“Lima menit!” Gumam Bagas seraya memelototi digit angka pada jam tangannya.
Bagas berhitung-hitung untuk memastikan bahwa dirinya harus sudah duduk manis di ruang rapat lantai tiga pada menit ke lima. Waktu dimulai sedetik setelah ia berlari menjauh dari motor yang telah ia parkirkan dengan manis.
“Assalamualaikum, Bang Bagas.” Adi yang siap siaga di pintu masuk menyapa Bagas dengan hangat.
Kalau saja waktunya lapang, selalu menyenangkan berbincang singkat bersama petugas keamanan yang sangat ramah itu. Namun karena Bagas hanya memilki beberapa menit tersisa untuk tiba tepat waktu, ia hanya menoleh dan mengangkat sebelah tangan sambil berseru singkat, “Woy, Pak!” Menggelikannya adalah saat beberapa detik kemudian lelaki berambut keriting itu menepuk keningnya sendiri dan bergumam, “Waalaikumsalam, Pak. Harusnya tadi gue jawab begitu.”
Bagas menggosok-gosokkan setiap dua ujung kuku bergantian. Suasana sepi di dalam lift membuatnya kian gusar. Semua orang pasti sudah masuk ke ruangan masing-masing. Bagas yang merasa lega begitu pintu lift terbuka lantas melesat secepat kilat dari sana. Saat melihat jam tangan hitamnya, wajah Bagas sedikit mencerah karena dua menit yang tersisa tidak akan membuatnya terlambat untuk membuka pintu ruangan beberapa langkah di depannya.
Bagas berhasil duduk manis di tempatnya tepat waktu. Sedetik setelah ia menghela napas lega, terdengar suara pintu dibuka. Pria dengan kemeja cokelat berjalan menuju salah satu kursi yang melingkari meja ruangan.
“Assalamualaikum warahmatullah wabarakatuh.”
Semua serempak menjawab salam dari Dikdik yang kini menyapukan pandang ke setiap sudut ruangan.
“Alhamdulillah Allah masih sampaikan usia kita pada awal pekan di penghujung bulan ini. Sebelum evaluasi bulanan ini saya buka, seperti biasa, izinkan saya untuk juga saling mengevaluasi diri bersama para rekan semua.”
Bagas seketika heran mendapati perubahan pada air muka beberapa orang di sana. Dan terjawab begitu kepala redaksi itu melontarkan sebuah pertanyaan.
“Sekred, berapa juz yang dikhatamkan bulan ini?”
“Bulan lalu saya khatam lima juz, dan bulan ini alhamdulillah khatam lima belas juz.”
Dikdik tersenyum takjub. “Maasyaa Allah. Alhamdulillah.”
Pertanyaan terus bergerak melingkar. Berpindah dari satu jawaban menuju jawaban lain. Beberapa orang menjawab dengan percaya diri, namun ada juga yang meringis malu karena tidak ada peningkatan jumlah juz yang dikhatamkan atau bahkan tidak mencapai hitungan juz sama sekali.
Hingga kemudian, Bagas terperanjat saat pertanyaan itu mendarat di dirinya. Ini adalah kali pertama Bagas mengikuti rapat bulanan di sini. Sedikit pun ia tak menyangka akan mendapat pertanyaan serupa seperti yang selalu dengan tidak bosannya ditanyakan oleh sekretatris redaksi padanya setiap hari. Saat berangkat dari rumah tadi, ia merasa senang karena agenda rapat bulanan akan memungkinkan Luna kehilangan momen untuk menanyainya dengan pertanyaan tersebut dalam briefing. Namun sekarang Bagas sadar, ini justru adalah puncaknya!
“Bagaimana denganmu, Bagas?”
Bagas mengerjap sebentar. Ia mengangkat sebelah tangan dan menggerakkan jemarinya dengan ekspresi berpikir. Berhitung dan mengingat-ingat jumlah halaman yang telah berhasil ia baca dengan usaha yang cukup keras selama sebulan menjadi bagian dari perusahaan ini. “Oh! Tujuh halaman, Pak.”
“Berapa banyak yang kamu baca setiap harinya?” Tanya Dikdik setelah tertegun sejenak.
“Kalau panjang, satu ayat juga cukup. Kalau pendek, saya baca dua sampai tiga ayat, Pak.”
