Definisi Keperawanan dalam Dunia Medis

“Apa definisi keperawanan menurutmu?”

Siang itu, saya dan dr. Robbi Asri Wicaksono, SpOG, dokter spesialis kebidanan, berbincang santai mengenai konsep keperawanan yang jamak dianut awam. Masih ada sebagian masyarakat mengaitkan keperawanan dengan keutuhan selaput dara (hymen). Sebagian yang lain mengartikan keperawanan sebagai glorifikasi yang harus dijaga sampai akhirnya hymen rusak karena penetrasi penis.

Dokter yang mendedikasikan dirinya menangani masalah vaginismus ini kemudian mengambil selembar kertas. Ia menggambar sebuah garis yang terhubung menjadi bulat telur. Di sisi kanan dan kiri lingkaran ia tambahkan ornamen bergerigi tapi hanya menutupi seperdelapan bagian gambar. Ia ibaratkan lingkaran oval itu sebagai vagina, dan geriginya sebagai selaput dara.

“Selaput dara bukan seperti tirai yang menutup semua bagian vagina, lalu koyak tertembus setelah penetrasi,” katanya.

Jika selaput dara seperti tirai, lanjutnya, darah menstruasi jelas tak akan bisa keluar setiap bulannya. Robbi kembali pada gambarnya, ujung penanya menyentuh bagian yang dianalogikan sebagai selaput dara. Ia lalu menjelaskan bahwa selaput dara hanyalah lipatan tipis jaringan lunak dan pembuluh darah di pinggiran, bagian depan pintu masuk vagina.

Yang penting diketahui, tak semua perempuan lahir memiliki selaput dara. Ada yang dilahirkan tanpa hymen, ada pula yang memiliki hymen sangat tipis sehingga mudah koyak akibat aktivitas fisik ringan seperti berlari, senam, atau bersepeda. Namun, ada juga yang mempunyai hymen yang elastis dan tebal, sehingga walaupun telah berkali-kali penetrasi, bentuknya tetap saja utuh.

“Bukan karena penetrasi selaput dara tidak utuh. Begitu juga sebaliknya, ia bisa koyak tiba-tiba, tidak harus penetrasi penis,” ungkap dr Robbi.

Sayangnya, karena salah kaprah, banyak perempuan harus direndahkan lantaran masalah keperawanan. Meski WHO telah mengategorikan tes keperawanan sebagai perilaku kekerasan, beberapa negara seperti Afghanistan dan Iran jamak melakukan tes keperawanan pada anak-anak perempuan mereka.

Tes ini umumnya dilakukan oleh tenaga profesional dengan memeriksa selaput dara/lipatan kulit tipis yang terletak ½ inci pada sebagian besar vagina perempuan. Di Indonesia, wacana serupa sempat digaungkan sebagai syarat masuk kepolisian, kemiliteran, dan didukung oleh Dinas Pendidikan Prabumulih, Sumatera Selatan di tahun 2013, tetapi menuai kontra.

“Jika ada dokter yang berani mengklaim selaput dara koyak sebagai tanda ketidakperawanan, maka ilmunya patut dipertanyakan karena itu merupakan pembunuhan karakter kepada pasien,” kata dr. Robbi.

Dalam dunia medis, ia melanjutkan, tak dikenal istilah perawan. Jika diminta untuk memeriksa hymen, maka dokter hanya boleh mendeskripsikan bentuknya, tanpa mengasosiasikan dengan keperawanan. Pun dalam melakukan visum pada korban pemerkosaan, dokter hanya bisa menggambarkan kondisi vagina dan tidak mendiagnosis perkosaan berdasar kondisi selaput daranya.

Laman Physician for Human Rights (PHS), organisasi yang melakukan advokasi kesehatan pada pekerja menyatakan tak ada korelasi antara selaput dara dengan keperawanan. Fakta ilmiah dan dasar medis menolak menggunakan ukuran selaput dara, morfologi, atau integritas untuk menentukan penetrasi vagina pada seorang perempuan.

Singkatnya, pemeriksaan selaput dara dengan tujuan mengetahui “keperawanan” tidak memiliki nilai klinis. Pemeriksaan serupa guna menentukan status seksual perempuan dalam konteks apa pun merupakan pelanggaran standar medis. Profesional kesehatan harus bisa menolak jika diminta melakukan tes tersebut.

Tanda-Tanda Keperawanan

Dokter Robbi melanjutkan cerita pengalamannya saat didatangi pasien yang bertanya prosedur penyembuhan vaginismus, disfungsi seksual karena kaku otot vagina. Kelainan ini membikin vagina tak bisa dipenetrasi, termasuk dengan penis.

“Saya katakan, perlu ada tindakan medis dengan melakukan prosedur dilatasi berbantu, agar kaku otot vaginanya bisa teratasi. Setelahnya, barulah vagina dilatih menggunakan dilator,” Robbi mengulang jawabannya dulu kepada sang pasien.

Namun, dua hari kemudian, sang pasien mengirimkan sebuah pesan yang membikin Robbi miris dan iba. Suaminya tak memberi izin prosedur dilatasi berbantu. Sebab, sepemahaman sang suami, vagina, pertama kali harus dipenetrasi dengan penis, bukan dilator. Jika prosedur dijalankan, maka keperawanan istrinya telah diambil oleh dilator.

“Ini salah satu contoh salah kaprah yang bikin pasien tidak bisa berobat,” tutur Robbi.

Dilansir laman Palo Alto Medical Foundation, keperawanan atau virginitas berasal dari kata Yunani dan Latin “Virgo,” yang berarti gadis. Kata itu sering digunakan dalam mitologi Yunani untuk mengklasifikasikan beberapa dewi seperti Artemis dan Hestia yang kebal terhadap rayuan Dionysus, sang dewa perayu Yunani.

Artemis merupakan dewi perlindungan dalam persalinan, melindungi anak kecil, dan hewan liar. Sementara Hestia adalah dewi perlambang perapian dan keluarga. “Virgin” adalah label kekuatan dan kemandirian yang digunakan untuk menggambarkan dewi-dewi tersebut.

Konteks keperawanan yang dikaitkan dengan selaput dara dianggap telah usang. Keperawanan bukanlah masalah anatomi sederhana karena selaput dara sejatinya tidak terlibat dalam keperawanan sama sekali. Laman Medical Services Pacific mendefinisikan perawan sebagai individu yang belum pernah melakukan hubungan seksual.

Namun, definisi ini pun masih rancu karena pemahaman seks setiap orang bisa jadi berbeda. Hanya saja, secara umum seks dapat didefinisikan dengan hubungan fisik seksual ketika penis menembus vagina. Artinya, jika mengacu pakem di atas, masalah keperawanan jelas tak bisa dinilai oleh orang lain, oleh tenaga medis sekalipun.

“Ya [soal] keperawanan yang tahu cuma dirinya sendiri,” pungkas dr Robbi mengakhiri perbincangan kami.

Sumber: Tirto.co.id

Komentar