PALU – Jaksa Penuntut Umum (JPU), Kamis (05/12) menghadirkan lima saksi pada sidang lanjutan dugaan korupsi pembangunan ruko di Jalan Gajah Mada, Kota Palu, Tahun 2013-2014 yang merugikan keuangan negara senilai Rp1,3 miliar.
Para saksi tersebut yakni mantan Kadis PU Donggala Akris Fattah, Pelaksana Tugas Kegiatan (PTL) Hendro, Bendahara Helmi, Plt Kepala Dinas PU Safrulah dan PPTK Alfina.
Mereka dihadirkan guna memberikan kesaksian bagi dua terdakwa, yakni Ibrahim Salim (Direktur PT Sartika Hafifa Perdana) dan Adi Yusnandar (Kepala Bidang Cipta Karya Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Donggala).
Dalam keterangannya, Hendro mengaku melakukan pengawasan pekerjaan pembangunan ruko 3 sampai 5 kali dalam seminggu.
“Tidak tiap hari,” katanya di hadapan majelis hakim yang diketuai Ernawati Anwar.
Ia menerangkan, ada beberapa hal menyebabkan pekerjaan terlambat dan diadakan adendum, di antaranya penghuni ruko lama yang enggan keluar serta labilnya kondisi tanah di lokasi.
“Saat galian pondasi digali, longsor terus sehingga menutup galian,” katanya.
Sepengetahuannya, semua pekerjaan sudah dilakukan sampai selesai, sesuai Rencana Anggaran Biaya (RAB).
“Hanya memang terjadi perbedaan harga satuan dari kontrak awal, dengan harga satuan rekomendasi dari BPK,” katanya.
Sementara mantan Kepala Dinas Pekerjaan Umum (PU) Donggala, Akris, mengatakan, pada Maret tahun 2014 lalu, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sudah melakukan pemeriksaan fisik 100 persen.
Ia mengatakan, ketika kajian pekerjaan, disandingkan bobot kemajuan pekerjaan juga sudah 99,6 persen.
“Dalam rekapitulasi kemajuan pekerjaan tidak nampak kuantitas, yang ada realisasi keuangan. Saat dilakukan addendum, bobot pekerjaan 84 persen,” katanya.
Sesuai dakwaan JPU, pada Tahun 2013 lalu, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Donggala menganggarkan belanja modal pengadaan konstruksi pembangunan gedung kantor berupa ruko, di Jalan Gajah Mada Kota Palu yang melekat pada Dinas Pekerjaan Umum (PU) sebesar Rp 11,250 miliar dari Dana Alokasi Umum.
Sesuai tender, pembangunan ruko itu dimenangkan oleh Ibrahim Salim selaku Direktur PT Kartika Perdana dengan nilai penawaran sebesar Rp11,211 miliar.
Ibrahim lalu menandatangani kontrak pembangunan pada tanggal 30 Agustus 2013 dengan jangka waktu pekerjaan selama 113 hari kalender, dimulai 9 September 2013 sampai 30 Desember 2013.
“Terdakwa Ibrahim Salim menerima pembayaran uang muka dari Adi Yusnandar sebesar Rp2,2 miliar, dikurangi pajak sehingga tersisa Rp1,9 miliar,” tambah JPU.
Namun, kata dia, saat pekerjaan di lapangan, Ibrahim mendapat hambatan pembongkaran bangunan lama berada di lokasi pembangunan, sehingga ia mengajukan permohonan addendum kontrak (CCO). Adi Yusnandar menyetujui, kemudian ditindaklanjuti dengan menandatangani adendum kontrak.
Setelah itu, lanjut dia, terdakwa melanjutkan pekerjaan, namun tidak juga selesai, sehingga diberi denda Rp118,3 juta.
Namun terdakwa bersama Adi Yusnandar membuat berita acara serah terima pekerjaan telah selesai 100 persen dan Adi Yusnandar.
Berdasarkan hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), negara telah mengalami kerugian sebesar Rp1,3 miliar karena terjadi kekurangan volume pekerjaan dan selisih nilai spesifikasi yang terkoreksi namun tetap dibayarkan oleh Adi Yusnandar. (Mal)
Komentar