“Itu per hari?” Seorang lelaki melontarkan pertanyaan dengan ekspresi meremehkan.
Dikdik langsung menyela lelaki itu dengan sorot tegas namun tanpa menghakimi. “Dari dulu jumlah bacaanmu memang begitu, Bagas?”
Bagas menggeleng pelan seraya berkata dengan nada yang lebih rendah, “Saya nggak ingat kapan terakhir kali baca Al-Quran. Saya baru baca Al-Quran lagi setelah bekerja di sini.”
Beberapa ekspresi terkejut yang ditahan membuat ruangan lengang seketika.
“Baiklah kalau begitu,” senyum dan suara Dikdik cukup memperbaiki suasana. “Tapi hari ini sudah baca Al-Quran, kan?” kejar Dikdik kemudian.
Bagas malah menggaruk kepala yang tak gatal. Ia menggeleng lagi dan menjawab, “Belum, Pak. Tadi saya datang ke sini saja nyaris terlambat. Apalagi baca Al-Quran.”
“Kalau begitu saya beri waktu kamu lima menit untuk baca Al-Quran di luar.”
“Tapi saya nggak bawa Al-Quran, Pak.”
“Ada banyak Al-Quran Corner di lingkungan kantor ini.”
***
Gerakan tangan Bagas yang tengah menalikan kets cokelatnya terhenti saat seseorang tiba-tiba duduk di sampingnya. Bagas menoleh dan mendapati Adi tengah mengenakan kaos kaki sambil tersenyum sekilas padanya.
“Waalaikumsalam, Pak.”
Adi kontan menengok ke sisi kirinya. Pandangannya dengan cepat kembali berbalik ke arah Bagas seraya memastikan, “Bang Bagas bicara sama saya?” Anggukan dari Bagas malah membuat kening Adi kian berkerut. Namun ia lantas malah menepuk kening seraya menimpal cepat, “Bang Bagas ini, saya jadi malu karena belum sempat mengucapkan salam.”
Kini Bagas menggeleng. “Barusan waalaikumsalam buat jawaban salam tadi pagi, Pak.”
Adi malah mengernyit makin dalam. Bertanya tanpa berucap.
“Tadi pagi waktu Pak Adi mengucapkan salam saya malah jawab pake woy, bukan jawaban yang seharusnya. Yaah, kalau lagi buru-buru saya memang suka ngaco, Pak.”
Adi malah dibuat terkekeh oleh jawaban Bagas. Terdengar seperti bergurau, namun pemuda di sampingnya memang sungguh-sungguh menjelaskannya.
Bagas yang telah selesai dengan tali sepatunya lalu menegakkan posisi tubuh dan menatap Adi yang masih terkekeh karenanya. “Kenapa baca Al-Quran di sini harus banget sih, Pak?”
Kali ini Adi menangkap keseriusan pada wajah Bagas. “Tokoh kartun aja, Dora, nggak pernah lepas dari si Peta dalam petualangannya mencari harta karun, misal. Apalagi kita manusia yang hidup di muka bumi yang terhampar luas ini, dengan kompleksnya segala hal yang kita hadapi, pasti perlu way of life … ya biarnggak ngaco, Bang.”
“Tapi kenapa harus dengan Al-Quran, Pak?”
“Bang Bagas pasti sering membaca tulisan yang terpampang besar di tembok dekat pintu masuk utama?”
“Nah kebetulan! Selama ini saya ingin sekali menanyakan hal ini!” Bagas menimpal cepat dengan antusias. “Jadi, Pak, saya belum bisa paham dengan yang dimaksud bahwa segala sesuatu yang terkait dengan Al-Quran akan menjadi mulia. Bapak pasti bisa jelasin sampai saya mengerti.”
Ada hangat yang seketika menyiram hati Adi saat melihat ekspresi ingin tahu Bagas. Adi tidak langsung menimpali. Mata sipitnya berlari menyusuri selasar masjid dan tertumbuk pada sebundel koran yang tergeletak di salah satu sudut tembok. “Lihat koran itu.”
Bagas segera mengikuti arah pandang Adi.
“Apa Bang Bagas akan berani melakukan hal yang sama pada Al-Quran? Menggeletakkannya begitu saja di sembarang tempat?”
