa, Kabupaten Donggala.

Perwakilan Ombudsman Republik Indonesia (ORI) Provinsi Sulteng, Sofyan Farid Lembah, Sabtu, (10/11) mengatakan, Sebelum tsunami, ATR sudah melarang pembangunan di pesisir pantai tanjung batu.

“Ini bukan hanya soal lalai ijin reklamasi dan pembangunan TUKS tapi juga soal konservasi kawasan pantai yang memang dilarang untuk direklamasi, terbukti hasil kajian tersebut memakan korban,” katanya.

Dia mengatakan, pada Kamis 8 November 2018, Tim Kementrian ATR dipimpin langsung Kasubdit Penertiban, Kementrian ATR, Decsa memasang plang peringatan agar tidak ada pembangunan di pesisir pantai.

Tujuannya, selain sebagai bentuk penegasan atas larangan pembangunan perumahan dan kegiatan lainnya di kawasan hijau yang seharusnya ditaati demi melindungi masyarakat dari bahaya abrasi, termasuk tsunami.

Selain itu sambungnya, sebagai bentuk sosialisasi aturan perundang-undangan soal lingkungan hidup dan rencana Tata Ruang.

“Pencabutan atas plang selain merupakan bentuk pidana juga sesungguhnya merupakan bentuk pembiaran dan pengelabuan kawasan yang seharusnya menjadi kawasan lindung dan hijau yang wajib masyarakat harus ketahui,” ujarnya.

Seperti kasus Tsunami kemarin, kata dia, sesungguhnya masyarakat bisa menuntut pelaku pencabutan plang larangan reklamasi yang sebetulnya memberi informasi untuk tidak membangun dan beraktivitas di kawasan tsb.

“Ini adalah bentuk pidana, dan juga soal moral, ” tekannya.

Untuk itu kata dia, Ombudsman akan melakukan monitoring dan evaluasi guna mendorong revisi RTRW kabupaten Donggala utamanya soal penetapan rawan bencana dan penegakkannya.

Kata dia, Donggala dalam perencanaan pembangunan lebih memperhatikan aspek Tata Ruang dan mitigasi bencana. Tak boleh lagi ada pelanggaran baik lewat kebijakan perijinan maupun perilaku masyarakat.

“Cukup gempa dan Tsunami sebagai sebuah peringatan, bila masih dilakukan tentu kita termasuk mahluk bebal,” tutupnya. (IKRAM)

Komentar