Bagas menggeleng cepat dengan gerakan yakin.
“Maaf-maaf sebelumnya, Bang,” Adi sedikit mengangkat tangannya sebelum kemudian meneruskan, “Padahal Bang Bagas terbilang jarang membaca Al-Quran, kan?”
Ada sipu malu di wajah Bagas. Namun pemuda itu lantas menambahkan, “Santai aja kali, Pak. Memang itu kenyataannya.”
“Persamaannya, koran dan Al-Quran terdiri dari lembaran-lembaran kertas. Bahkan bisa jadi kertas yang digunakan untuk mencetak mereka berasal dari pabrik produksi yang sama. Tapi kertas-kertas itu ternyata nggak berlabuh di takdir yang serupa. Kertas yang hidup bersama Al-Quran diperlakukan dengan sangat baik oleh manusia, sedangkan kertas itu?” Adi menunjuk koran yang tergeletak itu dengan sorot matanya. Ia lalu kembali menggeser posisi duduk sehingga sempurna berhadapan dengan Bagas. “Saya yakin Bang Bagas pasti bisa menyimpulkan sendiri.”
Tanpa bersuara, kepala Bagas mengangguk-angguk mengiyakan analogi dari Adi yang bisa ia pahami. Masih dengan wajah berpikir ia menimpali, “Tapi saya belum merasakan hal tersebut secara pribadi pada diri saya, Pak.”
“Insyaa Allah, segera. Asal Bang Bagas tetap berusaha selalu berinteraksi dengan Al-Quran setiap harinya.” Ucap Adi dengan nada yakin. “Bahkan mungkin Bang Bagas hanya belum menyadarinya saja.”
Bagas menghela napas dan mengembuskannya dengan cepat pula. “Target jumlah bacaannya itu yang membuat saya merasa berat, Pak.”
“Jadi sekarang yang berat itu bukan rindu lagi?”
Tawa Bagas terurai sejenak. “Pak Adi ini bisa aja.”
“Semampunya saja dulu lha, Bang. Yang penting sekarang adalah menjaga kontinuitasnya. Bang Bagas pasti lebih tahu tentang teori habit.” Perhatian Adi sedikit teralihkan oleh sekitar masjid yang mulai sepi. “Oh ya, jam berapa ini, Bang?”
“Masih ada lima belas menit waktu rehat siang.”
Adi mengganti peci yang ia kenakan dengan topi yang baru saja ia tarik dari saku celananya. “Kalau begitu saya duluan, Bang.” Adi menepuk pundak Bagas sambil berdiri. Namun sebelum benar-benar beranjak, Adi menanamkan tangannya di pundak Bagas dengan cukup erat seraya berkata, “Pokoknya, Bang, saat Abang bisa merasakan turunnya Al-Quran dalam hidup Abang, maka hari tersebut akan menjadi sebaik-baik hari yang ada dalam hidup Bang Bagas.”
Bagas memandang punggung Adi yang menjauh. Kalimat terakhir dari Bagas membuatnya tercenung dan merenung cukup dalam.
***
Bagas mengembuskan napas seraya memindai setiap sudut di halaman rumah yang cukup luas itu. Sudah ketukan kedua namun tak kunjung ada sahutan dari penghuni. Ia berbalik menghadap pintu. Sekali ketukan lagi, dan jika masih belum seorang pun keluar, menurut kajian rutin dari kantornya pekan lalu berarti ia harus pergi saja. Bisa jadi tuan rumah memang sedang tidak ingin menerima tamu, kan? Selimut langit yang terus menguning pun seakan mengajak Bagas untuk segera pulang dan beristirahat di rumah saja.
Tetap hening. Keluarga Ciko sepertinya memang sedang tidak berada di rumah. Lantai yang kotor dan tanaman yang layu bahkan mungkin merupakan pertanda bahwa rumah sahabat lamanya itu memang kosong.
Gerakan Bagas yang hendak beranjak urung saat ekor matanya tiba-tiba menangkap bayangan sebatang tubuh mendekat ke arah jendela dari dalam. Tak lama kemudian terdengar suara daun pintu dibuka.
“Ciko!” Raut Bagas seketika mencerah saat melihat sosok sahabat yang telah setahun lebih tak dijumpainya.
Lelaki yang hanya melongokkan kepalanya ke luar rumah pun tersenyum. “Hai, Gas! Sini!” Ada nada gegas pada suara lelaki berambut acak-acakan itu. Ia bahkan menarik lengan Bagas agar segera masuk ke dalam rumah.
Sikap Ciko sempat membuat Bagas heran. Namun kenyataan bahwa mereka sudah sangat lama tidak bertemu menjadi kewajaran yang diiyakan Bagas. “Assalamualaikum, Ciko! Apa kabar lo?”
Ciko tidak langsung menjawab dan bahkan tidak membalas tangan kanan Bagas yang terulur padanya. “Seperti yang lo lihat. Lo sendiri?” Ciko malah melangkah menuju sofa dan berkata, “Duduk-duduk, Gas.”
“Alhamdulillah gue juga baik, Ko.” Bagas lebih memilih menjawab pertanyaan Ciko ketimbang menghiraukan rasa heran yang kali ini disebabkan oleh sikap dingin Ciko. Ia mengempaskan tubuhnya ke sandaran dan dengan nada bergurau berkata, “Eh lo kok kurusan sih, Ko? Ngapain aja lo selama setahun ini?”
“Ya beginilah.” Ujar Ciko sambil mengangkat bahunya. “Lo kemana aja, Gas? Gue kira lo amnesia.”
Bagas meringis seraya menggaruk kepala yang tak gatal. “Iya, Ko, sori. Biasa lha, kerjaan. Lagian lo juga menghilang kayak ditelan bumi, Ko. Nggak bisa dihubungi via apa pun sama sekali.”
“Ini lo habis dari mana, Gas? Baru pulang kerja?”
“Iya. Tiba-tiba gue inget lo dan nggak tau kenapa rasanya harus banget ke sini sekarang juga.”
“Masih di ReadMe?”
Bagas menggeleng. “Udah sebulan ini gue kerja di ABi Publishing.”
Kali ini Ciko berdecak, seperti menemukan jawaban atas sesuatu. “Pantesan lo beda, Gas. ABi Publishing kan penerbit yang personalnya kebanyakan … ukhti akhti itu, kan?”
Bagas mengernyitkan kening. Ia yang sama sekali tak berminat mengoreksi kata yang keliru diucapkan oleh Ciko lantas berujar, “Biasa aja lha, Ko.” Bagas yang merasa tak nyaman karena obrolan terus berfokus pada dirinya lantas mengalihkan, “Ini orang rumah pada kemana? Ibu apa kabar? Cika masih miara kucing?”
“Santai aja, Gas. Ibu sama Cika nggak ada. Jadi lo juga nggak perlu khawatir disamperin kucing.”
“Pada kemana? Lo sendirian di rumah?”
“Mau minum apa, Gas?”
Bagas tahu ada yang tak ingin diungkapkan Ciko padanya. Namun Bagas merasa segan jika harus mendesak Ciko agar membuka cerita padanya. Terlebih ia merasakan ada jarak yang dibentangkan Ciko padanya sejak tadi. Kumandang adzan maghrib membuyarkan lamunan Bagas. Ia refleks menggulung lengan kemejanya dan berdiri, “Nanti gue ambil sendiri deh. Maghrib dulu, Ko.”
“Lo solat di kamar tamu aja ya, Gas.”
Bagas mengangguk. “Btw, Ko, gue nginep sini ya. Lo nggak keberatan?”
Setelah beberapa detik menimbang-nimbang Ciko lalu berujar, “Oke. Lo sekalian aja tidur di kamar itu.”
“Lo juga?”
“Gue? Kamar gue kan di atas.” Seperti sadar akan ekspresi Bagas yang perlu penjelasan, Ciko lantas menambahkan, “Kamar gue berantakan. Nanti habis lo solat gue samperin ke sana.”
***
Bagas berhasil melawan pergulatan dengan alarm yang terus berdering silih berganti. Terlebih begitu sadar akan jarak tempuh yang cukup jauh dari rumah Ciko menuju kantornya, Bagas lantas meloncat dari tempat tidur menuju kamar mandi.
Lagi, ia mendengar dentum musik yang cukup keras dari arah atas. Pada tengah malam pun beberapa kali tidurnya diinterupsi oleh kebisingan yang sama. Apa Ciko tidak sendirian di kamarnya? Perhatian Bagas teralih saat ekor matanya menangkap posisi jarum pada jam dinding. Buru-buru ia membuka tas dan mengeluarkan Al-Quran yang kemarin ia bawa dari salah satu Al-Quran corner. Kalimat Adi yang tiba-tiba mengiang di telinga membuatnya termenung sebentar. Namun ingatan akan suara cempreng Luna dengan pertanyaan khasnya menyuruh Bagas untuk bergegas membuka Al-Quran.
Bagas memutuskan untuk membaca tiga ayat pada halaman tujuh yang akan dibacanya. Saat hendak mengakhiri bacaan, ucapan Adi yang lain tiba-tiba menghampiri ingatan Bagas. Baca semampunya. Bagas menoleh ke arah jam dinding dan lantas lanjut membaca ayat empat puluh empat pada surat Al-Baqarah tersebut.
Sampai kemudian Bagas dikagetkan oleh pintu kamar yang tiba-tiba dibuka dengan gerakan membanting yang sangat keras. Belum habis keterkejutannya, tiga orang polisi telah berdiri mengelilinginya, salah satunya mengacungkan senapan sambil berteriak tegas, “Jangan coba melawan!”
“Ada apa ini, Pak?” Tak mampu menganalisis keadaan, Bagas hanya bisa melontarkan kalimat tanya itu dengan susah payah.
“Markas persembunyian para pengedar narkoba ini telah kami kepung!”
“Nar … ko, ba?” Jantung Bagas seakan berhenti berdetak mendengar barang haram itu disebut. Untuk meredam tubuhnya yang gemetar luar biasa, Bagas mengeratkan tangan kanan pada Al-Quran yang sedang dibacanya, sementara tangan kiri ia kepalkan dengan kuat. “Tapi, Pak, saya sama sekali tidak tahu apa-apa. Saya hanya tamu yang sedang me—“
“Anda baru boleh bicara di kantor nanti. Sekarang anda ikut kami!”
Bagas tak bisa menghindar. Seorang polisi meringkus lengannya dan dengan mudahnya melingkarkan borgol di sana. Al-Quran yang masih dalam genggaman pun direbut oleh polisi itu. Saat digiring keluar dari kamar, mata Bagas terbelalak saat melihat lima orang lelaki tengah dihardik dengan kasar karena melawan. Pun Ciko menjadi salah satu dari mereka yang kini sedang berjalan menuruni tangga.
***
Terlebih setelah dilakukan berbagai rangkaian tes laboratorium, Bagas yang tadi sempat memanas kini merasa lebih tenang. Setidaknya perasaan Bagas kini cukup mewakili definisi tenang seseorang yang berada di balik sel penjara dan menyaksikan kondisi seorang sahabat yang memprihatinkan.
Penampilan Ciko jauh lebih berantakan dibanding saat pertama kali dilihatnya kemarin sore. Ciko dan kawan-kawannya sepertinya telah berpesta semalam penuh, bahkan mungkin hingga subuh. Entahlah, pikiran Bagas sama sekali tidak sampai untuk menjangkau gambaran yang dilakukan sahabatnya itu. “Sebengal-bengalnya kita dulu, menyentuh barang haram sama sekali nggak pernah terlintas dalam pikiran kita sedikit pun. Kenapa lo bisa jadi begini, Ko?”
Ciko yang sedari tadi menenggelamkan kepala di balik tekukan lutut lantas duduk tegak. Ia menatap Bagas dingin dan suara berbisiknya berkata, “Lo nggak akan mengerti, Gas.”
“Apa yang terjadi selama setahun ini, Ko?” Ada rasa bersalah yang seketika menyeruak karena telah menjadi sahabat yang abai terhadap Ciko.
“Saudara Bagas, Anda diizinkan untuk pulang karena hasil tes atas nama Anda dinyatakan negatif dari zat-zat psikotropika.” Seorang sipir yang datang menyela percapakan Bagas dengan Ciko.
Urat wajah yang seharian menegang lantas mengendur. Raut Bagas pun tampak mencerah. “Alhamdulillah.” Bagas lalu mendongakkan kepala ke salah satu sisi dinding dan berkata, “Sekarang jam berapa, Pak?” Jam mati yang menempel di sana benar-benar membuat Bagas kesal sepanjang waktu. Pasalnya, jarum jam yang membisu itu seakan berkonspirasi dengan alam untuk memperlambat laju waktu di bangunan menyeramkan ini.
“Sebentar lagi jam sepuluh.”
“Ck! Ngaco! Kenapa nggak dari tadi sih, Pak?”
“Hasil tesnya baru keluar dua jam yang lalu.”
“Iya kenapa nggak sejak dua jam yang lalu memberi tahu saya?”
“Ada prosedur yang harus dilalui—“
“Saya pulang besok subuh saja, Pak. Saya mau langsung berangkat ke kantor.” Bagas kembali menatap Ciko yang lebih memilih tenggelam dalam heningnya.
***
“Saudara Bagas, ini Al-Quran anda saya kembalikan.”
Bagas menghentikan langkah. Begitu menoleh, wajah polisi yang memborgolnya kemarin kini tersenyum ramah padanya. Teringat sesuatu, mata Bagas lantas terbelalak saat Al-Quran saku itu diulurkan padanya. Segera setelahnya, Bagas harus melakukan sesuatu. Membaca satu ayat atau tidak sama sekali dan mendapat skorsing waktu dari Luna. Apalagi kemarin ia tidak masuk kerja tanpa memberi kabar sama sekali.
“Maafkan kami karena telah menyeret anda ke dalam kasus ini. Lagi pula berdasarkan penyelidikan kami sejauh ini, kelompok pengedar narkoba yang bersembunyi di sana memang berjumlah lima orang. Tapi karena anda berada di sana, maka prosedur hukum mengharuskan kami untuk menggiring anda pula.”
“It’s okay, Pak. Lagi pula, siapa yang tidak akan mencurigai posisi seseorang yang berada di dalam sarang pengedar narkoba?” Bagas meneguk ludah. Wajah Ciko membuat hatinya jeri seketika.
“Sekali lagi maafkan kami. Dan secara khusus juga permintaan maaf dari saya. Saya pribadi juga yakin kalau orang yang datang dari ABi publishing pastilah orang yang sangat baik-baik.”
Kening Bagas mengernyit. Meminta penjelasan tanpa berucap.
“Karena keharusan prosedur pula, kami telah memeriksa seluruh isi tas anda. Bahkan semenjak kemarin saat mendobrak pintu kamar dan melihat Saudara Bagas sedang membaca Al-Quran, saya sudah yakin kalau anda bukan bagian dari komplotan yang akan kami tangkap.”
Petikan kalimat terakhir membuat jantung Bagas mencelus mendengarnya.
Petugas polisi berkumis tebal itu lalu bertanya. “Ah, anda mau langsung berangkat ke kantor ABi? Tolong sampaikan salam saya untuk Adi. Dia adalah salah satu sosok bijak yang saya kenal.”
Ada ribuan godam besi yang berat dan menyakitkan jatuh menimpa kepala, lalu menembus hingga ke ulu hatinya. Tubuh Bagas tiba-tiba gemetar. Ada yang saat itu juga ingin Bagas lakukan tatkala menatap Al-Quran di genggaman tangan kanannya. “Pak, saya pamit. Terima kasih untuk semuanya. Assalamualaikum!” Tanpa menunggu respons, Bagas langsung beranjak secepat mungkin dari sana.
Bagas terus berlari. Mencari sudut tak terjangkau pandang yang memungkinkan ia bisa dengan leluasa menumpahkan semua yang dirasakannya. Mencari sudut tak terjangkau dengar agar ia bisa melantunkan ayat demi ayat Al-Quran yang digenggamnya. Ingatannya memutar setiap detik saat ia berbincang dengan Adi.
Inikah hari terbaik yang dimaksud Adi?
Maka seberapa keraskah hati Bagas sampai harus melalui peristiwa naas hanya untuk mendapatkan sejelas-jelasnya sebuah jawaban?
Di saat bersamaan, Bagas yang tak mampu membendung air mata pun tak mampu menghentikan bacaan Al-Qurannya.
Karya: Asti Nurhayati
Sumber Artikel: inspirasi.co
Komentar